BAB 4, RAHASIA IBU DAN TENTANG RIANA

1 1 0
                                    

-STILL POV NICO

-STILL FLASHBACK

Setahun pasca kelulusan SMA. Dalam satu kali 365 hari itu aku merasakan hidup yang benar-benar hampa, tanpa Riana. Sekarang aku sudah pindah ke Jakarta. Jakarta... Itu adalah nama kota tujuan Riana, saat ia mengatakan kemana hendak pergi. Berarti, di ibu kota Indonesia inilah aku bisa mencari gadis itu. Bukan untuk apa-apa, aku hanya ingin meminta kunci hatiku yang masih dipegang olehnya, aku ingin ada yang bisa membukanya selain dirinya. Terlalu sakit untukku berharap sendirian begini ; terlalu sakit rasanya untuk tetap mencintai seseorang yang bukan ditakdirkan untuk kita. Andai pun ada bentuk cinta yang lain, kurasa logikaku masih sangat sulit menerima itu. Jadi, kalau sekarang aku harus bertemu dengan Riana, aku hanya ingin meminta kunci hatiku darinya.

Ayah dan ibuku kembali lagi ke Amerika, setelah aku selesai sekolah SMA. Mereka mengajakku ikut serta kesana, sekalian melanjutkan kuliah. Tapi aku tidak mau. Aku sudah terlanjur betah disini, di Indonesia. Meskipun aku tidak lahir di negara ini, tapi aku tetap mencintainya, karena sebagian darahku adalah berasal dari sini, dari negara berlambang burung garuda yang kaya.

"Pulanglah," bujuk ibuku sembari menikmati makan malam waktu itu. Omong-omong, beliau sendiri pada akhirnya mau mengajakku berbicara dengan Bahasa Indonesia, setelah tiga tahun kami sekeluarga tinggal disini. Kau tau apa alasannya? Itu karena aku sempat mogok berbicara seminggu dengannya, hanya karena ia masih mengajakku berbicara dengan bahasa Inggris, bukan bahasa asli negara ini. Ibuku adalah orang yang paling tidak bisa diabaikan, apa lagi oleh diriku yang merupakan anak satu-satunya. Segala cara dia sudah coba, dari mulai membelikanku gitar akustik baru (kau ingat, aku suka seni, apapun, termasuk musik), sampai mengantarkanku susu cokelat panas setiap malam, yang hanya kuterima dalam mode diam. Tapi ada satu malam dimana aku seperti menantikan segala rutinitas itu ; ibu mengetuk pintu kamar (dan lalu membukanya sendiri), menaruh nampan berisi gelas susu di meja - kadang-kadang ditambah sedikit camilan, entah cheesecake, entah biskuit gandum - mengusap rambutku, lalu pergi lagi keluar, tentu masih tanpa sepatah katapun dariku. Jujur, aku mengabaikan semua pertanyaannya, tapi tidak dengan susu cokelat dan camilan-camilannya, karena itu benar-benar enak, menjadi penyemangat dikala aku sudah mulai bbosan belajar.

Suatu malam, aku mengintip dengan cemas dari balik pintu. Jam sudah berdentang nyaris sepuluh kali, dan cuaca juga sedang hujan. Tapi kok ibu belum datang dengan bawaannya yang biasa? Apa ibu belum pulang bekerja? Tapi kurasa tadi sudah, saat aku bbertanya pada asisten rumah tangga yang sedang mempersiapkan nampan makanan, entah untuk siapa.

"Ini untuk nyonya Aline, tuan muda. Beliau bilang sedang tidak enak badan hari ini..." aku hanya membulatkan bibirku, lalu melanjutkan acara makan malam itu tanpa rasa khawatir sama sekali. Tapi apa iya ibu sakit? Jangan-jangan sakitnya parah sampai tidak bisa kesini dan menemuiku.

Ti-Tidak... Aku mulai diserang khawatir. Ibu kenapa?

***
Aku berjalan sendirian di lorong rumah, berniat mendatangi kamar ibu. Rasanya aku keterlaluan kali ini, mendiamkan wanita tersayangku itu sudah hampir seminggu lebih. Jadi, dengan niat meminta maaf, aku memutuskan untuk mendatangi kamarnya.

"Mom..." aku mengetuk pelan pintu kamarnya, dan memanggil kemudian. Tidak ada jawaban. Tapi rasanya pintu ini tidak dikunci - hanya tertutup separuh, karena aku bisa merasakan hembusan AC dari dalam sana.

"Mom..." sekali lagi aku mengetuk pintu kamar itu, dan masih tidak ada jawaban. Ibuku kenapa? Dengan sedikit penasaran, aku membuka perlahan pintu tersebut. Benar, ternyata tidak dikunci. Aku melangkah pelan-pelan, memasuki kamar kedua orang tuaku - yang sekarang Cuma ada ibu disana, karena ayahku masih di kantornya. Aku menyalakan lampu, dan melihat ibu yang seluruh tubuhnya tertutup selimut.

MENTARI UNTUK MUARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang