[15] Waiting

1.6K 164 6
                                    

"HALO Om, Tante, Marvin sekarang udah bisa pakai car seat yang Om Tante kasih, loh," ujar Emi, tertawa kecil, menyorot buah hatinya tersebut. "Makasih ya Om Wibi, Tante Laudia."

"Ih, lucu banget," ucap Laudia, memekik tertahan. Dia benar-benar tak tahan melihat Marvin, anak laki-laki Alkan dan Emi yang benar-benar menggemaskan, memenuhi layar ponsel Wibisana.

"Sama-sama. Semoga berguna terus, ya," ujar Wibisana, tersenyum manis.

"Ganteng banget," ujar Laudia. "Kamu kok ganteng banget sih, Marv?"

"Ya, mirip ibunya, lah. Kalau mirip bapaknya mah gak bakalan seganteng ini," kekeh Wibisana, mengejek Alkan yang tengah duduk tepat di sebelah Marvin.

"Eh, gue denger, ya. Enak aja lo," balas Alkan, tak terima. "Nih, ya. Kalau bukan karena bahan bakunya sama-sama bagus, anaknya gak bakalan secakep ini."

"Kagak. Emang gen Emi kuat banget, jadi lo gak kebagian," kata Wibisana. "Untung aja gak mirip lo sih, Al."

"Kurang ajar."

"Yaudah, deh. Weekend nanti kita main bareng ya, Marv? Dadah," ucap Wibisana, diikuti dengan lambaikan tangan olehnya dan Laudia. Alkan dan Emi ikut melambaikan tangan, lalu menggoyangkan tangan Marvin untuk melambaikan tangan ke arah kamera. Tak lama kemudian, telepon pun terputus.

"Aku udah jadi tante aja, masa," ucap Laudia, menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. "Baru juga sembilan belas tahun."

"Welcome to the reality," kekeh Wibisana, menghempaskan tubuhnya tepat di sebelah Laudia. "Terima aja kenyataan."

"Kenyataan apaan. Kalau bukan karena pacaran sama kamu juga, aku gak bakalan jadi tante, tau," ujar Laudia. "Gara-gara pacaran sama om-om, gini deh jadinya."

Wibisana tertawa. "Malem ini kamu mau kemana?"

Laudia memutar kedua bola matanya, berpikir. "Supermarket?"

"Yee, supermarket lagi," Wibisana mendengus sebal. "Hari ini kan hari spesial, kamu gak mau kemana gitu?"

"Kamu aja," Laudia memberi jeda. "Kamu mau kemana?"

"Kalau aku ajak kamu buat makan malem di salah satu restoran favorit aku gimana?" tanya Wibisana. "Mau, gak?"

Laudia mengangguk. "Boleh, kok."

"Yaudah. Aku pulang kerja jam lima sore, jam delapan malem kita pergi, oke?" kata Wibisana mencium dahi Laudia, lalu bangkit dari posisinya. "Aku mau siap-siap dulu buat berangkat kerja. Kamu hari ini berangkat ke kampus jam berapa?"

"Kelasnya jam sepuluh. Aman kok, masih lama," kata Laudia.

Wibisana pun memasuki kamarnya untuk bersiap-siap. Setelah rapi, Wibisana pun berpamitan dan berlalu.

Laudia hanya bisa menghabiskan waktu dengan menonton televisi dengan cemilan di sampingnya. Ketika jam menunjukkan pukul setengah sembilan, perempuan itupun bangkit dari posisinya dan bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Setidaknya, jadwalnya tak padat untuk hari ini. Dia pasti sudah di rumah sebelum pukul lima sore.

Hari ini adalah hari jadi hubungan mereka. Wibisana bukanlah tipe orang yang merayakan hari semacam itu, tapi hubungan ini bukan miliknya sendiri. Dia berpacaran dengan anak sembilan belas tahun yang menyukai perayaan dan hal semacam itu sehingga Wibisana harus mengikuti keinginan Laudia. Lagipula, Wibisana tak keberatan. Dia justru senang jika mereka menghabiskan waktu dengan jalan keluar, makan malam bersama, dan menghabiskan waktu berdua.

Laudia tak menyangka kalau dia sudah menjalin hubungan dengan Wibisana selama setahun. Rasanya, baru kemarin dia menjadi mahasiswa yang magang di perusahaan Wibisana. Dia tak menyangka hari ulang tahun perusahaan hari itu bisa mengantarkannya ke hubungan yang seistimewa ini dengan pria yang sama istimewanya dengan hubungan itu sendiri.

Meskipun bukannya mudah menyatukan ego karena Laudia adalah anak perempuan yang labil, cengeng, dan ngambekan, tapi Wibisana selalu mencoba mengerti dan mengalah di setiap situasi untuk Laudia. Terkadang, Laudia pun kerap merasa bersalah akan kelakuannya yang menurutnya selalu menyusahkan Wibisana.

Laudia pun bertemu banyak orang baik melalui Wibisana. Mama Mirna, Papa Heru, Alkan, Emi, Ridho, Bery… semuanya adalah orang baik yang menerima Laudia apa adanya. Benar yang Wibisana katakan. Laudia hanya selalu memblokade langkah setiap orang baik yang ingin berjalan ke arahnya. Namun, bagi Laudia, Wibisana adalah jembatannya. Wibisana adalah jembatan bagi orang-orang baik itu untuk berjalan menuju Laudia.

Waktu terus berjalan. Laudia pulang dari kampus sedikit telat, yaitu pukul enam sore. Dia pikir, Wibisana akan tiba di apartemen lebih dulu, tapi ternyata, pria itu belum pulang.

Usai membereskan ruang tengah yang sedikit berantakan, Laudia pun membersihkan diri di bawah shower dengan air dingin. Kemudian, perempuan itu bersiap-siap. Baru saja Laudia selesai menata rambutnya, ponselnya berbunyi. Ada satu notifikasi pesan yang masuk dari Wibisana.

From: Mas Wibi
Sorry babe, aku masih lama kayanya. Kamu nungguin aku di restonya langsung aja gimana? Aku share lokasinya ya

Laudia menghela napasnya. Setelah membalas pesan Wibisana dan mengatakan tak apa, Laudia pun segera berangkat menuju lokasi yang Wibisana bagikan melalui pesan.

Laudia tiba di sebuah restoran yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Restoran itu tak tampak mewah dari luar, tapi terkesan klasik dan menarik. Laudia memasuki restoran tersebut dan disambut dengan instrumen yang memainkan lagu 70-an. Laudia tersenyum ketika dia beradu pandang dengan para pemain instrumen itu.

Sekali lagi, waktu terus berjalan. Laudia menunggu hampir dua jam, tapi Wibisana tak kunjung tiba. Dia hanya memesan lemon tea sebagai temannya untuk menunggu Wibisana tiba, tapi pria yang ditunggunya itu tak kian muncul.

Apakah dia lupa? Tidak, Wibisana tak mungkin begitu. Apakah dia memang sesibuk itu?

Laudia melirik arloji mini yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pelanggan restoran ini mulai sepi, instrumen pun berhenti dimainkan.

"Maaf, Mbak, mau pesen yang lain?" tanya seorang pelayan, tersenyum manis ke arah Laudia.

"Gak, Mbak, makasih. Ehm… bisa saya minta billnya?" Laudia tersenyum ringan ke arah pelayan tersebut. Sepersekian menit, usai membayar bill dari minuman yang dia pesan, akhirnya Laudia beranjak dari posisinya dan berjalan keluar dari restoran tersebut.

Wibisana duduk di kursi belakang taksi yang mengantarkannya kembali ke apartemen. Entahlah… rasanya, dia ingin menangis. Apakah salah jika dia marah kepada Wibisana yang tanpa sengaja melupakannya karena pria itu terlalu sibuk dengan pekerjaan? Jujur, dia pun tak ingin marah. Dia ingin mencoba untuk mengerti. Namun, malam ini terasa menyakitkan baginya.

Penantiannya selama kurang lebih tiga jam itu membuatnya kesal dan sedih secara bersamaan. Namun, dia pun tak ingin marah. Dia tau, Wibisana pun pasti bukannya sengaja membuat Laudia menunggu lama.

Drrt. Drrt.

Laudia membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Nama Wibisana tertera di sana, tapi Laudia lebih memilih untuk mengabaikannya.

Honey, It HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang