12. moonlight

48 7 10
                                    

Jika ia bersuara, mungkin aku hanya sebuah bintang yang tak akan pernah jauh dari rembulan
.
.
.
.
.
.
.
.

Gadis itu menaiki Bus nya, ia duduk di barisan kedua dekat pintu masuk Bus, tepatnya dipojok dekat jendela. Di samping kursinya terlihat kosong, tidak ada seseorang. Bahkan setiap barisan di belakangnya juga hanya terisi salah satu saja. Seharusnya kursi-kursi yang kosong ini diisi oleh siswa lain. Tapi memang saat ini penumpang Bus terasa lebih longgar.

Senja di perjalanan menemani Annette yang masih sibuk dengan sengenggam kertas di tangan nya. Sinar oranye matahari membuat pantulan yang sangat indah, langit dilewati sekelompok siluet burung yang berterbangan.. Pulang, menuju rumahnya.

"Sinchon Street, number 46"

Ia berusaha berpikir keras, Sinchon Street? Setahuku, jalanan itu adalah salah satu yang paling terkenal, dan paling ramai di Seoul "Ah iya, aku lupa"

"Bibi, Annette pulang agak telat ya hari ini" tulisnya dalam pesan. Ia masih sibuk dengan keyboard ponselnya, memikirkan alasan yang yang tepat agar Bi Seo percaya dan tidak merasa khawatir. Tak jarang dirinya bolak-balik memencet tombol delete karena merasa alasan nya tidak pas.

"Ah, apa yang harus aku tulis?!" kepalanya menoleh-noleh kesamping untuk mencari ide.

"Ada kerja kelompok" ia menghela napas panjang, sepertinya ini alasan yang cocok. Annette mengalihkan pandangan matanya dari ponsel tersebut. Tatapan nya mengarah ke luar jendela, sendu menatap langit yang bewarna oranye.

Annette terpaksa berbohong, karena ia tidak ingin Bibi berpikir macam-macam dan khawatir dengan keadaan nya sekarang. Ia akhirnya mematikan ponsel itu dengan memencet lama tombol powernya. Terlihat layar yang sudah berwarna hitam, ia mengantungi ponselnya masuk ke sebuah kantong kecil dalam rok abu sekolahnya.

Hingga lima belas menit berlalu, Bus berhenti di kiri Halte sebuah pertigaan besar. Annette turun disana, meninggalkan Busnya. Ia bersapa salam sebentar pada Sopir, karena hal tersebut memang sudah menjadi rutinitas para pelajar. Walaupun langit sudah mulai petang, Annette bertekad untuk menelusuri jalan.

Ia berjalan lurus semakin masuk kedalam, menelusuri beberapa kloter makanan dan toko-toko kecil yang tersebar luas di setiap sudut-sudut nya. Meninggalkan pusat kota dan pertigaan besar itu. Ia berbelok kanan menuju sebuah gang kecil.

Ternyata, gang itu menembus jalanan lagi. Daerah yang dimaksud di surat ini kondisinya terlihat cukup terpencil. Membuat Annette menjadi sering bertanya kepada orang sekitar.

Hingga akhirnya ia memberhentikan langkahnya mendadak di di depan sebuah Layanan Jahit Pakaian "Permisi, Ahjumma"

"Sinchon street nomor 46? Benar dekat sini ya?" ia menunduk setelahnya, menunggu sang Ibu yang sedang menjahit memberi jawaban.

"Nomor 46?" ibu itu mengalihkan matanya keatas, berusaha mengingat-ingat. Tangan nya masih sibuk dengan mesin jahit, usianya sudah lanjut tapi ia masih berusaha untuk membantu gadis ini.

Hati Annette berdegup kencang menunggu jawaban dari si Ahjumma, ia berdiri dengan pasrah meyakinkan hatinya.

"Ah!" si Ibu penjahit tiba-tiba membuka suara.

Annette menurunkan kepalanya perlahan, berusaha mencerna informasi sebaik mungkin agar tidak terlewat.

"Seingat ibu, itu! Disana" jarinya menunjuk, tak jauh beberapa meter dari layanan jahit miliknya. Terlihat sebuah tanah kosong tak berpenghuni.

Untuk, EverestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang