Chapter 11

7.8K 747 27
                                    

Sisa hujan masih membekas di aspal, genangan air ada di mana-mana. Jam sudah bergeser dua puluh menit dari angka dua belas, tapi berbagai jenis kendaraan masih memadati jalanan. Saat mobil berhenti di lampu merah, Ceysa melihat Vale senyam-senyum tidak jelas.

"Kamu kenapa?" tanya Ceysa dengan alis bertaut. Ekspresi Vale ini sangat menggemaskan, mengundang rasa penasaran.

"Aku lagi seneng banget," sahut Vale.

"Karena?" Ceysa masih menatap Vale lekat. Dari samping, kenapa pria itu makin tampan? Hidungnya mancung, bulu matanya panjang, bibirnya ... sangat cipokable.

"Malam ini pacar aku keren banget." Vale mencium punggung tangan Ceysa berkali-kali sebagai ungkapan rasa gemasnya. "Aku puas banget lihat ekspresi mereka tadi. Dua kali ditampar oleh kenyataan, pasti rasanya sakit banget."

"Dua kali?"

"Pertama, pas mereka tau kamu pacar aku. Padahal Aldo udah pede banget ngajak kamu kenalan." Vale tertawa.

"Sok ganteng tuh orang," cibir Ceysa. "Eh, emang kamu tau tadi dia deketin aku?"

"Tau lah. Aku lihat semuanya dari CCTV. Aku hampir aja nyamperin dia dan nonjok mukanya andai kamu merespons. Tapi pacar aku yang cantik ini udah permaluin si songong itu tanpa harus capek-capek buang tenaga." Vale riang gembira.

"Pede banget mau ngedeketin aku, muka udah pas-pasan, kelakuan minus." Ceysa berdecak sembari menggeleng.

Vale terbahak. "Kalau yang kayak Aldo kamu bilang pas-pasan, berarti aku ganteng banget ya?" tanyanya begitu percaya diri.

Ceysa mencebik, namun akhirnya tertawa. Dia tidak perlu menjawab, Vale pasti tahu standarnya untuk tipe seorang laki-laki. Saat prinsipnya soal usia saja telah dilanggar, itu artinya Vale lebih dari sekadar ganteng.

"Terus yang kedua?" tanya Ceysa lagi.

"Pas kamu bayarin pesanan mereka atas nama aku, itu pecah banget. Aku berasa lihat kesombongan mereka tuh runtuh," ucap Vale antusias. "Aku aja sampai kaget tau nggak pas denger, apalagi mereka coba?"

Ceysa tersenyum tipis dan mengangguk.

"Tapi Cey, kamu ngapain sih bayarin mereka segala? Habisin uang aja, kan mahal," protes Vale. Dia rasanya tidak rela Ceysa mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk mengenyangkan kelima orang tadi.

"Kita butuh uang untuk menampar mulut sampah seseorang. Dengan begitu mereka nggak akan mandang rendah kamu lagi. Sumpah, aku nggak suka mereka bersikap gitu ke kamu tadi." Bila ingat, Ceysa ingin menampar kelima pemuda itu satu persatu rasanya.

Vale menciumi tangan Ceysa kembali. "Makasih ya, berkat kamu harga diri aku terselamatkan," kekehnya.

"Iya, sama-sama." Ceysa tersenyum. Gantian dia yang mencium punggung tangan Vale. "Emm, bau ..."

"Masa?" Vale menarik tangannya dan menciumnya. Melihat Ceysa tertawa, dia pun tahu sudah dibohongi. "Sini, aku kasih yang bau beneran."

Ceysa menjerit disertai tawa saat Vale mengapit kepalanya ke bawah ketiak pria itu. Tidak bau sama sekali, malah aroma maskulinnya sangat enak. Dia mendongak, Vale mencium bibirnya.

Saat sedang becanda seperti itu, perut Ceysa tiba-tiba diserang nyeri yang begitu hebat. Dia refleks menekannya sembari setengah membungkuk.

"Kenapa?" tanya Vale cemas. Dia harus membagi fokusnya antara jalan dan Ceysa.

"Perut aku sakit banget," rintih Ceysa.

Saat menemukan celah, Vale langsung menepikan mobil. Dia ikut memegang perut wanita itu, "mau dapet?"

Sweet Temptation (KOMPLIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang