HARI ini hari Sabtu. Wibisana terbangun dari tidurnya ketika dia merasakan sinar matahari membias ke dalam kamarnya, menyilaukan pandangannya. Sepersekian detik, Wibisana mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian mengerjapkan kedua matanya perlahan. Setelah meraih ponselnya untuk mengecek jam berapa sekarang dan isi pesan dari beberapa groupchat perusahaan, Wibisana pun bangkit dari tempat tidurnya, lalu berjalan keluar kamar.
"Pagi, Kukang," sapa Laudia ketika Wibisana baru saja keluar dari kamar. Perempuan itu tengah menata makanan di atas meja bundar yang tepat berada di hadapan televisi.
"Kukang?" Wibisana mengernyitkan dahinya.
"Ya, mata kamu udah kaya matanya kukang," ucap Laudia.
Wibisana hanya bisa memutar kedua bola matanya kesal ketika dia melihat cerminan wajahnya di lemari kaca yang menampakkan lingkaran hitam di bawah matanya. Percayalah, kedua lingkaran itu bisa ada karena dia yang selalu begadang beberapa bulan terakhir ini terkait pekerjaan.
"Kamu juga kalau udah kerja bakalan kaya gini," kata Wibisana, menjatuhkan posisinya tepat di depan meja bundar tersebut. "Ini apa?"
"Plastisin," jawab Laudia, asal-asalan. "Kamu gak bisa liat kalau itu sarapan?"
"Galak banget," komentar Wibisana, meraih sendok dan garpu yang sudah Laudia sediakan. "Kenapa dua-duanya pakai telur? Kamu lupa kalau aku alergi telur?"
"Yang di piring kamu itu bukan telur," ujar Laudia, meletakkan dua gelas air mineral di atas meja, lalu duduk di hadapan Wibisana. "Itu telur vegan."
"Telur vegan?"
Laudia mengangguk. "Aku cari caranya di youtube. Aman kok buat kamu."
Wibisana memotong makanan yang berbentuk persis seperti telur mata sapi tersebut, lalu mencobanya. "Kamu beli atau gimana?"
"Aku bikin," kata Laudia, sewot. "Enak aja beli. Nih, ya, aku capek-capek bikin itu pakai hati dan perasaan. Kamu malah bilang aku beli."
Wibisana tertawa. "Hadeh, galak banget."
"Enak, ya?" tanya Laudia, tersenyum penasaran sembari menaikkan sebelah alisnya, menunggu respon dari Wibisana.
Wibisana berdehem kecil. "Biasa aja."
Laudia yang semula tersenyum, lantas mengubah ekspresinya menjadi datar. Sepersekian detik, perempuan itu kembali melanjutkan makannya dengan wajah sebal, sedangkan Wibisana hanya bisa menahan tawanya.
"Anyway, minggu depan, ada temen aku yang lahiran," kata Wibisana. "Aku harus nyiapin kado bayi secepetnya. Menurut kamu, aku harus nyiapin apa?"
Kedua mata perempuan itu berbinar. "Bakalan ada bayi? Ih, lucu banget."
Wibisana mengangguk. "Apa kado yang bagus?"
Laudia terdiam sejenak, memikirkan kado yang bagus menurutnya. Sepersekian detik, perempuan itu bangkit dari posisinya. "Bentar, ya. Aku ambil laptop dulu."
Laudia segera berlari kecil menuju kamarnya, lalu kembali ke ruang tengah dengan laptop di pelukannya.
"Kenapa? Ada tugas kuliah?" tanya Wibisana, mengernyitkan dahinya.
Laudia mengambil posisi di sebelah Wibisana, lalu dia membuka browser dan mengetik 'kado bayi yang bagus' di kotak pencarian.
Wibisana menahan senyumannya. Dasar bocil.
"Gimana kalau ini aja? Car seat bayi?" ujar Laudia, menunjuk layar laptopnya. "Pasti berguna banget buat ke depannya."
Wibisana melihat layar laptop tersebut, mengangguk-angguk setuju. "Good idea. Semoga gak ada yang ngehadiahin kado yang sama, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey, It Hurts
RomanceUlang tahun perusahaan mengantarkan Wibisana untuk menghabiskan malamnya bersama seorang mahasiswa yang magang di perusahaannya. Tak hanya itu, situasi jadi semakin sulit ketika dia tak bisa lepas dari bayangan perempuan itu. Di sisi lain, perempuan...