BERBULAN-BULAN berlalu sejak saat itu. Hubungan Laudia dan Robert membaik. Robert kerap menelepon Laudia dan menanyakan kabar Laudia ataupun perkembangan kuliahnya yang sudah mendekati semester akhir. Robert juga kerap menelepon Laudia sekedar untuk memperlihatkan keseharian Daffa yang sudah sembuh.
Wibisana menepati janjinya untuk selalu menemani Laudia, itulah yang terpenting. Sejak saat itu, Laudia tak pernah lagi merasakan sakit ataupun bermimpi buruk. Semuanya sudah membaik. Laudia berhasil keluar dari lingkaran hitam tersebut. Tak hanya karena surat itu, tapi juga karena usaha yang dia dan Wibisana lakukan untuk mengobati pikiran Laudia.
Wibisana dan Laudia menepati janji mereka waktu itu. Setelah semua masalah selesai, mereka akan menikah. Wibisana memilih dekorasi luar ruangan dan tak terlalu berlebihan karena Laudia lebih menyukai yang seperti itu.
Gaun putih terindah yang pernah Laudia temui itu akan menjadi miliknya hari ini. Gaun putih itu akan menjadi saksi dari janji suci yang dirinya dan Wibisana ikat hari ini. Mereka memilih untuk menggelar acara pernikahan di dekat kafe Mama Mirna dan Papa Heru. Selain karena halamannya yang sangat luas, posisinya pun jauh dari pusat kota. Benar-benar pernikahan yang Wibisana impikan.
Acara pernikahan itu berlangsung dengan hangat. Teman-teman Wibisana seperti Ridho, Bery, dan Alkan bahkan menangis ketika mereka melihat Wibisana memasangkan cincin di jari Laudia. Wibisana tak bisa menahan tawa untuk yang satu itu karena ekspresi wajah teman-temannya benar-benar tampak memalukan dari posisinya.
Belum lagi Mama Mirna dan Papa Heru yang selalu membahas perihal cucu di hadapan Laudia dan Wibisana. Kelar.
"Nizam mana? Gak dateng dia?" tanya Wibisana menoleh kanan kiri, mencari pria tersebut di antara para tamu undangan yang hadir. Saat ini, beberapa pasangan tengah berdansa mengikuti irama yang pelan dan romantis di bawah string lights berwarna kuning tersebut, termasuk Wibisana dan Laudia yang berstatus sebagai pengantin.
"Gak," kekeh Laudia.
"Jangan-jangan kamu gak kasih tau dia, ya?" tanya Wibisana menaikkan sebelah alisnya, curiga. "Biar dia tetep ngejar kamu? Gitu?"
"Yah, ketahuan."
"Dih, dasar bocah."
"Raya gimana? Dateng?"
"Ada kok, di antara tamu," ujar Wibisana. "Katanya, kamu cantik."
"Masa, sih?"
"Yaiyalalah, siapa dulu suaminya," Wibisana tertawa. Tak lama berselang, lelaki itu menarik tangan Laudia untuk mengikuti langkahnya. "Ikut aku."
Laudia mengernyitkan dahinya, bingung. Namun, dia tetap mengikuti langkah Wibisana yang menarik tangannya. Setelah berjalan cukup jauh, Wibisana dan Laudia pun tiba di sebuah danau dengan perahu kecil di tepiannya. Wibisana tersenyum ke arah Laudia, menunduk perahu tersebut.
"Kita gak pernah jadi ke Little Venice, kan? Untuk sekarang, kita naik perahu di danau dulu aja, ya," kekeh Wibisana, berjalan pelan, menuntun Laudia untuk naik ke perahu itu duluan. "Hati-hati, sayang."
Laudia pun naik ke atas perahu itu dengan susah payah. Setelah keduanya duduk di perahu tersebut, Wibisana mulai mendayung perahu itu untuk berjalan pelan menuju tengah danau.
Laudia memandangi Wibisana sambil tersenyum. "Kesampean juga naik perahu."
"Kesampean juga jadi mas-mas yang dayung perahu," sambung Wibisana.
Laudia tertawa. "Aku pengen peluk kamu."
"Eh, jangan. Nanti kita jatuh."
"Makasih ya, Mas," ujar Laudia. "Makasih buat semuanya. Tanpa kamu, aku gak bakalan ketemu keluarga sebaik Mama Mirna dan Papa Heru. Tanpa kamu, aku gak bakalan ada di situasi malem itu dan baikan sama Kak Robert. Tanpa kamu, aku mungkin udah hancur."
Wibisana tersenyum ringan. "I'm not doing anything. Kamu bisa baikan sama Robert karena kamu sendiri, Lau. Kalau bukan karena kamu yang nawarin pertolongan buat Daffa waktu itu, semuanya bakalan tetep sama."
"Tapi, kamu jembatannya," Laudia mulai menangis lagi. Kali ini, Wibisana pastikan bahwa tangisan itu adalah tangisan bahagia. "Aku seneng banget. Seneng banget. No more pain because I'm here, in your arms."
Wibisana juga merasakan matanya berkaca-kaca. Dia pun merasa bahagia. Dia merasa bahagia karena setidaknya, Laudia sudah tak merasa sakit lagi. Dia sudah bahagia. Itulah yang terpenting untuk Wibisana.
"I've totally fallen for you," ujar Wibisana, tersenyum.
Laudia teringat salah satu kalimat di paragraf terakhir surat ayahnya. I love you so much, it's hurt. Kali ini, Laudia mengerti maksud kalimat itu. Hal itu jugalah yang dia rasakan ketika dia mencintai Wibisana.
"I love you most," jawab Laudia. "I love you so much, babe, it hurts. Sampai-sampai rasanya jadi menyakitkan. Rasa sakit yang paling terberkati dari semua rasa sakit yang ada."
Wibisana tak bisa berhenti tersenyum. Senyuman, tatapan, dan wajah cantik perempuan itu benar-benar membuatnya bahagia.
"How if we do it in bathroom tonight?" tanya Laudia, tersenyum nakal.
Wibisana yang tak berekspektasi bahwa kalimat itu yang akan keluar, lantas kaget. Darahnya berdesir dan dia mendadak jadi salah tingkah.
"I don't wanna."
"Why?"
"I can't keep myself anymore. How if you get pregnant?" tanya Wibisana. "Come on, you are only 21."
Laudia hanya bisa mendengus kesal. Dia pun hanya bisa diam, pasrah. Wibisana menahan tawanya. Jika bukan karena posisi mereka yang saat ini berada di tengah danau, mungkin dia sudah memeluk perempuan ini sedaritadi.
"Then, you will be a grandpa instead of daddy when your child is born," ujar Laudia, menopang dagunya, menoleh ke arah yang berbeda.
"Dih, masa gitu," kekeh Wibisana. "Can you just be mine for this year? I mean, next year, aku harus membagi kamu ke anak-anak. Seenggaknya, just be mine till this year is over."
Laudia terkekeh dengan tangan yang masih menopang dagu, mendengar kalimat dari lelaki aneh di hadapannya ini. "Is that what you want?"
Wibisana mengangguk. "Kita bakalan tinggal berdua di apartemen selama setahun lagi. Habis itu, kita bakalan pindah ke rumah manapun yang kamu mau. Apartemen itu cuma bakalan aku pakai kalau aku lembur kerja atau semacemnya."
"Bener, ya?" Laudia menaikkan sebelah alisnya. "Nanti kamu malah gak pulang karena kerja mulu dan tidur di apartemen."
Wibisana tertawa. "I love you, Laudia. It hurts."
Laudia tersenyum manis. Dia pastikan setelah mereka tiba keluar dari danau ini, dia akan memeluk lelaki ini erat dan takkan membiarkannya pergi.
--------------------------------------
written by sf
Honey, It's Hurt
29 Mar 2022,
end.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey, It Hurts
RomanceUlang tahun perusahaan mengantarkan Wibisana untuk menghabiskan malamnya bersama seorang mahasiswa yang magang di perusahaannya. Tak hanya itu, situasi jadi semakin sulit ketika dia tak bisa lepas dari bayangan perempuan itu. Di sisi lain, perempuan...