[11] Family

1.6K 178 33
                                    

"AKU ada kerjaan dadakan hari ini," ujar Wibisana, menatap khawatir ke arah Laudia, merasa bersalah karena tak bisa menepati janjinya untuk ke Little Venice sore ini. "Dan harus ke perusahaan sekarang juga."

Laudia hanya bisa memasang wajah datar, masih mengunyah makanannya. Mama Mirna tengah sibuk melayani pelanggan yang baru saja tiba.

"Yaudah, gak masalah," Laudia menghela napasnya. "Buruan sana. Ntar telat."

"Kamu marah, gak?"

"Gak."

"Beneran?"

"Dibilangin enggak ya enggak," kata Laudia. Meskipun dia bilang dia tak marah, tapi nada suaranya benar-benar menjelaskan kalau dia sedang kesal. Perempuan itu terlalu transparan untuk berbohong. "Udah, sana."

"Yaudah, ayo, kita pergi sekarang."

"Mau kemana, Dek?" tanya Mama Mirna, mengernyitkan dahinya. "Terus, kalian kenapa ini? Berantem?"

"Gak, Ma," jawab Wibisana, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Wibi ada kerjaan dadakan dan harus ke perusahaan sekarang juga."

"Oh," Mama Mirna mengangguk, mengerti. "Terus? Yaudah, sok. Laudia di sini aja sama Mama."

Laudia melebarkan matanya, sedikit kaget. "Laudia tinggal di sini aja? Gapapa, Ma?"

"Mama malah seneng," ucap Mama Mirna, tersenyum lebar. "Udah sana, Dek."

Setelah terdiam cukup lama karena mencerna keputusan apa yang akan dia ambil, akhirnya Wibisana merogoh saku celananya dan meraih kunci mobilnya. "Yaudah, titip Laudia ya, Ma. Nanti kalau urusan kerjaan udah kelar, Wibi ke sini lagi."

Mama Mirna mengangguk, lalu melambaikan tangannya. "Hati-hati ya, Dek."

Wibisana berlalu. Setelah membunyikan klakson sebagai tanda pamit, mobil berwarna hitam pekat tersebut berjalan menjauh sampai menghilang dari pandangan Laudia dan Mama Mirna.

"Mama mau layanin pelanggan dulu, ya. Kamu di sini aja, Lau," ucap Mama Mirna. "Oh ya, sandi wifinya udah tau?"

"Ma, aku ikutan layanin pelanggan boleh, gak?"

"Eh? Kan kamu pelanggan juga," Mama Mirna menggeleng. "Udah. Duduk aja."

"Gapapa, Ma. Udah mulai rame, tuh. Aku bantuin aja. Lagian, aku nganggur sekarang."

Mama Mirna terdiam sejenak. Sepersekian detik, wanita itu masuk ke dalam dapur dan kembali dengan celemek hitam yang sama persis seperti yang dia kenakan. "Anggep aja lagi magang."

Laudia tertawa, lalu meraih celemek hitam yang Mama Mirna sodorkan. Magang. Kata itu juga yang pernah jadi penghubung antara dirinya dan Wibisana.

Laudia mencoba melayani pelanggan dengan baik. Ini bukan pertama kali baginya untuk melayani orang dalam sebuah kafe karena sebelumnya, dia juga sudah berkali-kali mencari uang dengan menjadi pelayan di kafe maupun di restoran. Mengenai biaya kuliahnya… dia sudah membiayai kuliahnya sendiri sejak ibunya memilih untuk pergi bersama orang lain, lalu meninggal karena kecelakaan.

Ibunya bukanlah orang sembarangan. Ibunya adalah mantan model yang cukup dikenal pada masanya. Namun, wanita itu dibutakan oleh cinta. Dia memilih risiko dengan menjadi selingkuhan pria yang sudah berkeluarga sehingga kehilangan semuanya. Ketenaran, pekerjaan, uang, apapun.

Bukankah kebanyakan orang memang seperti itu? Meskipun tak semua orang, tapi kebanyakan dari orang akan menjadi bodoh jika sudah mengenal cinta. Sedangkan cinta tak hanya membutuhkan hati dan nafsu, tapi juga membutuhkan akal.

Lalu, ayahnya. Ayahnya memang memiliki banyak uang dan kerap mengunjungi Laudia sampai Laudia duduk di bangku kuliah. Namun, pria itupun ikut meninggalkan Laudia karena sakit. Laudia berpikir, setidaknya, meskipun ibunya memperlakukannya dengan buruk, dia masih memiliki ayah yang menyayanginya. Namun, dia salah. Rekaman suara yang Robert kirimkan waktu itu adalah buktinya.

Honey, It HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang