BAB 1, INSIDEN DI Kost

9 0 0
                                    

                "Ri... Ri buka pintunya, Ri!" gedoran kencang dan menggila di pintu sebuah kamar kost malah memaksa penghuninya menyetel volume musik heavy metal yang diputarnya dengan lebih keras.

"Ri... Riana, jangan nekat napa? Aduh!" seruan yang lain terdengar lagi, dan gedoran pintu semakin keras berbunyi. Beruntungnya, malam ini sedang tidak ada bapak dan ibu kos, mereka pulang ke Jawa untuk satu minggu kedepan. Gimana kalau mereka tau ada insiden maha heboh nyaris di waktu tengah malam seperti ini?

"Ra, gimana nih?" tanya seseorang. Gadis bernama Maura yang ada di sebelahnya juga jadi bingung. Ia garuk-garuk kepala sebentar, sambil tetap menatap cemas sekaligus penuh harap ke arah pintu kamar kost yang tertutup rapat itu.

"Telepon ke HP-nya aja, gue tau, yang dipake buat play musik itu kan hp-nya," kata Maura.

"Bener juga lo... Sel, ini giliran lo!" seru seorang gadis kepada gadis lain yang baru keluar dari kamar seraya mengucek-ucek mata. Kayaknya dia udah tidur, tapi terus bangun karena ada suara-suara gaduh malam ini.

"Ada apa sih, MbakRa,Mbak Mi, kayaknya heboh banget..."

"Riana Sel, Riana..." kata Maura.

"Eh, Mbak Riri kenapa?" tanya gadis itu panik. Sepertinya, ia mulai sadar dengan situasi.

"Dia pulang-pulang langsung kunci kamar, terus setel musik keras banget, kalau gue sama Milia yang udah temenan bertahun-tahun sama Riana udah hafal banget, pasti lagi something tuh anak..."

"Something apa? Kalian ini ngomong apa sih?"

"Aduh Selena, cepetan lo ambil HP, terus telepon dia, sebelum semuanya makin parah!" seru Maura tak sabar. Dibentak begitu, Selena – yang tadinya masih setengah mengantuk – buru-buru ke kamarnya, mengambil ponsel dan segera menghubungi nomor telepon Riana. Maura dan Milia mendengar-dengarkan dari jarak yang agak jauh. Sesaat suara musik berganti ke suara notifikasi telepon. Dan sepertinya, penghuni kamar itu juga melakukan pergerakan, dan segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo..."

"Mbak Ri, ini Selena. Boleh dibuka pintunya?"

"Kenapa dek?"

"Buka aja mbak, aku mau main, mau ngopi film, kan mbak bilang mau minjamin HDD ke aku..."

"Iya sebentar, Sel..." Selena segera mematikan telepon, dan ia segera meng-kode Maura dan Milia untuk bersiap di posisinya. Dan begitu pintu dibuka...

"Masya ALLAH Rianaaaa!" Milia histeris. Ia menghambur dan memegang pergelangan tangan Riana yang terbalut perban setengah, setengahnya lagi dibiarkan terbuka dengan darah yang masih mengalir. Selena berlari menuju kamarnya, mengambil kotak P 3 K. Sementara itu, Maura pergi ke bawah (dapur), berinisiatif menyediakan teh hangat. Milia menuntun Riana masuk kembali ke kamarnya, dan gadis itu bergidik kemudian, melihat pecahan cermin yang berserakan, bersiap melukai siapa saja yang tidak berhati-hati.

"Ri, kenapa? Kenapa lagi sayang?" tanya Milia lembut. Setelah ia memastikan Riana duduk dengan tenang (dan jauh dari benda-benda yang berpotensi dijadikan senjata atau alat buat melanjutkan kegiatan ilegalnya), gadis itu segera pergi mengambil sapu dan pengki, membersihkan pecahan kaca yang berserakan di seluruh penjuru kamar. Hatinya selalu terasa remuk dan patah kalau menyaksikan sahabatnya seperti ini ; hancur, tak berdaya. Dan dia adalah orang yang paling tidak terima seandainya ada yang tega menyakiti Riana sedikit saja. Setelah kamar Riana cukup rapi (dan cukup manusiawi), kedua teman perempuannya, Maura dan Selena masuk ke dalam, membawa bawaannya masing-masing dan segera bertindak. Dengan hati-hati (dan sedikit mengabaikan rasa ngeri), Selena segera memegang tangan Riana, dan mengobatinya. Maura ketakutan bersama empat cangkir teh di atas baki yang dibawanya, sementara Milia, segera menyandarkan sapu dan pengki kembali ke tempatnya, setelah semuanya selesai.

MENTARI UNTUK MUARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang