[17] The Graveyard

1.5K 154 6
                                    

"KAMU yakin kalau hari ini cuacanya bakalan bagus?" tanya Laudia, mengernyitkan dahinya. "Langitnya mendung banget tau, Mas."

"Udah, tenang," balas Wibisana, santai. "Kalau hujan juga, kita punya payung di belakang. Aman, kok."

"Gimana kalau penjaga kuburan ngusir aku lagi?"

Wibisana mengernyitkan dahinya. "Ngusir kamu?"

Laudia mengangguk.

"Maksudnya?"

"Aku gak pernah ngunjungin kuburan Ayah," Laudia memberi jeda. "Selalu ada penjaga kuburan yang ngusir aku tiap aku dateng. Dia dibayar oleh keluarga Kak Robert untuk ngelarang aku ke kuburan Ayah."

Wibisana terdiam, cukup lama. "Kali ini, kamu pasti ketemu Ayah. Aku janji."

Wibisana memarkirkan mobilnya tak jauh dari pemakaman. Wibisana dan Laudia yang mengenakan pakaian serba hitam itu pun berjalan beriringan. Wibisana merangkul pundak Laudia, berjalan menuju kuburan milik ayah perempuan tersebut.

"Kamu langsung ke sana, aku mau ngobrol dulu sama bapak itu," ucap Wibisana, menunjuk seorang pria yang tengah membersihkan kuburan lain. Laudia mengangguk, lalu berjalan mendahului Wibisana. Laudia menarik selendang hitamnya ke depan yang sempat diayunkan oleh angin, menjadi tanda bahwa hujan akan segera turun.

Laudia bersimpuh, memandangi nama dari batu nisan tersebut. Sepersekian detik, tangannya terulur. Jemarinya mengusap nama itu pelan, seakan-akan berusaha memberikan kehangatan kepada ayahnya yang sudah dua tahun meninggalkannya tersebut.

"Akhirnya, aku bisa ngunjungin Ayah," Laudia tersenyum manis. Matanya mulai berkaca-kaca. "Biasanya gak bisa. Bukan karena aku gak mau. Aku cuma gak punya power apa-apa buat ngelawan situasi rumit yang Ayah ciptain."

Laudia mengusap air matanya. Dia tak ingin menangis. Dia berkali-kali menyeka air matanya, tak ingin bersedih lagi karena sejujurnya, dia sudah lelah menangisi masalah yang sama berulang kali.

"I don't even know apakah rekaman suara Ayah yang waktu itu bener atau enggak," Laudia memberi jeda. "Just let me tell you something. Even though you don't consider me as you daughter, I don't hate you. Not even close, not even a little bit, not even at all."

Rintik hujan mulai membasahi permukaan tanah. Tak lama berselang, gerimis tersebut berubah menjadi sedikit lebih deras, membuat Laudia hanya bisa memeluk tubuhnya dan semakin menutupi kepalanya dengan selendang hitam yang dia kenakan.

Sepersekian menit, Laudia dapat merasakan sesuatu menghadang hujaman air hujan itu menusuk tubuhnya. Wibisana berdiri tepat di belakangnya, memegangi payung yang melindungi Laudia dari air hujan.

Laudia tersenyum, lalu menarik tangan Wibisana agar berdiri sejajar dengan posisinya. "Ayah pasti mau kenalan sama kamu."

Wibisana ikut bersimpuh di sebelah Laudia, memandangi kuburan tersebut. "Halo, Yah. Saya Wibi, pasangan Laudia."

Wibisana mencabut rumput-rumput yang tumbuh di kuburan tersebut, membersihkannya dengan tangannya.

Ingin sekali rasanya Wibisana bercerita bahwa anak perempuan dari pria itu adalah anak yang baik. Perempuan yang kuat, dewasa, meskipun terkadang sifat kekanakannya membuat Wibisana pusing. Wibisana ingin sekali pria itu tau kalau meskipun semua orang tak menyukai keberadaan Laudia yang berstatus sebagai hasil dari perselingkuhan, di sisi lain Wibisana justru mensyukuri keberadaan Laudia.

Wibisana sungguh bersyukur perempuan ini hadir di dunia dan menjadi kekasihnya. Wibisana sungguh bersyukur dapat mencintai dan dicintai oleh perempuan ini. Wibisana sungguh bersyukur atas segala hal yang menjadi penghubung pertemuannya dengan Laudia. Wibisana tak bisa meminta lebih, Laudia adalah segala yang dia inginkan.

"Saya bersyukur Laudia ada di dunia ini," ujar Wibisana, tersenyum ringan. "Saya bersyukur putri Anda ada di dunia ini dan menjadi kekasih saya. Untuk itu, saya mau berterimakasih kepada Ayah. Dan untuk itu, izinkan saya untuk menggantikan peran Anda sebagai sosok pria yang akan menjaga Laudia."

Laudia tersenyum nanar. Tangannya merangkul lengan Wibisana, bersandar di pundak lelaki tersebut.

"Ayo, pulang."

Wibisana menggandeng tangan Laudia menuju mobil dengan tangan satunya lagi yang memegang payung. Tangan perempuan itu dingin. Sepertinya, ada rasa sedih yang tertahan di dadanya. Selain itu, ada juga rasa senang karena hari ini adalah hari pertama dia bisa mengunjungi kuburan ayahnya.

Setelah memasuki mobil, Wibisana pun menyalakan mesin mobil dan menyalakan wiper untuk menyapu air hujan yang menghalangi pandangan kaca depan mobilnya.

"Kenapa Bapak itu gak ngelarang lagi?" tanya Laudia.

Wibisana yang sedang berusaha memundurkan mobilnya, menoleh sekilas. "Aku bayar dia dua kali lipat dari harga yang keluarga Robert tetapkan."

"Kamu gak seharusnya ngelakuin sejauh itu," ujar Laudia, menatap khawatir. "Aku gak enak sama kamu."

"Laudia, kamu pacar aku. Gak ada gunanya ngerasa gak enakan sama pacar sendiri," kata Wibisana. "Lagian, kamu mau gimana? Kalau gak dibayar, dia bakalan selamanya ngelarang kamu ke kuburan Ayah. Kamu anaknya Ayah juga. Kamu punya hak buat ngunjungin kuburan Ayah. Kamu cuma gak punya power buat ngelawan mereka."

Laudia terdiam. Laudia bergeser ke kanan, menyandarkan kepalanya ke pundak Wibisana. "Makasih, sayang."

Wibisana mengusap kepala Laudia penuh sayang. "Sama-sama."

Honey, It HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang