Vale menyadari kemarahan Ceysa di balik sikap penuh perhatiannya itu. Wanita itu menyuapinya bubur, lalu mengelap bibirnya yang belepotan. Namun tatapannya terasa dingin, juga tak mau bicara sepatah kata pun. Dari tadi dia sudah mencoba menarik perhatiannya, namun sia-sia.
"Obat kamu di mana?" tanya Ceysa setelah bubur yang Vale makan habis.
Saat Ceysa ingin berdiri menaruh mangkuk bubur itu, Vale menahan tangannya. Dia ambil alih mangkuk itu dan menaruhnya ke samping bantal. Digenggamnya tangan Ceysa yang terasa dingin, efek dari kulitnya yang sedang panas.
"Maaf ..." ucap Vale. "Aku cuma nggak mau ganggu liburan kamu sama temen-temen kamu."
Ceysa menatap Vale tajam. "Menurut kamu, aku bakal lebih milih liburan di sana terus ngebiarin kamu sakit di sini? Cuma segitu penilainan kamu tentang aku?" cecarnya.
"Nggak gitu." Vale menarik kembali tangan Ceysa yang berusaha lepas.
"Coba sekarang kita tukar posisi, Val. Andai kamu yang berencana liburan, terus aku nggak ngasih tau kalau aku sakit dan kamu malah tau dari orang lain. Kamu bakal tetep pergi?" cecar Ceysa kembali.
"Nggak. Mana mungkin." Vale dengan erat menggenggam tangan Ceysa yang masih berusaha melepaskan. "Maaf, aku salah."
"Kamu mikir nggak sih gimana perasaan aku andai aku telat dikit aja tadi? Pesawat udah hampir take off, Val!" Emosi Ceysa yang tertahan lantas menyembur ke luar.
"Maaf maaf maaf." Vale langsung memeluk Ceysa. "Aku janji nggak akan ulangin ini lagi."
Ceysa berontak, tapi Vale lebih kuat.
Vale melepaskan pelukan, tapi malah mencium paksa bibir Ceysa. Sekuat apapun wanita itu ingin melepaskan diri, jauh lebih kuat lumatan bibirnya yang panas.
Ceysa menyerah, tidak lagi berontak. Dibalasnya ciuman Vale dengan sisa emosi yang ada. Panas dan dingin melebur jadi satu. Bila biasanya bibir Vale begitu lembut, kali ini terasa sedikit kasar efek dari panas tinggi yang membuat bibirnya kering.
Vale melepaskan ciuman, mengecup ringan beberapa kali. "Jangan marah, aku lagi sakit ..." lirih Vale, memohon.
"Mana obat kamu?" tanya Ceysa lebih lembut.
"Kamu," jawab Vale.
"Aku serius."
"Aku juga serius. Nggak ada obat yang lebih ampuh selain kamu. Aku merasa lebih sehat sekarang," ujar Vale tak main-main.
Ceysa mendesah.
Vale turun dari dipan itu, berjalan ke pintu dan menutupnya. Menarik slot agar terkunci.
"Kenapa dikunci?" Suara jantung Ceysa bagai sedang berlomba dengan detak jarum jam.
Vale menarik Ceysa berdiri, kemudian dibawanya lagi ke pangkuan. Posisi merek berhadapan, saling menatap begitu dalam. Direngkuhnya pipi wanita itu, dan menciumnya kembali.
"Kamu lagi sakit," bisik Ceysa di sela ciuman panas itu.
"Sampai pagi pun aku kuat," balas Vale terkekeh. Dia sedang begitu bernafsu sekarang, tak menerima penolakan.
Ceysa bisa merasakan sesuatu mulai membesar menyentuh pangkal pahanya. Dia membalas ciuman Vale dengan seimbang, meliukkan tubuh lebih menempel pada pria itu. Rasa panas di tubuh Vale, menghantam kulitnya.
Vale menarik kaus Ceysa ke atas dan melepas pengait bra hitamnya. Dia remas dada ranum itu, sembari bibirnya menjelajahi lekuk leher yang basah oleh keringat itu.
Keduanya tak mengubah posisi. Ceysa memimpin, bergerak di atas Vale mengatur iramanya. Desahan mereka berlomba, saling mengejar. Bibir tak henti-hentinya mencari jalan untuk saling bertaut. Suara basah dan napas yang terengah telah merampas hening malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Temptation (KOMPLIT)
RomanceWarning: Area 21+ Bijaklah dalam memilih bacaan yang sesuai dengan usia. Ceysa tidak lagi percaya cinta sejak pernah sangat terluka. Baginya, kebutuhannya pada seorang pria hanya untuk menghangatkan malamnya. Tidak ada komitmen, hanya untuk bersenan...