Terkadang ledakan dalam hidup tidak selalu berarti buruk, beberapa menganggap nya berharga
.
.
.
.
.
.
.
."Gue gayakin"
"Gue sebenarnya mau apa?" keluh Juan kepada mereka berdua.
"Emang lo kenapa?" tanya Dion mendegar ucapan lelaki itu barusan.
"Ada apa si? Cerita!" sambung Alva yang semakin ngegas.
"Waktu itu.." Juan akhirnya bercerita.
"Dua hari yang lalu, gue liat Youna di jalan"
"Dia berantakan, seperti banyak masalah"
"Gue samperin.."
"Dan dia menghindar" sambung Juan.
"Menghindar?!" suara Alva meninggi, ia kebingungan.
"Dia ga deket-deketin lo gitu? Ga ngerengek?"
"Itu kan kesempatan? Tumben banget"
"AAAAAKKK" tiba-tiba Alva berteriak, kali ini benar-benar kencang. Lelaki itu kembali meringis kesakitan.
"Lo kalo ngomong asal nyeplos!"
"Mulut lo gue cabein mau Va?" ketus Dion sebal setelah menginjak kaki Alva untuk kesekian kalinya.
"Ya!" dagu Alva naik, badan nya membusung.
"Ma-maaf" akhirnya Alva menunduk lemas dan tersadar. Menciut seperti anak kucing.
"Nggak, Youna ga ngelakuin semua itu"
"Dia.. tiba-tiba beda" sambung Juan.
⚪⚪⚪
Pukul 11 siang, bel berdering. Reflek seluruh penghuni sekolah keluar dari kelasnya masing-masing. Memberhentikan segala kegiatan yang sedang mereka lakukan saat itu juga. Beberapa menatap kearah luar jendela, terlihat orang ramai mengantri turun dari tangga, berjalan ke arah Lapangan.
Bunyi terompet mengiringi keluarnya mereka. Lapangan yang luasnya setengah dari bangunan sekolah itu memantulkan teriknya cahaya mentari di panggung besar yang menjadi pusat perhatian saat ini.
Beberapa gadis mengobrol, membentuk kerumunan mereka sendiri, membicarakan apapun yang mereka inginkan.
Sementara di belakang sana, banyak orang menyibukkan diri, beberapa panitia dan guru juga ikut hadir memeriahkan acara yang akan berlangsung.
Para pengawas, MC dan pengurus-pengurus lainnya mulai mempersiapkan acara puncak. Mereka meniup sebuah peluit, mengeluarkan suara bising memecah obrolan.
Salah dari seorang mereka membawa mic, berjalan kedepan. Speaker-speaker besar yang terpasang disana mengeluarkan suara, sempurna. "Test, test"
Semua siswa menatap kearah panggung. Mereka tertib dan berbaris megambil posisinya masing-masing. Tak lama lagi serah terima jabatan akan berlangsung.
"Selamat kepada.. Jia McKenzie"
Suara tepukan tangan memeuhi panggung. Beberapa menyorak, gadis berkuncir kuda dengan Almameternya itu ikut tersenyum, menundukkan setengah badan nya dan berjalan.
Jia merupakan siswi kelas satu yang berhasil terpilih menanggung tanggung jawab baru, menjabat menjadi Ketua Students Council. Dalam kemeriahan tepukan, beberapa berbisik "Marga belakang nya seperti tidak asing? McKenzie?"
Kalian pernah mendengarnya? Iya, Jia adalah adik perempuan Evelyn.
Berlawanan dengan kakaknya, Jia memiliki kepribadian 180 derajat berbeda dengan Evelyn. Gadis yang dianggap cupu, tidak tertarik hal baru dengan sifat penakut dan pendiam. Selalu lengket dengan analog nya, siapa sangka Evelyn McKenzie yang kadang ditindas memiliki adik yang menjabat sebagai ketua baru.
Jarang perempuan terpilih, lebih tepatnya jarang yang menyalonkan diri. Jia menjadi ketua perempuan kedua yang berhasil menjabat selama sepuluh tahun terakhir dalam organisasi sekolah mereka.
Bising dari tepukan tangan kembali terdengar saat Jia berhadapan langsung dengan Juan diatas panggung. Ia kembali menunduk sebelum prosesi pelantikan dimulai, disusul guru-guru lain nya yang ikut membantu.
Hingga satu confetti bomb besar meledak, banyak kertas kecil warna-warni berterbangan di atas awan dan jatuh ketanah. Disusul siswa-siswi yang bersorak memeriahkan panggung.
Juan tersenyum diatas sana dan berjalan kearah podium, mengambil mic memulai pidato terakhirnya. Ia berterima kasih, mengutarakan segala maaf, harapan-harapan, dan ucapan selamat tinggal nya.
Suasana menjadi haru, Jia mendengarkan kata-kata Juan dengan baik. Memperhatikan segala semangat pria itu, gadis itu mengangguk. Memberi applause kecil sekali lagi.
⚪⚪⚪
Diujung sana terlihat Youna berada dibaris paling belakang, mengangkat salah satu tangannya kearah dahi menghalau teriknya cahaya sinar matahari.
Ia terdiam, memperhatikan pidato Juan dengan tajam. Perasaan gadis itu masih saja tak nyaman, melihat sesosok gadis lain menatap Juan dan diikuti senyum.
Youna masih belum bisa mengeluarkan lelaki itu dalam hatinya. Kejadian malam dua hari lalu, Youna lelah dengan kedua orangtuanya. Dia tidak bisa melampiaskan emosinya, ia masih menyimpan perasaan nya untuk Juan rapat-rapat. Entah dia akan egois atau mungkin.. Menyerah.
Bomb
Confetti bomb kembali meledak, kali ini bergantian membuat suasana makin meriah. Annette dibaris ketiga dari depan ikut meledakkan confetti nya, disusul beberapa siswa lain. Ia tersenyum manis, reflek menatap kearah kanan.
Tiga orang dari kanan setelahnya adalah Everest, ia ikut meledakkan confetti bomb miliknya. Annette memperhatikan lelaki itu kurang dari dua meter, hingga tak lama mereka terjebak di tatapan yang sama, ikut tersenyum berdua. Menghiraukan segala kericuhan lapangan dan dengungan speaker di atas panggung, mereka berdua tertawa kecil tenggelam dalam terbangan kertas warna-warni.
Alva turun dari atas panggung, berjalan kearah lapangan. Menghampiri seseorang dibaris ketiga, tempatnya gadis dengan kacamata yang sibuk menepuk tangan nya, bangga dengan Jia.
"Camera?" ucapnya.
Evelyn mengangkat alisnya sesaat terkejut melihat Alva disana. Ia mengerti, memeberikan kamera analognya pada lelaki itu.
Alva lanjut memberikan kamera Evelyn ke seseorang dihadapan nya, megangguk memberikan pertanda. Ia merangkul gadis itu "Cheese!"
📸📸
Evelyn menutup mulutnya kaget, ia pikir Alva meminjam kameranya untuk memfoto beberapa siswa disana untuk dokumentasi acara, ternyata tidak.
Sebelum akhirnya Evelyn tersenyum, mereka berdua kembali berfoto dengan posisi yang benar.
"Anne!" Evelyn menarik tangan Annette, memecahkan tatapan gadis itu.
Dion tiba tiba berdiri di samping Everest, ia turun dari panggung nya. "Rest" Mereka menarik dua orang itu, membuatnya berdekatan.
Cekrek
Hingga akhirnya kamera analognya memgambil gambar sekali lagi, membuat foto yang indah.
⚪⚪⚪
#To be Continued
luvv -cheeseylis
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk, Everest
General FictionPrinsip nya tinggi seperti namanya, Everest. Berlatar belakang di sudut kota Seoul, kehidupan remaja Everest tak pernah semulus sesuai rencana. Menjalani hari tanpa orangtua, ia hanya tinggal di rumah dengan bangunan sederhana, sendirian. Dirinya ta...