Sepasang matanya terbuka, yang ia lihat saat ini adalah sepi dan hening. Perlahan ia beranjak duduk, memperhatikan keadaan sekitar dalam heningnya suasana. Ke mana semua orang? Dan mengapa ia sendirian?
Kedua tangannya terangkat, ia memperhatikan tangan yang tak lagi mungil itu, perlahan kedua tangannya meraba bagian surai untuk memastikan. Rambutnya tak sepanjang ketika ia masih kecil, berarti ia telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja. Dan ... dia tidak sedang bermimpi.
Meskipun dirinya terkurung dalam rasa takut, ia tetap memaksa turun dari brankar rumah sakit yang menjadi tempatnya beristirahat. Ia mencabut paksa infusan sehingga darah segar kontan keluar begitu saja. Namun, ia tidak perduli dengan rasa sakitnya, ia memutuskan untuk melanjutkan langkah.
Bagaimana cara memutar waktu?
Seandainya dia mampu memutar waktu, maka ia berjanji tak akan menyia-nyiakan apapun. Sorot mata polosnya mulai bergerak memperhatikan sekitar, dan pandangannya terpaku pada satu pintu yang ada di depan sana. Memandangnya penuh harap, sekuat tenaga ia menahan sesak di dada.
Sebelum ia masuk ke dalam ruangan tujuan utamanya, pintu sudah lebih awal dibuka. Ia terpaku membisu dan memberhentikan langkah orang-orang yang dipastikan datang untuk menjenguk. Masih menjenguk, belum sampai melayat, bukan?
"Auntie," panggilnya pada seseorang yang berdiri paling depan, Hyoyeon. "Kenapa menangis?"
Tak ada sepatah kata pun yang mampu Hyoyeon katakan pada gadis remaja ini, ia menepi dan memberi ruang kepada anggota lain untuk meninggalkan ruangan itu. Bercak darah menjejak di lantai, hal itu baru disadari oleh Hyoyeon yang sudah lama berdiri di belakangnya.
"Tidak, 'kan?" tanyanya kepada orang terakhir yang ia berhentikan, Yoona. "Kumohon, katakan tidak maka aku akan memelukmu, Auntie."
"Tanganmu," ujar Hyoyeon menyadarkan semua orang dari duka mereka.
Sinb menggeleng, ia menyibak rambutnya ke belakang untuk menepis beberapa helai yang berani menghalangi pandangannya. Tangannya berhenti di atas sana, meremas rambut sebagai pelampiasan sesak.
"Tidak, 'kan?" tanya Sinb dengan gemetar. "Kumohon."
"Maaf, Sinb ah," sahut Taeyeon sembari memeluk Sinb dari samping.
Yuri meraih lengan Sinb yang berdarah itu, ia menatap pilu luka yang tak berhenti mengeluarkan darah. Jika Sinb tidak dikuatkan oleh harapannya, maka dia tak mampu menopang tubuhnya sendiri.
"Mommy-mu, tidak akan sakit lagi," bisik Taeyeon.
Sinb memejamkan matanya kuat, sehingga dengan tanpa izin air mata jatuh membasahi pipi. Satu persatu datang kepadanya, memberi pelukan sebagai cara untuk menenangkan.
"Sinb yya, tenangkan dirimu, Sayang~" bisik Tiffany hangat.
Sinb menggelengkan kepalanya berkali-kali, ia menolak takdir ini dan berharap Tuhan segera mengubahnya. Dalam pelukan delapan wanita itu Sinb menangis sejadi-jadinya, dia tak mampu menahan dirinya untuk tidak menangis lagi. Sampai pada akhirnya, ia mengingat perkataannya.
"Biarkan aku masuk!"
Melepaskan diri dari pelukan itu, berjalan cepat masuk ke dalam ruangan. Bukan untuk menangis dan menolak semua takdir ini, Sinb menarik kedua sudut bibirnya tersenyum.
"Mommy," panggil Sinb gemetar. "Mommy, bagaimana? Sekarang sudah tidak sakit lagi?"
Krystal mengangkat kepalanya yang sejak tadi tenggelam di antara lipatan tangan itu, ia menyeka air mata dan malah semakin terluka saat melihat Sinb di hadapannya. Bagaimana gadis semuda itu harus kehilangan ibunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier
Fanfiction[COMPLETED] - I wish I could be happier - [21-02-22] #2 in Jessica [25-03-22] #1 in Umji [30-02-22] #1 in Seohyun #3 in Siwon [07-04-22] #1 in Sowon [04-08-22] #1 Taeyeon