Selesai meeting dengan Adam, Ceysa memilih tetap di sana menunggu jam kerja Vale selesai. Meski rasanya lelah dari seharian bekerja, tapi melihat Vale begitu senang ditemani, dia pun tidak keberatan.
"Your coffee, miss." Vale membungkuk hormat, menaruh segelas espresso ke atas meja.
"Thank you," balas Ceysa tersenyum.
"Kamu yakin mau nungguin aku? Ini baru jam sepuluh loh, masih dua jam lagi." Vale tidak tega membiarkan Ceysa menunggu selama itu.
"Selama ada kopi, aku kuat." Ceysa mengangkat gelas ketiga kopi hitam itu, lalu menyesapnya sedikit.
Segerombolan anak muda datang dan duduk di meja sebelah Ceysa. Begitu melihat Vale, salah satunya langsung memanggil dengan cara yang kurang sopan. "Pelayan, sini dong!" Sembari melambaikan tangan.
Ceysa menatap tajam pemuda itu.
"Aku kerja dulu ya," ucap Vale.
Ceysa menoleh ke meja itu, menatap tidak suka pada para pemuda yang tidak tahu sopan santun itu.
Vale mendatangi meja itu, dengan sopan memberikan menu. "Silakan," ucapnya ramah.
"Lo ... Vale, kan?" tanya salah seorang berbadan paling kurus.
Semua jadi ikut memandang serius ke arah Vale. "Ya ampun, Val, nasib Lo dari dulu masih nggak berubah?" ejek pemuda lainnya.
"Hahaha."
Vale diam saja, karena tidak mungkin untuknya melawan pelanggan cafe. Kalau Vale tidak salah ingat, mereka semua teman satu sekolahnya di SMA namun tidak dekat dengannya.
"Kalian jangan ngerendahin dia gitu dong. Inget nggak dulu waktu SMA dia paling digilai sama cewek-cewek. Sampe si Rina aja tega putusin Lo," ucap pemuda cungkring itu.
"Halah ... Rina aja yang seleranya emang kampungan. Beruntung gue diputusin sama dia," elak si pemuda penuh gengsi itu.
"Hahaha."
"Eh, tapi itu, kan, dulu. Cewek-cewek ngeliat tampangnya aja. Coba kalau sekarang, gue yakin mana ada yang mau sama pelayan cafe. Makan cinta nggak kenyang, Man." Tawa kembali terdengar.
Ceysa bisa melihat usaha keras Vale dalam menahan diri. Tangan pria itu terkepal di samping tubuh, pertanda emosinya sudah bergumpal di sana. Bukan status sosial yang mengukur nilai seorang manusia, tetapi caranya bicara. Ceysa yakin, kelima pemuda itu tidak pernah diajarkan tentang arti sebuah kesopanan.
"Maaf, bisa disebutkan pesanannya?" minta Vale pada mereka semua. Dia sudah berdiri cukup lama di sini, dan harus profesional.
Kelima pemuda itu masih mengejek, malah menertawakan Vale dengan meniru gaya bicaranya. Sayangnya, mereka tidak akan berhasil bila ingin memancing emosi pria itu, hingga bosan sendiri.
"Kita mau pesan makanan yang paling enak dan mahal di sini," ucap pemuda sombong itu.
"Lo pasti belum pernah nyobain yang enak dan mahal meski kerja di sini, kan?" ledek mereka lagi.
Vale merespons dengan senyum. "Ditunggu untuk pesanannya," ucapnya sebagai penutup.
"Jangan lama ya Pelayan," ucap pria tadi lagi, empat lainnya menertawakan.
Vale memilih tetap diam dan pergi dari sana. Dia sempat menoleh Ceysa saat melintasinya, memberi seulas senyum untuk memberitahu wanita itu kalau dia baik-baik saja.
Setelah Vale pergi, salah satu dari pria itu tak sengaja melihat Ceysa. Dari reaksinya, terlihat jelas kalau dia terpana pada kecantikan wanita itu. Dia langsung memberi kode pada empat temannya, yang begitu melihat juga bereaksi sama. Mereka saling sikut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Temptation (KOMPLIT)
RomanceWarning: Area 21+ Bijaklah dalam memilih bacaan yang sesuai dengan usia. Ceysa tidak lagi percaya cinta sejak pernah sangat terluka. Baginya, kebutuhannya pada seorang pria hanya untuk menghangatkan malamnya. Tidak ada komitmen, hanya untuk bersenan...