"KAMU gak pantes untuk hidup," Wanita berambut sepunggung itu menatap Laudia penuh kebencian. "Seharusnya kamu gak usah lahir. Kalau bukan karena ada kamu, karirku gak bakalan hancur. Hidupku gak bakalan hancur!"
Suara pecahan vas bunga terdengar setelahnya. Laudia yang saat itu masih berusia sepuluh tahun hanya bisa bersembunyi di bawah meja kerja ayahnya, memeluk diri sendiri, ketakutan setengah mati. Sepertinya, hari ini, ibunya lepas kendali lagi.
"Kalau bukan karena perutku makin gede gara-gara hamil kamu, aku gak bakalan berhenti sebagai model! Kamu tau?" bentaknya lagi. "Kalau bukan karena kamu ada, hubunganku dan Mas Ganang itu bakalan tetep jadi rahasia! Semuanya karena kamu, sialan!"
Laudia terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdegup kencang, napasnya memburu. Dia berkeringat dingin, ketakutan setengah mati. Mimpi kali ini benar-benar terasa lebih nyata jika dibandingkan mimpi buruk sebelumnya. Sorot mata itu, wajah cantik itu, dan hardikan itu… benar-benar terasa nyata bagi Laudia sehingga membuatnya benar-benar ketakutan.
Laudia beranjak dari tempat tidurnya. Sepertinya, malam ini, Wibisana pulang larut malam lagi. Itulah kenapa pria itu lebih memilih untuk tidur di kamarnya sendiri. Dia tak ingin mengganggu Laudia, apalagi membuat perempuan itu terbangun dari tidurnya.
Laudia membuka pintu kamar Wibisana. Pria itu tengah berbaring membelakangi Laudia tanpa pakaian. Pria itu hanya mengenakan celana pendek berwarna hitam yang sedikit terlihat meskipun dia menutupi area pinggang sampai bawahnya dengan selimut tebal.
Sepersekian detik, Laudia naik ke atas tempat tidur itu, memeluk Wibisana dari belakang. Semakin lama, pelukannya semakin erat, benar-benar menggambarkan rasa takut yang menghantui isi kepalanya saat ini.
Wibisana berbalik badan, membuka matanya perlahan. "Laudia? Kenapa?"
Laudia hanya menatap sendu. Dia tak ingin bicara. Alih-alih menjawab, dia justru semakin mengeratkan pelukannya.
"Kenapa, sayang?" tanya Wibisana, menyalakan lampu tidur berwarna kuning yang ada di sebelah tempat tidurnya, lalu memandangi wajah Laudia, meskipun dengan pandangan yang belum netral karena baru saja bangun tidur. "Kamu kenapa?"
Laudia menggeleng. Meskipun Laudia tak menjawab pertanyaan Wibisana, tapi Wibisana dapat melihat jelas ketakutan yang ada di dalam sorot mata gadis itu.
"Mimpi buruk lagi?" tanya Wibisana.
Laudia mengangguk. Sepersekian detik, tangannya mulai mengusap matanya, menyeka air mata yang mendesak keluar. Sebenarnya, Wibisana sudah tau kalau hal ini akan terjadi. Dia sudah tau bahwa jika dia melihat wajah sendu itu, artinya akan ada tangisan lagi dari perempuan itu, seperti biasanya.
Wibisana bangkit dari tempat tidurnya, menggandeng tangan perempuan itu untuk keluar dari kamar untuk mengambil segelas air mineral. Dia tau, perempuan itu masih terlalu takut untuk ditinggalkan sendiri, meskipun hanya untuk mengambil air mineral. Laudia pun duduk di atas sofa ruang tengah, meraih segelas air mineral yang Wibisana sodorkan.
Setelah menghabiskan setengah dari isi gelas tersebut, Laudia pun menyodorkan kembali gelas tersebut dan Wibisana pun menaruhnya ke atas meja di hadapan sofa.
"Kamu mau cerita?" tanya Wibisana, berjongkok dengan salah satu lutut yang bertumpu di lantai, di hadapan Laudia, memandangi wajah perempuan tersebut. "Kalau belum mau cerita juga gapapa."
"Aku mimpi Ibu," kata Laudia, lirih. "Sepotong memori dari masa lalu. Memori paling menyakitkan yang pernah ada. Mimpi terburuk selain mimpi Ayah ataupun Robert."
Wibisana menatap khawatir. Laudia mulai menangis. Kali ini, tangisannya tak seperti biasanya. Tangisan kali ini lebih menyakitkan dan terkesan tak bisa dia tahan, sekeras apapun dia mencoba. Wibisana berkali-kali mendengar suara sesegukan karena perempuan itu berusaha keras menahan tangisannya.
"Jangan ditahan," komentar Wibisana. "Keluarin aja. Keluarin semuanya."
Laudia tak bisa membendung air matanya. Kali ini, tangisannya bersuara. Wibisana tak pernah melihatnya menangis sekeras itu sebelumnya. Perempuan itu menunduk dalam, sejujurnya tak ingin terlihat lemah di hadapan Wibisana. "Hurt."
"I know," Wibisana menenggelamkan kepala Laudia di dadanya. "It's hurt, isn't it? I know, babe."
"I can't," keluh Laudia. "I really wanna die."
"No," Wibisana mengelus rambut Laudia pelan. "Gak ada yang perlu mati. Lagian, if you die, can you imagine how messed up I am?"
Hening. Wibisana membiarkan tangisan Laudia sedikit reda. Jemari pria itu mengusap rambut Laudia tanpa henti, berusaha keras menenangkan Laudia meskipun dengan sentuhan kecil.
"Gimana kalau kita selesaiin ini semua?" tanya Wibisana. "Masalah kamu. Semua rasa sakit kamu. Semua masa lalu kamu. Gimana kalau kita sembuhin semuanya supaya kamu pun bisa tenang?"
"How?"
"Kita bisa coba apapun. Kita bisa konsultasiin ke dokter. Dia yang bisa bantuin kamu soal kesehatan mental kamu. Aku bakalan terus ada di samping kamu. Setelah kamu sembuh dan semuanya beres…" Wibisana menggantungkan ucapannya di langit-langit ruangan ini. Dia berusaha mengumpulkan keberanian meskipun sebenarnya, dia sudah lama ingin mengatakan ini kepada Laudia. "Menikahlah denganku, Laudia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey, It Hurts
RomanceUlang tahun perusahaan mengantarkan Wibisana untuk menghabiskan malamnya bersama seorang mahasiswa yang magang di perusahaannya. Tak hanya itu, situasi jadi semakin sulit ketika dia tak bisa lepas dari bayangan perempuan itu. Di sisi lain, perempuan...