BAB 10, SENJA PERTAMA DI TANAH DEWATA

1 1 0
                                    

                Pantai Kuta, sore hari. Riana sedang asyik dengan papan selancarnya. Sebenernya dia nggak bisa surfing. Dia nyewa papan selancar cuma buat gaya-gayaan doang.

"Woooohoooooo!" serunya. Ia benar-benar berteriak, melepaskan semua beban di hati dan kepalanya. Semakin kencang ombak membawanya, semakin keras juga teriakan Riana.

"Aaaaa, bebaaaaassss!" serunya sekali lagi. Tapi kali ini ia kecolongan, ombak menghantamnya dari arah yang tak terduga. Seandainya tidak ada sepasang tangan yang menariknya, barang kali dia sudah tenggelam.

"Hati-hati, mbak!" serunya seraya mengajak Riana ke tepian pantai, membawakan papan selancarnya. Riana menoleh, ingin melihat siapa yang tadi telah menyelamatkan nyawanya. Dan Riana terkejut. Itu, kan...

"M-Mas Abhi?"

"Mbak Riana, kan?" Tanya Abhi.

"Iya... Ternyata mas tinggal di hotel di sini juga?" tanya Riana.

"Iya, ada urusan dikit. Saya kaget pas ombak gede itu, kok kayak ada orang teriak, saya kira mbaknya mau celaka. Tapi emang hampir sih ya..." Abhi tertawa.

"Iya, sayanya kurang hati-hati mas... Untung ada masnya, makasih lho mas, saya hutang nyawa sama masnya..." kata Riana.

"Nggak papa mbak... Mbaknya lagi patah hati ya?" Dor! Tepat sekali, saudara-saudara, tebakan Abhi langsung jatuh pada sasarannya.

"Iya mas, bener. Libuiran kesini dalam rangka menyembuhkan diri... Eh, ke tempat yang kering yuk, kita basah lho disini, kecipratan ombak terus..." ajak Riana. Abhi mengangguk. Riana meraih tangan Abhi dan menggandengnya. Mereka pergi ke pinggir pantai, dan duduk di atas sebuah batang pohon yang sudah tumbang. Berdua, sebelah-sebelahan.

"Sore ini cerah ya mbak kayaknya?" tanya Abhi, setelah beberapa saat mereka saling diam.

"Iya sih mas, dari siang tadi panas e, panas banget, saya aja mantai Cuma sebentar..." jawab Riana.

"Ooo..."

"Tapi kalau siangnya sepanas itu tadi, malemnya pasti ujan gede nih," kata Riana lagi.

"Gitu ya mbak? Jam berapa sekarang?" tanya Abhi.

"Setengah enam, mas... Kenapa? Mau pergi ke suatu tempat?" tanya Riana.

"Mau ke kamar, mbak, soalnya jam tujuh atau setengah delapan malam ini saya ngisi acara di ballroom lantai 3. Oh iya, ini acara bebas lho, saya mengundang mbak juga, kalau mau datang dan join acara saya, silakan..." kata Abhi sopan seraya bangkit dari batang pohon itu, dan disusul oleh Riana kemudian.

"Tongkatmu mana, mas?" tanya Riana.

"Saya tinggal di dekat penjual es kelapa disana, Cuma sepuluh langkah dari sini kok mbak. Tunggu sebentar ya..." kata Abhi seraya berjalan cepat menuju tempat yang dimaksudnya, kemudian kembali lagi, menemui Riana yang sedang takjub.

"Yuk, mbak," ajaknya.

"Eh, iya, ayo mas..." kata Riana. Dan mereka berjalan bersisian menuju lift, menuju kamar masing-masing.

***
[The first sunset in Bali.] Riana menulis caption di setiap postingannya, baik di instagram, facebook, maupun WA. Semua orang mengomentari dengan emot senyum dan bahagia. Tapi ada satu komentar yang hampir saja memancing amarahnya di instagram, dari @ElsaPramuditha08

[Perempuan gak bener ini pasti, baru putus sama pacarnya udah having fun sama cowok lain di Bali. Ish, rendah!] Riana yang terpancing emosi segera membalas komentar dari kekasih – bukan, selingkuhan Rey itu.

[Setidaknya gue bukan perempuan yang bisa dengan bangganya merebut kepunyaan orang lain. Dan inget ya sis, Cuma perempuan B*doh yang mau menerima barang bekasan. Dan ingat lagi, I keep your secret, gak usah senggol-senggol kalau gak mau ujung-ujungnya terjadi sesuatu yang tidak kamu inginkan.]

Drttt... Drttt... Drttt... Ponsel Riana berdering, sesaat setelah ia menulis balasan dari komentar Elsa di instagramnya. Dengan setengah enggan, ia melirik ponsel tersebut dan mengangkatnya. Dari Maura ternyata.

"Beb, lo ngapain? Aduh beeeeb, kenapa itu lo ladenin siiih?" protes Maura.

"Apaan sih?" Riana kebingungan.

"Itu lho, komentar si selingkuhannya si Rey, ngapain lo ladenin? Lo tau gak dia itu siapa? Dia model papan atas lho!"

"Terus kenapa, Ra?" tanya Riana dingin.

"Gue nggak pengin lo celaka sayang, dia itu orang licik, dia bisa main nekat kalau ada sesuatu atau seseorang yang dia nggak suka... Bapaknya juga bukan orang sembarangan... Aduuuh beeeeebbb, kacau banget dah lu itu, cari perkara!"

"Hahahahaha!" Riana Cuma menanggapinya dengan tertawa. Tapi ini bukan tawa sembarangan, ini tawa yang mengancam.

"Ish si bebeb, dikasih tau malah ketawa. Gue serius ini!" seru Maura.

"I keep her big secret. Lo tau ya kalau gue selalu nyimak dengan baik pas pelajaran komputer di SMA dulu, dan lo tau, gue suka sama dunia scifi, dunia cyber terutama. Dan setelah gue sadar siapa lawan main gue, gue tinggal mengandalkan komputer untuk tau segala yang gue mau..."

"Beb..." Maura memekik, ngeri.

"Habis ini gue kirim sesuatu itu ya, sebentar lagi gue perlu pergi dinner dan menghadiri sebuah undangan resmi dari cowok baik yang ada di potret instagram gue tadi. Bye, Maura..." Riana memutus sambungan telepon itu secara sepihak, lalu mengemasi barang-barang penting yang hendak dibawanya menuju ballroom tempat acaranya Abhi berlangsung. Dia juga heran, kenapa cowok tunanetra itu bisa mengundangnya secara khusus ke acaranya, sementara mereka baru kenal?

***
Ballroom Lova Hotel. Riana memilih kursi di baris kedua dari depan, supaya Abhi bisa menyadari kehadiran dirinya nanti. Bukan buat apa-apa, semata hanya agar cowok itu tahu, bahwa Riana tidak melanggar janjinya.

"Lho, mbak, dateng beneran ternyata... Makasih yaa..." Tuh, kan, baru aja Riana ngomong. Abhi-nya udah notice kalau ada Riana juga di ruangan ini.

"Tau aja masnya, hehe. Iya, sama-sama..."

"Ini wangi parfum yang sama dengan yang saya tau di pesawat kemarin. Ya udah ya mbak, saya ke depan dulu..." pamitnya. Riana mengiyakan, lalu kembali melihat-lihat sekeliling. Sepertinya tamu yang datang cukup banyak, dan dari kalangan yang beragam juga. Tapi rata-rata kayaknya juga anak muda sepertinya.

Brukkk!

"Wadaaaawww, loroooo!" seru seseorang yang menabrak meja hingga terjungkal.

"Eh, kenapa?" Riana buru-buru mendekati tempat kejadian. Dan begitu ia memegang tangan si korban meja itu, dan begitu mereka berhadap-hadapan, Riana terkejut.

(TBC).

MENTARI UNTUK MUARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang