BAB 2, HURTS

4 0 0
                                    


-Pov Riana

Jakarta, sore hari. Aku menghela napas putus asa di antara kemacetan jalan yang seperti tak berujung. Sebentar lagi, Rose Cafe sudah berada di depan mata. Tapi mengapa mobil-mobil ini terasa semakin rapat berimpitan, seperti muda-mudi yang sedang kasmaran dan tak ingin terpisahkan?

Aku Riana Mentari, 20 tahun. Seorang gadis yang masih berusaha memenuhi impiannya satu-persatu, dan melindungi apapun yang tersisa dari celoteh orang-orang yang menganggap semuanya hanya serupa lelucon. Berbekal pengalaman pernah sekolah musik dari kecil sampai akhir SMA, membuatku memberanikan diri berlari ke luasnya ibu kota, dan mencari pekerjaan yang sesuai passion – mengajar, mengajar musik, tepatnya. Ya, musik adalah salah satu hal yang membuatku merasa hidupku baik-baik saja. Rangkaian melodi dan nada-nada itu, entah mengapa, selalu membuatku merasa tenang kembali setelah menjalani hari-hariku yang berat.

Aku melihat pintu masuk Rose Cafe sudah kurang dari dua ratus meter lagi. Alhamdulillah akhirnya. Aku menghembuskan napas lega. Semoga aku gak telat, kasian Rey, dia pasti menunggu sekali kue ulang tahun dariku. Jujur saja, aku memang bukan orang yang romantis, tapi saat bersama Rey – pacarku, semua berubah. Kebetulan hari ini hari ulang tahunnya, dan seusai jam mengajarku habis, aku mampir ke salah satu cake shop untuk mengambil kue ulang tahun spesial yang sudah kupesan jauh-jauh hari hanya untuk dia.

***
"Ri-Riana, eh, elo datang tah?" aku melihat Nico – sang owner cafe tergesa mendorong pintu kaca, dan membiarkanku masuk ke dalam.

"Kenapa Nic? Bukan biasa gue datang ke sini sore-sore kelar ngajar?" tanyaku seraya memukul bahunya main-main dengan kotak kue tart yang aku bawa.

"Ri-Riana... Maaf banget... Ada yang mau gue tunjjukin sama lo, party-nya udah mulai dari tadi, dan Rey emang ada di dalam..." kata Nico tergagap. Aku baru menyadari, bahwa ada yang aneh dengan sorot mata dan ekspresinya. Aku menatap lekat wajah khas setengah bule itu, dan matanya langsung mengarah ke tempat lain, seolah enggan bersitatap denganku lama-lama.

"Ada apa, Nic?" tanyaku pelan.

"Riana... Gue nggak yakin harus kasih lihat ini sama lo. Tapi kalau gue sembunyiin, itu lebih nggak mungkin lagi, dan gue akan merasa benar-benar bersalah..."

"Kalau gitu, kasih tau gue, Nico," aku memotong cepat ucapannya. Aku bisa melihat sorot putus asa di matanya, dan ia mengacak kasar rambutnya, seolah frustasi dengan keadaan yang sedang dihadapi saat ini. Ia meraih satu tanganku yang bebas tak memegang kotak kue, lalu membawaku berjalan cepat menuju lift untuk naik ke lantai dua. Cafe ini memang terdiri dari beberapa bagian, ada bagian bawah untuk para pengunjung yang hanya ingin hangout atau meeting dan melakukan janji temu dengan client, sementara bagian lantai dua adalah tempatnya para pengunjung yang ingin melakukan pesta perayaan apapun, sementara lantai 3 adalah private room buat para pekerja disini. Oiya, disini juga tersedia live music lho, baik untuk reguler menghibur pengunjung, atau yang spesial seperti perayaan pesta tadi. Aku sendiri kalau pas senggang, cukup sering kok menghibur di cafe ini, kadang jadi vocalist cabutan gitu.

Denting bel lift menyadarkanku dari lamunan absurd yang entah kenapa, akhir-akhir ini sering hinggap di kepalaku (ya iya, masak di kepala tetangga, ngapain juga itu lamunan hinggap disana segala?). Ditambah lagi, di dalam lift ini, aku dan Nico sama-sama terdiam. Jadi makin aneh aja tuh lamunan yang masuk ke kepala.

"Ri, lo udah siap?" Nico memecah kesunyian.

"Harusnya gue yang tanya kali Nicolas Fernandes, si Rey tau gak gue mau kesini? Jangan sampai bocor ya? Gue pengen kasih surprise nih..."

"I-Iya, kayaknya dia nggak tau sih lo mau kesini. Yuk, masuk..." ajak Nico. Aku meneruskan langkah ke dalam tempat dimana biasa diadakan pesta, bersama Nico yang masih terus menggenggam tanganku. Dan entah karena suhu ruangan atau kenapa, aku merasa tangan Nico begitu dingin.

"Nic, bentar deh," kataku menginterupsi, menghentikan langkah kami.

"Kenapa, Ri?" tanya Nico heran.

"Kenapa tangan lo dingin banget sih? Lo sakit?"

"Nggak kok, gue sehat-sehat aja. Yuk, masuk." Jawab Nico. Ia semakin erat menggenggam tanganku, dan kami berada semakin dekat dengan ruangan tempat pesta.

***
Langkahku terhenti. Jantungku serasa ditarik keluar seluruhnya oleh kekuatan dahsyat entah dari mana. Dan mataku... Mataku dipaksa melihat hal yang sungguh jika boleh dan jika bisa, aku tak ingin melihatnya. Dengan sisa kesadaranku, aku menatap Nico, lalu dengan tangan bergetar, aku menyerahkan kotak kue itu padanya.

"To...To-Long, kasih kue ini sama dia..." hanya itu yang bisa kukatakan, sebelum akhirnya tubbuhku luruh, berdebam keras menghantam lantai marmer yang cukup dingin disana.

(TBC).


Halooo... Ini cerita baruku. Hope you enjoy it guys, setelah sekian lama gak nulis disini hehe.

MENTARI UNTUK MUARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang