[9] Laudia and Her Scars

2K 194 59
                                    

WIBISANA tak mengerti dengan apa yang terjadi pada Laudia hari ini. Usai membicarakan Raya pada siang itu, Laudia jadi lebih pendiam dan sedikit dingin kepada Wibisana. Bahkan, ketika mereka tiba di penginapan pun, Laudia masih tetap dingin, membiarkan Wibisana menerka-nerka dimana letak kesalahannya.

"Malem ini mau kemana?" tanya Wibisana, melipat kedua tangannya di depan dada, berdiri di hadapan Laudia yang tengah duduk di sofa kamarnya, membaca groupchat perkuliahan.

"Capek," jawab Laudia dengan singkat, datar, tak berkelok-kelok.

Wibisana mengernyitkan dahinya. "Capek? Kamu cuma duduk doang malah capek?"

"Ya, capek, mau gimana lagi," ucap Laudia. "Lagian, kamu juga, udah tau weekend dan pasti macet banget malah ngajakin jalan."

"Kalau bukan weekend, aku kerja," Wibisana mencoba menahan kekesalannya. "Kamu mah enak, kuliah cuma sampai siang, kan?"

"Udah, deh," kata Laudia. "Kayanya aku mau langsung tidur."

Wibisana melirik jam tangannya. "Ini masih jam delapan malem. Kamu mau kebangun jam satu pagi, terus mikirin hal-hal aneh lagi?"

"Capek," ulang Laudia yang semakin lama, terdengar semakin menyebalkan di telinga Wibisana.

Wibisana pun berjalan menuju pintu keluar. "Aku di kamar sebelah. Kalau ada apa-apa, telepon aja."

Laudia hanya berdehem untuk merespon ucapan Wibisana. Wibisana tak mengerti. Apa yang terjadi dengan perempuan itu? Tak mungkin dia cemburu. Toh, mereka baru kenal selama kurang lebih tiga bulan dan Laudia selalu bilang bahwa takkan ada hubungan apapun di antara mereka selain pekerja dan majikan, bukan? Bahkan, Wibisana ingin sekali menanyakan banyak hal terkait one night stand mereka, tapi Laudia sudah memblokadenya duluan.

Dia juga tak terlalu paham dengan perasaan anak umur sembilan belas tahun yang isi kepalanya masih rumpang seperti Laudia. Terkadang dia tampak riang, terkadang dia tampak sendu. Lalu, sekarang, dia tampak marah. Perasaannya seperti pasang surut air laut, naik turun tak tentu situasi. Wibisana yang memiliki umur jauh di atasnya pun sering kebingungan akan suasana hati dari perempuan itu.

Benar yang Ridho katakan. Perempuan itu rumit. Perempuan sembilan belas tahun itu jauh lebih rumit.

Namun, Wibisana sendiri pun tak mengerti akan perasaannya kepada Laudia. Dia juga ingin tau kenapa Laudia menciumnya malam itu. Sejujurnya, segala move yang mengantarkan mereka kepada kecanggungan selalu dilakukan oleh Laudia terlebih dahulu. Entah itu one night stand, ciuman, apapun. Laudia-lah yang malam itu mabuk dan menggoda Wibisana duluan. Wibisana pun ingin tau, apakah Laudia bisa mengingat malam itu atau tidak, karena sejujurnya, Wibisana dapat mengingatnya dengan sangat baik.

Seperti yang Alkan katakan waktu itu. Apa yang Wibisana rasakan ketika dirinya dan Laudia berciuman? Dia bahkan tak mengetahui apa jawabannya sampai sekarang. Apakah sekedar lust dari kebejatan dirinya yang haus akan sentuhan? Atau dia memang menginginkan sentuhan Laudia karena jauh di dasar hatinya, dia tertarik kepada perempuan itu?

Setelah mandi, berpakaian, dan menonton film sebentar, akhirnya Wibisana memilih untuk tidur. Meskipun jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan malam, tapi dia benar-benar lelah. Pekerjaan yang berat akhir-akhir ini kerap menyita waktu istirahatnya dan menciptakan lingkaran hitam di bawah kedua matanya sebagai tanda betapa penatnya tubuh dan pikirannya akhir-akhir ini.

Padahal, seharusnya, mereka bisa jalan-jalan pada malam hari seperti makan di luar atau dimanapun. Namun, Wibisana pun tak bisa melakukan apapun jika suasana hati Laudia sekarang sedang tak baik.

Meskipun dia bingung kenapa.

Baru saja Wibisana merasa dia tertidur, dia mendengar bel kamarnya berbunyi. Bel itu berbunyi berkali-kali, menarik Wibisana dengan paksa dari bunga tidur. Rasanya, baru dia terlelap sebentar, tapi faktanya, arloji di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari.

Honey, It HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang