LAUDIA berbaring di atas kasurnya, menghadap ke tembok. Dia sudah menghapus riasan dan mengganti pakaiannya menjadi piyama, lalu mematikan lampu kamarnya. Ponselnya mati, dia pun memaksakan diri untuk tidur. Lagipula, jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Bantalnya sudah basah karena air mata. Hari yang seharusnya indah menjadi hancur dan Laudia tak tau harus menyalahkan siapa. Siapa yang salah dari hancurnya hari spesial ini? Wibisana? Pekerjaan Wibisana? Atau siapa?
Ceklek.
"Lau?" panggil Wibisana, berjalan menuju tempat tidur Laudia. "Aku nungguin kamu di restoran, tapi kamu gak ada. Hape kamu juga gak bisa dihubungin."
Laudia hanya bisa diam, tak menjawab apapun. Wibisana mengambil posisi di tepian kasur, mendekat ke arah Laudia.
"Kamu bikin aku panik. Aku pikir kamu kemana," ujar Wibisana.
"Nungguin dari jam berapa?" tanya Laudia. Suaranya serak. Wibisana hafal betul bagaimana nada suara perempuan itu jika sedang sedih.
"Sebelas."
"Emangnya janjinya jam berapa?"
"Delapan," Wibisana menghela napasnya. "Maafin aku, ya."
Laudia hanya diam, tak menjawab apapun. Hidungnya mulai berisik, menandakan bahwa dia mulai menangis lagi.
"Aku sibuk banget hari ini, sayang," kata Wibisana, mengusap rambut Laudia penuh sayang. "I know, I was wrong. I'm so sorry."
"Emangnya gak bisa ya kamu sisihin waktu kamu sedikit aja?" tanya Laudia. "Aku kan gak minta banyak waktu kamu. Aku cuma pengen berdua sama kamu. Cuma hari ini doang kok, Mas. Besoknya kamu boleh kerja sesibuk apapun, aku gak bakalan larang."
"Laudia, gak semudah itu buat izin kerja. Aku bukan karyawan biasa, aku pemimpin salah satu divisi. Aku gak mau jadi bahan omongan di perusahaan," ujar Wibisana.
Laudia terkekeh mentah, mengubah posisinya menjadi duduk. "Kamu mikirin omongan orang di perusahaan. Gimana dengan perasaan aku? Kamu gak mikirin perasaan aku juga?"
Wibisana terdiam, cukup lama. Dia mati kutu. Dia tak memiliki alasan apapun lagi untuk membela diri karena apa yang Laudia katakan memang benar. Dia terlalu sembrono terhadap hati Laudia yang halus dan sebelas dua belas dengan barang pecah belah.
"Aku gak nungguin kamu sejam atau dua jam. Aku nungguin kamu tiga jam, Mas," kekeh Laudia lagi. "Kamu bisa bayangin, gak? Selama kamu kerja, kamu bener-bener lupain aku atau gimana, sih?"
"Maafin aku, ya," Wibisana mencium dahi Laudia. "Aku yang salah. Seharusnya aku gak usah bikin janji kalau gak bisa nepatin."
"Yaudah, gapapa," Laudia mengusap matanya. "Lagian, aku juga harusnya ngerti kalau kamu kerja. Maafin aku juga."
"Mau temenin aku minum wine malem ini?" tanya Wibisana. "Maybe we can watch movie before go to bed."
Laudia terdiam sejenak, merangkul tubuh Wibisana agar semakin dekat dengannya. "Can I just be with you tonight? You. Me. Bed. Love. All night long."
Wibisana tertawa. "You and me? All night long? Are you sure?"
Laudia mengangguk.
Wibisana mengangkat tubuh Laudia, membuat perempuan itu sedikit kaget. Lelaki itu pun berjalan menuju ruang tengah, lalu menurunkan Laudia di atas sofa. "How if we do it on the couch tonight?"
Laudia menahan tawanya. "Well, aku perempuan berkelas, jadi aku gak mau ngelakuin itu di sofa."
Wibisana terkekeh. "Really?"
"No," Laudia menggeleng. "We can do it anywhere you want."
Wibisana mendekatkan wajahnya dengan wajah Laudia sampai tak ada jarak yang tersisa. Suara kecupan terdengar setelahnya. Pria itu pun melepaskan dasi, jas, dan gespernya. Laudia dapat merasakan aroma parfum yang selalu Wibisana gunakan. Aroma musim semi yang semakin mengacaukan akal sehatnya. Aroma yang selalu berhasil memabukkannya di dalam gairah.
"Rambut kamu gak sehalus biasanya," ujar Wibisana.
"Aku menata rambut buat makan malem bareng kamu tadi, jadi aku pakai hair spray."
"Dih, harusnya mandi dulu, bukannya langsung tidur," ujar Wibisana. "Ntar rambut kamu rusak."
"Hm? Apaan, nih? You wanna do it in the bathroom?"
Tawa Wibisana meledak. Darahnya berdesir. Perempuan ini benar-benar jago sekali membuatnya kaget dan salah tingkah secara bersamaan. Tangan Wibisana pun terulur untuk membuka kancing piyama perempuan tersebut.
"Mas," Napas Laudia memburu. Kedua tangannya memegangi wajah Wibisana. "I love you. I've totally fallen for you."
Wibisana tersenyum. Kalimat itu sama persis seperti kalimat yang pernah dia berikan kepada Laudia ketika mereka tengah berkendara dari supermarket waktu itu.
"I love you most," balas Wibisana, ikut mengulang kalimat Laudia waktu itu. "Laudia."
"Hm?"
"Nothing," Wibisana memberi jeda. "Waktu kita pertama kali ketemu, kamu mau aku panggil nama kamu, tapi waktu itu, aku gak tau nama kamu."
Laudia tersenyum ringan. Wibisana mulai mendengar suara dengan nada rendah dari Laudia yang membuat kepalanya semakin kehilangan akal sehat. Wibisana mencium leher perempuan itu, sepersekian detik, memandangi wajah yang sudah merona tersebut. "Be mine, Lau."
Laudia menatap kedua bola mata kristal milik Wibisana. Lelaki itu memandangi Laudia dengan tatapan yang sulit Laudia artikan, tapi Laudia tau, terdapat kesungguhan dan rasa cinta di kedua sorot mata itu.
"Be mine. Forever," lanjut Wibisana, dengan napas yang memburu. "I just wanna live with you. I just wanna have children who has your eyes and your nose. I just wanna make you the happiest woman in this world."
Mata Laudia berkaca-kaca. Dari posisi Wibisana, perempuan itu benar-benar tampak cantik dengan wajah yang merona, mata yang berkilauan, serta pakaian yang sudah dilepaskan. Bibir merah muda itu tersenyum ringan, menggambarkan kebahagiaan yang dia rasakan di dalam dadanya.
"Aku bakalan datengin ayah kamu besok," ujar Wibisana. "Kita ke kuburan Ayah besok. Oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey, It Hurts
RomanceUlang tahun perusahaan mengantarkan Wibisana untuk menghabiskan malamnya bersama seorang mahasiswa yang magang di perusahaannya. Tak hanya itu, situasi jadi semakin sulit ketika dia tak bisa lepas dari bayangan perempuan itu. Di sisi lain, perempuan...