BAB 15, KEMBALI KE JAKARTA

2 0 0
                                    

                Riana terkepung di antara barisan teman-teman yang memeluknya, sesaat setelah ia mendarat dengan selamat, kembali ke ibu kota Negara Republik Indonesia ; Jakarta. Riana Cuma bisa menghela napas sambil mengelus dada tetangga (eh, salah deng, dadanya sendiri dong pastinya). Kursi pesawat yang sedikit kurang nyaman membuat badannya sedikit terasa sakit selama penerbangan. Dan sekarang, setelah sampai di Jakarta, dia malah ditomprok secara tidak berprikemanusiaan seperti ini. Rasanya ia ingin berteriak sekarang ; "Lontooooong, lepaskan akuuuu!"

"Tambah ireng kon Ri..." ledek Milia seraya memukul bahunya keras-keras.

"Asem i... Yo piye gak tambah ireng aku, mantai thok ae bendino..." kata Riana seraya menjitak Milia.

"Gimana beb? Bahagia kah selama di Bali?" tanya Maura seraya mengajak cipika-cipiki Riana.

"Bahagia kok beb, walaupun ada insiden dikit..."

"Dikit apanya?" suara Nico menggelegar. Ia menyibak teman-teman Riana, dan memegang bahu gadis itu.

"Mario udah cerita semuanya, dia kirim banyak bukti, plus rekaman CCTV ke gue. Lo nggak papa kan?" tanya Nico beruntun.

"Gue nggak papa kok Nic, malah gue banyak yang bantu selama disana itu. Nah ini salah satunya..." kata Riana seraya menyentuh pundak Abhi yang Cuma termangu di sebelahnya.

"Dia?" Nico sedikit heran. Bukan apa-apa, masalahnya kalau dari tongkat yang dibawa cowok itu, rasanya nggak mungkin aja kalau dia adalah orang yang bisa menyelamatkan Riana dari situasi berbahaya kemarin itu.

"Jangan melihatnya seperti itu..." pinta Riana tegas.

"Ta-Tapi..."

"Orang yang lo lihat lemah, bisa jadi nggak selemah kelihatannya. Ttoh buktinya kemarin emang dia kok yang nolong gue, seandainya nggak ada dia, Rey udah pasti main kasar yang lebih parah lagi sama gue..." kata Riana.

"Santai Ri, dia berhak untuk heran, apa lagi nggak percaya kalau aku yang nolong kamu, toh kondisi aku emang kayak gini..." kata Abhi.

"Ya nggak gitu lah, Bhi..."

"Udah, aku ambil bagasi duluan ya, Ri, see you next time, makasih udah jadi teman perjalanan yang baik buat aku. Dan maaf, kalau selama perjalanan tadi aku banyak ngerepotin kamu..." kata Abhi seraya benar-benar meninggalkan rombongan penjemput Riana, dengan gestur yang menunjukkan ketidak nyamanan akibat cara melihat Nico yang mungkin saja merendahkannya.

***
-Pov Abhi

Apakah aku baperan? Apakah aku terlalu sensitif? Terserah saja. Tapi aku selalu risih atas pandangan orang-orang terhadapku, apa lagi bila itu pandangan yang terkesan merendahkan. Aku tau, aku sadar posisi kok, aku ini siapa. Terlebih di mata teman-teman Riana. Ah, Riana, perempuan cerdas yang kutemui sosoknya pertama kali di pesawat. Sosok yang membantuku mendapatkan banyak kemudahan selama aku berada dalam perjalanan. Menurutku, Riana itu cantik, supel dan ramah ; ia senang berteman dengan siapa saja, termasuk aku yang keadaannya "berbeda" dengannya. Tapi aku sadar, tidak semua orang bisa bersikap sebaik Riana. Apa lagi cowok itu tadi, entah kenapa, meskipun aku tak bisa melihat, tapi dari caranya mengatakan "dia?", saat mempertanyakan tentang aku yang menjadi "sang penyelamat" dalam cerita Riana, itu terdengar sangat sinis sekali. Ada dua kemungkinannya ; pertama, ia benar-benar meragukan kemampuanku karena kondisiku, atau kedua, dia meragukan hal itu karena... Mungkin dia cemburu?

***
-Pov Author

Riana menatap Nico dengan tatapan jengkel yang sangat kentara. Baginya, sikap Nico tadi sudah benar-benar keterlaluan, apa lagi sampai menyebabkan seseorang merasa tersinggung begitu. Inilah sebenarnya salah satu sikap seorang Nicolas Shon Putra Fernandes yang paling ia tidak suka ; ia tidak bisa menghargai orang lain yang mungkin terlihat lebih rendah darinya.

"Sorry..." ucap Nico seraya membawakan troli Riana yang berisi koper dan beberapa tas oleh-oleh.

"Sorry-nya telat, kenapa nggak dari tadi pas Abhi-nya ada?" ketus Riana seraya berjalan mengekor di belakangnya. Nico menghentikan langkahnya. Ia menatap lurus-lurus tepat ke mata Riana. Dan demi apapun, tatapan itu masih saja terluka, karena rasa yang tak pernah berbalas, bukan karena apa-apa, tapi karena perbedaan mereka. Nico masih begitu sering cemburu setiap kali Riana dekat dengan laki-laki lain.

"Don't be a stupid, Nic. Sampai kapanpun, kita nggak akan pernah bisa bersama!" seru Riana.

                "I know, Ri, I know. Tanpa lo bilang pun, gue sudah memahami itu..." lirih Nico. Ia berjalan cepat meninggalkan Riana beserta trolinya. Riana buru-buru hendak menyusul, tapi langkah Nico hampir secepat bayangan – tak terkejar.

"Biarin Kak Nico selesaikan emosinya, kita pulang sekarang ya mbak, mbak pasti capek..." kata Selena yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Riana Cuma mengangguk lemah. Selena yang merasakan kegamangan Riana Cuma menepuk bahunya pelan.

"Aku yakin mbak, Kak Nico pasti bisa mengatasi emosinya sendiri... Yuk, keluar, udah ditunggu sama yang lain..." ajak Selena. Riana menurut saja. Ia sudah benar-benar lelah dengan semuanya, terutama sikap Nico yang baginya kali ini sudah benar-benar di luar batas kewajaran.

***
Riana menekuri laptop yang ada di atas meja di kamarnya. Gila, baru seminggu ditinggal, pekerjaan menumpuk sudah menantinya. Sudahlah tumpukan tugas administrasi sekolah, ini ditambah lagi dengan berbagai macam tawaran pekerjaan lain yang muncul di promosi email-nya. Tapi satu-satunya tawaran pekerjaan yang menarik perhatiannya itu adalah sebagai penyiar radio, salah satu bidang yang juga digemarinya. Dan kini, si pemberi tawaran sedang berbicara dengan Riana melalui sambungan telepon.

"Ayolah Ri, ini Cuma kamis, jumat sama sabtu aja kok programnya..." bujuk sebuah suara di seberang sana.

"Aduh Mbak Yura, ini bukan masalah harinya, aku mah hari apa aja bisa, tapi waktunya itu lho, kenapa harus malam?" protes Riana.

"Alaaa, ayolah, Ri, ini kesempatan buat lo... Lagi gue ingat waktu dulu lu SMA juga malah lo fine-fine aja nerima tawaran buat ngebawain program malam, sekarang kok gak mau sih? Udah nikah po lo sekarang?"

"Nikah darimana? Nikah sama siapa? Sama kucing? Ya gimana ya? Lo kan tau sih mbak, gue kan sekarang ngajar, kadang ya sampai sore... Gimana ya?" Riana garuk-garuk kepala.

"Lo yakin mau melewatkan tawaran ini begitu aja, Ri?" tanya Yura. Riana menimbang-nimbang sebentar. Biar bagaimanapun, menjadi announcer adalah satu dari sekian banyak cita-cita yang ingin coba diwujudkannya. Setelah berdiskusi cukup alot dengan dirinya sendiri, akhirnya Riana memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan ini. Gak papa lah, orang Cuma tiga hari aja, kamis, jumat, sabtu, start programnya jam 9 sampai jam 12 malam aja.

***
Ponsel Riana berdering lagi. Tapi pemiliknya sudah abai, ia kembali sibuk dengan setumpuk file pekerjaannya di laptop yang menuntut diselesaikan. Waktu telah menunjukkan pukul 22:00, dan ia tetap fokus pada pekerjaan.

Drttt... Drttt... Ponsel itu ternyata teguh pendirian, tetap berdering, tetap bergerak, meskipun pemiliknya setengah mati mengabaikannya. Sebenarnya, ada berita sepenting apa dibalik deringan yang berkali-kali itu?

(TBC).

MENTARI UNTUK MUARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang