🌹🌹🌹01

36.2K 1K 14
                                    

"Tolonglah Jane, aku tidak tega membiarkan keponakanku tinggal di panti asuhan" Martha merengek pada Jane Sanders, atasannya yang merupakan Housekeeping Chief di Grant Mansion.

Jane yang sedang duduk di meja kerjanya, menghela nafas pelan. Ia mendongak untuk menatap balik sang lawan bicara.

"Lalu apa kau pikir mansion ini tempat penampungan?" Tolak sang kepala pelayan menunjukkan rasa keberatan. 

"Bukan begitu, dia hanya akan menumpang disini sementara, sampai aku bisa menemukan tempat yang layak untuknya-"

"Lagipula selama ia disini aku yang akan menanggung biaya hidup keponakanku itu. Ia tidak akan mengambil apapun dari mansion" Martha berusaha membujuk dengan berbagai alasan.

"Jawabannya tetap tidak Martha!" Jane bersikeras.

Martha sempat terdiam sesaat. Namun ia tak habis akal.

"Aku yakin Mr. Grant akan memberi dispensasi. Baiklah, mungkin aku akan bicara langsung saja padanya" Martha berbalik setengah mengancam Jane Sanders. Ia tampak tak terima dengan keputusan Jane yang tak membolehkan keponakannya untuk tinggal di mansion, padahal Jane jelas-jelas bukan sang pemilik rumah.

"Jadi itu maumu?"

"Aku tidak punya pilihan lain"

Setelah menimang cukup lama dengan wajah sinisnya yang terus melirik Martha, akhirnya Jane terpaksa menuruti keinginan bawahannya itu.

"Well, seperti yang kau mau, kita temui Mr. Grant. Tapi jika ia bilang tidak, aku tak mau mendengar kau merengek-rengek tentang keponakanmu itu lagi!" akhirnya Jane memberi keputusan.

"Ya, tentu" ucap Martha menyetujui.

***

⚠️🚫🚫🚫⚠️


"Ahh yes... deeper, baby..." Jaxon Grant menyandarkan kepalanya pada punggung sofa sambil menggeram dan memejamkan mata. Pria itu sedang terhanyut dalam kenikmatan saat seorang wanita tengah mengulum kejantanannya.

Sesuai perintah, si wanita memasukkan kejantanan Jax lebih jauh ke dalam tenggorokan hingga hampir tersedak. Namun dengan lihai ia bisa kembali menguasai diri dan justru mempercepat tempo gerakan kepalanya. Sesekali ia melirik Jax yang tengah terbuai dengan kerlingan nakal. Suara kulumannya yang beradu dengan kejantanan Jax menggema di dalam ruangan.

"Ahhh.. Alicia... kau benar-benar rakus" Jax kembali meracau sementara tangannya menarik kencang rambut pirang wanita yang bernama Alicia tersebut. Sang wanita terus mengulum junior Jax dengan kasar.

"Sebentar lagi keluar... ahhh... ah!"
Setelah lebih dari 15 menit mendapat blow job dari Alicia, Jax tak bisa menahan lagi. Cairan putih kental miliknya menyembur membanjiri mulut Alicia. Alicia menerima dengan suka cita terlihat dari matanya yang berbinar centil dan bagaimana ia menjilat sisa-sisa cairan Jax yang berada di sekitar bibirnya.

Tok tok tok

Belum sempat keduanya selesai mengatur nafas, terdengar suara ketukan pada pintu.

Saat itu mereka sedang berada di mansion mewah milik Jax. Alicia Andersen adalah seorang desainer interior yang Jaxon Grant sewa untuk menata ulang beberapa ruangan mansion. Namun meeting mereka di dalam ruang kerja berubah menjadi pergumulan panas ketika Alicia mulai menggoda sang tuan rumah. Jax yang hanya lelaki normal tentunya merasa tak keberatan untuk meladeni.

Alicia spontan berdiri dan merapikan penampilannya yang acak-acakan. Ia buru-buru meraih tissue dan mengelap bibirnya yang belepotan oleh cairan putih. Jax pun melakukan hal serupa, ia dengan cepat menaikkan zipper celananya kemudian berdehem.

"Masuk!" Setelah berlagak tak terjadi apa-apa, Jax mempersilahkan siapapun yang berada di luar ruangan untuk menemuinya.

"Maaf Tuan, saya tidak tau kalau Mrs. Andersen masih disini" Jane Sanders yang baru memasuki ruangan tampak terkejut ketika melihat tamu atasannya masih berada disana. Sebenarnya saat itu adalah jam temunya dengan Jax seusai meeting dengan sang interior desain.

"Dia baru akan bersiap pulang" jawab Jax santai.

"Kita lanjutkan besok Alicia" pria itu menambahkan, berbalik dan mengedipkan sebelah matanya pada sang wanita cantik.

"Tentu Mr. Grant, kalau begitu saya permisi dahulu. Senang berjumpa dengan Anda!"

Alicia berkata seusai membereskan beberapa file yang ada di meja kemudian menenteng tas tangannya dengan anggun. Ia melewati Jax dan tersenyum genit. Sementara Jane hanya bisa menunduk dengan sopan.

***

"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Jax mendudukkan dirinya di kursi sementara Jane berdiri dengan sikap tegap.

"Siapa dia?" Alis tebal Jax bertautan ketika melihat Jane tak sendiri.

Tanpa berlama-lama wanita yang bersama Jane memperkenalkan diri.

"Perkenalkan Tuan Grant, nama saya Martha, saya salah satu pelayan di rumah ini"

Jax sendiri sudah tentu tak hafal dan tau semua nama-nama pegawainya. Apalagi seorang pelayan.

"Lalu ada apa kalian berdua menemuiku?"

"Jadi begini Mr. Grant..." Jane membuka suara untuk mewakili Martha menjelaskan keadaan.

"Martha ini baru saja kehilangan adiknya, dan sekarang keponakannya menjadi yatim piatu. Martha lah satu-satunya keluarga yang tersisa. Hanya jika Anda berkenan Mr. Grant, bolehkah keponakan Martha ini tinggal di mess pelayan untuk sementara, hanya sampai ia menemukan tempat lain untuk gadis itu tinggali?"

Jax yang baru saja sibuk dengan ponselnya mengalihkan perhatian pada Martha dan Jane bergantian. Belum sempat ia merespon, Martha menyela.

"Saya yang akan menanggung biaya hidup keponakan saya Tuan Grant. Saya tidak akan mengambil apapun dari mansion. Saya hanya membutuhkan tumpangan tempat tinggal untuk kemenakkan saya"

Jax terdiam sesaat untuk menimang permintaan Martha. Tanpa mengubah fokus pada ponsel, pria itu kemudian melemparkan pertanyaan pada Jade sebagai kepala pelayan.

"Apa masih ada kamar tersedia?"

Jane sedikit terhenyak lalu menjawab pelan.

"Masih Tuan"

"Kalau begitu ya sudah. Masalah selesai" Jaxon memberi jawaban mengambang.

"Sir-" Jane berusaha memastikan.

"Dia boleh tinggal disini" Jax mempertegas, seolah tau Jane Sanders meragukan keputusannya.

Jane dan Martha sama-sama terkejut. Jika Jane diam-diam menyembunyikan rasa kecewanya, lain halnya dengan Martha yang senang bukan kepalang.

"Oh, Terima kasih Mr. Grant. Terima kasih. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Anda" Martha langsung membungkukkan badan tanda sangat bersyukur dengan sikap murah hati atasannya. Ia menghela nafas lega mengetahui nasib keponakannya sudah lebih pasti.

.
.
.
.

*****


THE MASTER'S SWEETHEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang