WIBISANA mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja kerjanya. Kedua matanya memandangi layar laptop, tapi pikirannya menerawang jauh. Dia menghela napasnya berulang kali, mencoba menepikan pemikirannya mengenai apa yang terjadi seminggu yang lalu.
Namun, nyatanya, dia tak bisa menghilangkan bayangan perempuan itu. Perempuan muda berusia 19 tahun yang berstatus sebagai mahasiswa magang di perusahaannya dan kontrak magangnya pun berakhir tepat pada hari ulang tahun perusahaan.
Dari yang Wibisana dengar, perempuan itu magang ketika dia sedang libur semester dan hanya mengerjakan bagian administrasi ringan dan tugas sederhana lainnya. Dia belum menginjak tingkat yang lebih tinggi sehingga tidak diberikan tugas yang berat karena takutnya malah merepotkan senior ataupun para pekerja di perusahaan.
Wibisana tak percaya ini. Kenapa cinta satu malam itu membuatnya terus memikirkan perempuan tersebut? Dia bahkan tak tau namanya. Wibisana akui, dia perempuan muda yang cantik, meskipun keras kepala, seperti anak seusianya.
Dia menangis dan berkali-kali menyalahkan Wibisana akan hal yang tak jelas selama mereka bersama, malam itu. Ada banyak hal yang Wibisana ingin ketahui dari perempuan itu, tapi Wibisana pun tak mengerti kenapa perempuan itu menjadi orang yang seakan-akan penting baginya sehingga dia jadi memikirkan perempuan itu sampai sebegininya.
"Pak?"
Lamunan Wibisana buyar. Dia yang semula hanya menatap kosong ke arah layar laptopnya, lantas menoleh ke arah seorang pria yang baru saja memasuk ruangannya, membawa setumpuk berkas yang menjadi mimpi buruk lainnya bagi Wibisana untuk minggu ini.
Wibisana menghela napasnya kasar. Dia mencoba untuk tidak memasang wajah yang membuat bawahannya tersinggung, tapi saat ini, perasaannya sedang buruk. Selain karena segala tentang perempuan itu mengganggu pikirannya, dia juga tak menyukai cara perempuan itu meninggalkannya sendirian di kamar hotel pada keesokan paginya setelah mereka menghabiskan waktu bersama semalaman.
Bukankah memang seperti itu konsep dasar dari one night stand? Wibisana yang terlalu berlebihan. Dia harus melupakan perempuan itu.
Namun, kenapa dia menangis pada malam itu?
"Ahh." Wibisana mengacak rambutnya. Sepersekian detik, dia bangkit dari posisinya dan berjalan menuju toilet. Dia memandangi bayangannya di cermin cukup lama. Setelah memutar keran westafel tersebut, dia mengguyur wajahnya dengan air. Di sela tutupan matanya... dia melihat mata yang sehitam tinta itu menatapnya lekat. Jemarinya menelusuri dada Wibisana, lalu tangannya melingkar di leher Wibisana, menarik pria itu ke pelukannya.
Sialan.
Ini sudah seminggu sejak kejadian itu, tapi dia masih saja memikirkan hal bodoh semacam ini. Apakah perempuan itu memiliki magnet atau semacamnya sehingga membuat Wibisana bisa jadi seperti ini? Meskipun wajahnya menarik dan membuat lelaki manapun pasti tertarik, tapi Wibisana yakin, alasan dari perasaan ini bukanlah fisik atau semacamnya.
"Halo, Om!"
Wibisana tersentak kaget ketika pintu toilet itu dibuka dengan kasar, lalu menampakkan wajah menggemaskan yang tengah menyandang tas sekolah. Wibisana menghela napasnya panjang, sempat merasa bahwa jantungnya akan copot beberapa detik yang lalu, tepat ketika anak kecil ini menghempaskan pintu dengan keras.
"Kamu seneng ya kalau Om mati?" tanya Wibisana, melipat kedua tangannya di depan dada.
Daffa menggelengkan kepalanya dengan wajah datar. "Kok Om mati?"
"Ya, terus kenapa ngagetin Om?" tanya Wibisana. "Kalau Om serangan jantung, terus mati. Seneng?"
"Jangan marah-marah, dong," protes Daffa, mengerutkan dahinya. "Kata Mami, orang yang suka marah-marah tuh nanti cepet tua. Om kan udah tua juga. Nanti makin tua, mau?"
Wibisana tersenyum kecut. Dia tau kalau usianya sudah menginjak 27 tahun, tapi jujur saja, dia cukup sensitif jika menyinggung usia begini.
"Mami mana?" tanya Wibisana, membenarkan dasi sekolah Daffa yang miring, barangkali tadi lelaki itu sibuk bermain di sekolahnya sehingga seragamnya jadi berantakan.
"Di luar, lagi nelepon Papi," jawab Daffa. "Ada adik tiri Papi yang bikin Mami kesel."
Wibisana mengernyitkan dahinya. "Adik tiri Papi?"
Daffa mengangguk. Wibisana yakin, lelaki di hadapannya ini sebenarnya tidak mengerti apa maksud dari 'adik tiri'. Barangkali, dia hanya mendengarkan ucapan dari maminya sekilas.
Wibisana segera menggandeng tangan Daffa dan berjalan keluar dari toilet, hendak menemui mami Daffa yang merupakan kakak perempuannya. Dari posisinya, Wibisana hanya bisa mengernyitkan dahinya ketika dia melihat wanita berusia tiga puluh tahun itu memasang wajah kesal dengan benda persegi panjang yang menempel di telinganya.
"Saya udah bilang, suami saya gak tau apapun. Biaya kuliah, biaya hidup, biaya apapun itu, gak pernah dititipin oleh Ayah buat kamu ke suami saya dan kita gak bisa ngelakuin apapun soal itu," ujar Greta, mami Daffa, dengan panjang lebar.
Wibisana hanya bisa mendengarkan dari posisinya.
"Jadi nanny? Buat Daffa? Saya minta maaf banget, Laudia. Daffa gak butuh nanny untuk saat ini," ucap Greta, menjatuhkan pandangannya ke arah Wibisana yang baru saja muncul. "Gimana kalau kamu kerja sama Wibi, adik saya? Ya, saya bakalan kasih alamatnya. Oke. Ya, sama-sama. Bye."
Setelah obrolan yang cukup panjang di telepon dan saling mengucapkan selamat tinggal, akhirnya Greta memutuskan sambungan telepon.
"Maksud lo kerja buat adik lo apaan?" tanya Wibisana, menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya adik lo cuma gue doang?"
"Bukannya waktu itu lo pernah bilang kalau lo butuh orang buat bersih-bersih, bikinin makan malem, dan lain-lain?" tanya Greta. "Here you are."
Wibisana hanya bisa memasang wajah datar, meskipun bingung setengah mati. "Emangnya itu siapa?"
"Adik tirinya Robert," jawab Greta, menghela napasnya. "Gue gak enak kasarin dia, tapi gue juga lagi pusing masalah kerjaan dan akhirnya jadi ngelampiasin kekesalan hari ini ke dia."
"Dia kenapa?" tanya Wibisana lagi.
"Ayahnya sempet bilang ke dia kalau beliau nitipin biaya kuliah, biaya hidup, biaya apapun ke Robert. Faktanya, Robert gak tau apapun soal itu," jawab Greta, mengangkat bahunya. "Faktanya, Laudia adalah anak dari selingkuhan ayahnya Robert yang sama sekali gak dapet warisan apapun sejak beliau meninggal."
Wibisana hanya bisa mendengarkan dengan prihatin. Dia jadi tak tega menolak tawaran untuk mempekerjakan nanny tersebut, meskipun sejujurnya, dia tak membutuhkannya. Namun, jika dia adalah adik tiri Robert, maka berapa usianya? Sepantaran Wibisana?
Drrt. Drrt.
Wibisana merogoh saku celananya, lalu membuka layar ponselnya.
From: +628225878xxxx
Selamat siang, maaf mengganggu. Saya Laudia, saya mendapat nomer Mas Wibi dari Kak Greta dan beliau bilang, Anda memerlukan seseorang untuk mengurus rumah Anda. Saya bisa melakukan pekerjaan itu, baik itu stay di rumah Anda maupun datang-pulang. Tolong jawab pesan saya jika Anda setuju ataupun menolak.Wibisana menghela napasnya, menatap Greta dengan tajam. "Look what you did."
From: Wibisana
Kita ketemu di lobi apartemen saya jam 3. Saya kirimin alamatnya.Usai bermain dan mengajak Daffa membeli makanan ke supermarket terdekat, Wibisana pun mengendarai mobilnya menuju apartemennya. Jam menunjukkan pukul dua siang dan hujan bergemuruh ria di luar sana. Apakah wanita itu akan tetap datang? Atau dia justru menunda kedatangannya karena hujan?
Baru saja Wibisana menginjakkan kakinya di lobi, pandangannya jatuh ke seorang perempuan yang duduk di sofa lobi dengan dress setumit berwarna biru muda. Perempuan itu semula sibuk dengan ponselnya, tapi segera berdiri ketika dia mendengar pintu yang didorong itu terbuka. Apakah itu adalah Laudia? Jika benar, dia datang lebih awal.
Wibisana melebarkan matanya. Bukankah perempuan ini... perempuan yang selalu mengacaukan pikirannya selama kurang lebih seminggu terakhir?
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey, It Hurts
RomansaUlang tahun perusahaan mengantarkan Wibisana untuk menghabiskan malamnya bersama seorang mahasiswa yang magang di perusahaannya. Tak hanya itu, situasi jadi semakin sulit ketika dia tak bisa lepas dari bayangan perempuan itu. Di sisi lain, perempuan...