WIBISANA dan Laudia menghabiskan waktu bersama semalaman. Mereka melakukan sesuatu yang pastinya kalian tau jika laki-laki dan perempuan berada di atas ranjang yang sama pada pagi harinya.
"Jadi, hari ini mau kemana?" tanya Wibisana.
"Kamu tau Little Venice?" Laudia bertanya balik.
"Little Venice?" Wibisana memberi jeda. "Tau. Mau kesana?"
Laudia mengangguk semangat. "Aku belum pernah ke sana."
"Bocil mau naik perahu?" tanya Wibisana, terkekeh. "Bisa-bisanya. Emangnya ngerti cara dayung?"
"Hah? Emangnya gak ada mas-mas yang dayung gitu nanti?"
Wibisana menahan tawanya. "Gak."
"Oh, yaudah. Kan kamu yang dayung ntar."
"Yee, terus kamu ngapain?" tanya Wibisana. "Cosplay jadi Putri Diana?"
Laudia tertawa. "Sewot banget. Kan aku gak tau caranya. Daripada kita berdua tenggelem? Malunya itu loh, di depan banyak orang."
Wibisana hanya bisa tersenyum kecut mendengar alasan yang Laudia berikan. Sebaliknya, perempuan ini justru tersenyum manis sebagai bentuk bujukan kepada Wibisana. Alhasil, dia bersenandung sepanjang perjalanan, merasa senang karena Wibisana mau menuruti permintaannya.
"Jadi, gimana?"
"Ada mas-mas yang dayung. Gampang banget diboongin," kekeh Wibisana.
"Gak lucu."
"Gimana kalau kita ke Little Venice tuh sore aja? Takutnya terik kalau siang," ucap Wibisana. Laudia hanya bisa mengangguk untuk menyetujui saran dari Wibisana. "Jadi, sekarang kita kemana dulu?"
Laudia terdiam sejenak. "Kamu pengen kemana?"
"Mama aku tinggal gak jauh dari sini. Yah, ngelola kafe kecil gitu, sih," ucap Wibisana. "Mau kesana, gak?"
Laudia mengangguk. "Boleh. Aku pikir mama papa kamu tinggal di Jakarta, sama kaya kamu."
"Dulu mah tinggal di Jakarta. Sejak anak-anaknya udah kerja semua, mereka balik ke kota asal Papa dan katanya pengen ngabisin masa tua di sana," ujar Wibisana. "Kafe kecil juga posisinya rada terpencil karena mereka sengaja nyari rumah yang jauh dari kota."
Laudia mengangguk, mengerti.
"Gak usah takut," Wibisana menoleh sekilas. "Mereka bukan orang jahat. Mereka baik, kok."
Wibisana tau, sulit bagi Laudia untuk membangun kepercayaan kepada orang-orang. Setidaknya, dia ingin membantu Laudia untuk bangkit dari pemikiran bahwa semua orang itu buruk. Dia juga ingin Laudia yang merasakan satu hal yang mungkin terdengar lumrah bagi sebagian orang, tapi tidak bagi Laudia.
Kebahagiaan.
Setelah lumayan lama berkendara, akhirnya Wibisana dan Laudia tiba di sebuah kafe kecil. Kafe tersebut terletak di dekat danau yang dihuni oleh beberapa itik. Di depan kafe itu ada banyak bunga yang tampak segar dan terawat. Selain itu, ada dua ekor kucing yang sedang tidur di tangga kecil menuju pintu masuk kafe tersebut. Benar-benar kafe yang sempurna.
"Oke, kita sampai," ujar Wibisana. Usai membuka seatbelt dan mematikan mesin, pria itu pun turun dari mobil tersebut. "Ayo, turun."
Laudia turun dari mobil tersebut dengan ragu. Wibisana dapat melihat ekspresi canggung di wajah Laudia. Perempuan itu pun tampak khawatir. Sepersekian detik, Wibisana segera meraih pundak Laudia, merangkulnya dan berjalan menuju kafe tersebut.
"Halo, Anis, Unis. Mama mana?" tanya Wibisana, sedikit menunduk untuk mengelus kepada dua kucing yang satunya berbulu abu-abu dan satunya lagi berbulu putih. "Masih siang udah molor aje nih berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey, It Hurts
RomantizmUlang tahun perusahaan mengantarkan Wibisana untuk menghabiskan malamnya bersama seorang mahasiswa yang magang di perusahaannya. Tak hanya itu, situasi jadi semakin sulit ketika dia tak bisa lepas dari bayangan perempuan itu. Di sisi lain, perempuan...