"WIBI? Wibi!"
Wibisana tersentak dari lamunannya, menatap kesal ke arah sumber suara yang baru saja mengganggunya. Pria yang baru saja memanggilnya itu bangkit dari posisinya, lalu berjalan ke arah meja kerja Wibisana.
"Apaan?" tanya Wibisana, ketus.
"Lo daritadi gue tanyain, tapi gak nyambung," kata Alkan. "Mikirin apa, sih? Jodoh yang belum jelas kapan datengnya?"
"Bangsat," umpat Wibisana. "Gak ada yang lagi mikirin jodoh, bego. Gue lagi mikirin kerjaan."
"Eh, kita udah temenan lama. Dari jaman masih jadi kecebong, lo tau?" ujar Alkan. "Lo pikir, lo bisa boong sama gue?"
Wibisana menggerutu kesal. Dia hanya bisa diam, lalu bangkit dari posisinya untuk mengisi gelasnya dengan air mineral dari dispenser yang ada di sudut ruangan. Memang salah besar karena dia sempat berniat untuk membohongi Alkan yang notabenenya sudah berteman dengannya sejak mereka masih SMA.
"Kenapa lo?" tanya Alkan lagi, masih penasaran dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya ini hari ini.
"Lo pergi aja deh, bangke," ujar Wibisana. "Lagian, lo ngapain dah mampir ke perusahaan gue?"
"Ya, kan mau mintol soal kerjaan, Bi," Alkan memberi jeda. "Udah, jangan ngalihin topik. Lo kenapa hari ini?"
Wibisana terdiam sejenak. Gelas kaca yang beberapa menit lalu dia teguk, lantas dia taruh di atas meja kerjanya. Wibisana mengulum bibirnya, tampak sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan Alkan.
"Gue ciuman sama dia," kata Wibisana, akhirnya.
Alkan melebarkan matanya. "Sama Raya? Lo balikan?"
"Bukan, ogeb," Wibisana mendengus kesal. "Sama Laudia."
"Laudia?" Alkan mengernyitkan dahinya. "Siapa, anjir?"
"Yang waktu itu," Wibisana mendesah, merasa canggung untuk menceritakan hal ini karena dia sudah bisa membayangkan respon Alkan selanjutnya. "Si anak sembilan belas tahun yang di rumah gue."
"Si bangsat," umpat Alkan. "Mana hape gue? Gue telepon Komnas Anak dulu."
"Dia duluan yang comot gue, anjir."
"Tapi, akhirnya lo juga nurut aja dan terbawa suasana kan, ngen?" Alkan jadi sedikit emosi karena ucapan Wibisana yang terkesan berbelit-belit sedaritadi. "Yaudah. Lo juga salah."
"What's so wrong about that? Kok gue salah?"
"Ya, gak salah, Bi. Maksud gue, lo sama dia nganu atas dasar suka sama suka, mau sama mau," Alkan mengangkat kedua bahunya. "Terus, apa lagi yang lo tunggu? Gas."
"Gas gas pala lo. Semuanya tuh gak bisa sat set sat set gitu aja kaya kisah percintaan lo," ujar Wibisana, memutar kedua bola matanya kesal. "Gue juga gak ngerti apa alasan dia cium gue."
"Ya, lo tanyain, lah," ujar Alkan. "Aneh banget, ciuman tapi gak tau atas dasar apa. Perasaan lo sendiri gimana, emangnya?"
Wibisana terdiam, cukup lama. Dia juga tak tau jawaban untuk pertanyaan yang satu itu. Dia terlalu bingung, saat ini.
"Gimana kehamilan Emi?" tanya Wibisana, mengalihkan perhatiannya ke layar laptop. "Is everything okay?"
"Baik-baik aja," jawab Alkan. "Kemungkinan, dia bakal ngelahirin minggu depan."
"Okayー wait, what? Minggu depan?" Wibisana mengernyitkan dahinya. "Are you kidding me?"
"Do I look like I'm kidding?" Alkan bertanya balik.
Wibisana terdiam sejenak. Rasanya, baru kemarin dia mendapat kabar bahwa Emi hamil. Selain karena Emi juga satu SMA dengannya dan menjadi salah satu teman dekatnya, Wibisana masih merasa bahwa pernikahan Alkan dan Emi baru terjadi kemarin.
"Oke," Wibisana mangut-mangut, mengerti. "Jangan cari masalah di deket-deket hari lahiran. Jangan bikin Emi stres, biar bini sama anak lo selamat."
Sepertinya, dia harus menyiapkan kado bayi secepatnya.
☘☘☘
Wibisana menginjakkan kakinya di lantai apartemen, usai membuka lock pintu tersebut. Seperti biasanya, jika dia pulang pada sore menjelang malam hari, dia akan disambut dengan pemandangan Laudia yang sedang memasak di dapur dengan celemek berwarna cokelat andalannya.
Wibisana mengernyitkan dahinya ketika dia melihat pemandangan yang tak biasa. Laudia memiliki rambut yang panjang, bahkan hampir setara dengan pinggangnya. Kenapa kini rambut itu justru jadi pendek sebahu? Yah, meskipun Wibisana akui, dia lebih menyukai rambut Laudia yang sekarang.
Usai melepaskan dasi dan jasnya, Wibisana segera berjalan mendekat ke arah Laudia. Perempuan itu lantas terlonjak kaget ketika dia baru saja menyadari bahwa Wibisana sudah pulang, bahkan saat ini tepat di sebelahnya, memandangi masakan Laudia dengan mata yang menyipit.
"Itu kamu goreng ikan atau ban mobil?" tanya Wibisana, nyengir kuda. "Item banget."
Laudia buru-buru mematikan kompor. Sepertinya, dia juga baru sadar kalau ikan tersebut sudah gosong.
"Padahal kemarin udah gak gosong lagi. Pikiran kamu kemana hari ini?" tanya Wibisana. "Badan di sini, tapi pikiran di kayangan, gitu?"
Laudia hanya bisa menatap canggung, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kalau gitu, aku masak lagi, deh. Kamu mandi dulu aja."
"Udah, gak usah masak," ucap Wibisana, merogoh saku celananya dan meraih ponselnya. "Kita pesen makanan aja."
"Kalau gitu, aku mau ke kamar dulu, ada tugas yang belum kelar dikerjain."
Baru saja Laudia hendak berjalan memasuki kamarnya, Wibisana lantas memblokade langkah gadis tersebut dengan berdiri tepat di depan pintu kamarnya. "Kayanya kamu ngehindarin aku mulu hari ini. Tadi pagi, terus sekarang."
Laudia menelan salivanya, sekaligus menelan segala perasaan tak enak yang mengisi dadanya. "Hah? Ngehindarin Mas Wibi? Enggak, kok."
"Kenapa? Karena ciuman itu?" tanya Wibisana, to the point. Laudia menutup matanya erat, merasa malu dengan dirinya sendiri ketika mengingat apa yang terjadi tadi malam dan itu semua karena dirinya.
"Kenapa malah bahas itu," gumam Laudia, kesal. Perempuan itu pun menghempaskan tubuhnya ke sofa, lalu menyalakan televisi, berusaha menepikan segala sesuatu yang membuat rasa gugupnya beranak pinak. "Aku beneran punya tugas kuliah. Pergi dari situ."
Wibisana tetap berdiri di depan pintu kamar Laudia, melipat kedua tangannya dan menyandarkan tubuhnya di pintu tersebut. "Kenapa kamu potong rambut?"
"Kamu berkali-kali bilang kalau rambut panjangku ribetin," jawab Laudia. "Jadi, ya, aku potong. Sekalian buang sial."
Wibisana mangut-mangut, mengerti. "Potong sendiri?"
Laudia mengangguk.
"Gak rapi, tuh," kata Wibisana. "Mau aku bantu rapiin, gak?"
Laudia menggeleng cepat. Jika saat ini untuk beradu pandang dengan Wibisana saja dia gugup, dia bisa membayangkan apalagi jika dia berjarak sedekat itu dengan Wibisana yang berniat membantu merapikan rambutnya.
"Gak, Mas, makasih tawarannya," Laudia terkekeh garing. "Anyway, kemarin temen kamu telepon ke sini."
Wibisana berjalan memasuki kamarnya, berniat untuk mandi dan membersihkan diri setelah bekerja seharian. "Oh, ya? Siapa?"
"Mas Ridho," jawab Laudia. "Dia sempet mikir kalau aku Raya. Raya tuh pacar kamu, ya?"
"Hah?" Wibisana yang sudah mau masuk ke dalam kamar mandi, lantas kembali berjalan ke ruang tengah. "Pacar?"
Laudia mengangguk.
"Mantan," kata Wibisana. "Kita udah putus enam bulan yang lalu dan gak kontekan lagi selain bahas kerjaan. Jadi, gak usah dengerin Ridho."
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey, It Hurts
RomanceUlang tahun perusahaan mengantarkan Wibisana untuk menghabiskan malamnya bersama seorang mahasiswa yang magang di perusahaannya. Tak hanya itu, situasi jadi semakin sulit ketika dia tak bisa lepas dari bayangan perempuan itu. Di sisi lain, perempuan...