[6] Kiss and Cry

3.1K 211 64
                                    

"KELAR hari ini," ujar Wibisana sedikit mengerang, meregangkan kedua tangannya. Setelah mematikan laptopnya, Wibisana pun melirik ke arah arloji bundar yang menggantung di dinding kamarnya. Pukul satu malam. Dia tidur larut malam lagi hari ini. Jemarinya terasa kaku dan lelah karena terus-terusan menari di atas keyboard laptopnya.

Sebelum berjalan keluar kamar, Wibisana meraih sekotak rokok dan pemetik yang ada di dalam laci meja kerjanya. Baru saja Wibisana hendak menghidupkan sebatang rokok yang sudah dia tempelkan di bibirnya, dia mengernyitkan dahinya ketika kedua matanya tak sengaja menangkap seorang gadis yang tengah berdiri di balkon. Rambut panjang itu diayunkan angin malam, serta wajah cantiknya yang menerawang jauh ke lampu-lampu dari perumahan di bawah sana.

Wibisana meraih rokok tersebut, kemudian memasukkannya kembali ke dalam kotak. Sepersekian detik, Wibisana pun membuka pintu balkon, membuat perempuan yang sedang larut dalam lamunan itu sedikit terlonjak kaget.

"Kamu ngagetin," gumamnya.

"Ngapain jam segini belum tidur?" tanya Wibisana, menaikkan sebelah alisnya. "Mimpi buruk lagi?"

Laudia menggeleng pelan. Wajahnya tampak sedikit sendu, serta tatapan yang tampak lelah.

"Terus?" kata Wibisana. "Sakit perut? Apa karena makan malem tadi kamu yang masak?"

"Gak lucu," kata Laudia. "Aku lagi gak pengen ketawa. Aku juga lagi gak pengen marah-marah."

Wibisana terdiam. Dia hanya bisa menopang dagunya di atas railing balkon, lalu memandangi wajah Laudia.

"Mas Wibi," Laudia memberi jeda. "Apa aku harusnya mati aja?"

"Mati?" Wibisana mengernyitkan dahinya "Caranya?"

"Loncat dari balkon," jawab Laudia. Wibisana dapat melihat, kedua matanya mengembun. Sepertinya, perempuan cengeng ini akan menangis lagi, seperti malam itu.

"Berani?" tanya Wibisana, menengok ke bawah. "Langsung mati, loh."

Sepersekian detik, Laudia segera memanjat railing balkon tersebut, membuat Wibisana kaget setengah mati. Tangannya spontan meraih lengan Laudia, mencengkram lengan itu kuat. Selain dia tak ingin menjadi saksi dari kematian seseorang di apartemennya, dia juga tak ingin perempuan ini mati secepat ini. Apa yang membuatnya bisa seperti ini? Dia masih muda, masa depannya masih panjang, dan banyak yang pastinya belum dia lakukan.

"Kamu ngapain? Turun!" teriak Wibisana, masih memegangi lengan tersebut. Dia sendiri pun membeku, bahkan tak tau harus bagaimana. Tangannya meraih lengan Laudia begitu saja, sedangkan dia tak punya tenaga untuk menarik perempuan itu turun dari railing balkon tersebut karena dia pun kaget, takut, khawatir, semuanya bercampur aduk menjadi satu.

"Laudia..." Wibisana menghela napasnya panjang. "Turun."

Laudia merintih kesakitan. "Lepasin. Kamu megang tanganku terlalu kenceng. Sakit."

Wibisana terkekeh remeh. "Kaya gini aja sakit, masih sosoan pengen mati? Jangan bercanda. Turun."

"Lepasin. Sakit," ujarnya. Dari posisinya, Wibisana dapat melihat air mata itu mengalir di pipi Laudia. "Sakit."

Wibisana terdiam, cukup lama. Dia baru saja menyadari, 'sakit' yang Laudia maksud bukan rasa sakit akibat cengkraman Wibisana. Namun, sesuatu yang dia tanggung di pundaknya. Tekanan keluarganya dan apapun yang mengganggu pikirannya sehingga dia selalu bermimpi buruk. Semuanya menyakitkan sehingga dia bisa senekat ini.

Wibisana menarik lengan tersebut, membuat Laudia jatuh ke pelukannya. Lengan itu merah, pasti terasa sangat sakit. Jantung Wibisana rasanya ingin copot. Dia tak percaya, anak kecil ini bisa membuatnya sepanik ini malam-malam. Padahal, malam ini dingin. Namun, usai insiden barusan, Wibisana jadi berkeringat, kegerahan.

Laudia hanya bisa diam di posisinya, terduduk di lantai balkon. Dia masih menangis, meskipun Wibisana tak mendengar suara apapun, entah itu isak tangis maupun hidung yang berisik.

"Kamu tau kan, itu bahaya banget?" tanya Wibisana, sedikit membentak. "Kenapa kamu lakuin?"

Laudia tak menjawab apapun. Wibisana jadi merasa bersalah karena jadi tampak sekasar itu, padahal perempuan yang ada di hadapannya ini hanya memerlukan seseorang untuk mendekapnya erat dan menenangkan pikirannya.

"Laudia, itu bahaya," Nada suara Wibisana merendah. "Kamu masih muda. Aku yakin, ada banyak yang belum kamu lakuin. Kamu harusnya bahagia. Kamu ada di usia emas. Masa muda gak akan bisa diulang dua kali. Kamu gak seharusnya punya pemikiran buat bunuh diri."

"Emangnya usia yang muda menjamin kebahagiaan?" tanya Laudia dengan suara yang sedikit tinggi.

Wibisana hanya bisa diam. Kedua mata gadis itu memancarkan amarah, kesedihan, dan ketakutan. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Wibisana tak tau apa yang sudah dia lewati, tapi dari sudut pandang Wibisana, perempuan yang di hadapannya ini sama sekali tak bahagia.

"Aku juga pengen bahagia! Tapi, kamu pikir, semesta baik sama semua orang?!" bentak Laudia. "Kamu gak akan pernah tau apa yang udah aku lewatin. How broken I am, how hurt it is to be me. It's hurt. Everything is hurt...."

Bentakan itu berubah menjadi isak tangis. Laudia mulai menangis, kali ini, dia tak hanya diam dengan air mata yang mengalir, tapi bibirnya mulai berisik, tak tahan dengan sesuatu yang sudah lama dia tahan di dadanya.

"I'm so sorry," Wibisana tak memiliki kalimat lain untuk diucapkan selain kalimat itu. "Don't ever do this again, I'm begging you."

Wibisana berdiri dari posisinya, lalu meraih jemari Laudia, membantu perempuan itu untuk berdiri. Wibisana menghembuskan napasnya lega ketika Laudia mau untuk diajak masuk ke dalam. Usai mengunci pintu balkon tersebut, Wibisana meminta Laudia duduk di atas sofa ruang tengah. Sepersekian detik, Wibisana segera meraih selimut dari kamarnya dan menyelimuti tubuh Laudia dengan selimut tebal berwarna abu-abu tersebut.

"Sekarang, kasih tau," Wibisana berlutut di hadapan Laudia yang duduk di atas sofa, memandangi perempuan itu lekat. Dalam ruangan yang bercahaya remang-remang ini, Wibisana dapat melihat bulu mata Laudia basah karena air mata. "What happened?"

"Kak Robert nelepon aku sore tadi."

"Apa katanya?"

"Makian, amarah, bentakan. Aku anak haram, gak pantes hidup, dan sama menjijikkannya dengan Ibu," sambung Laudia, tersenyum miris. Wibisana ikut merasa sakit ketika dia melihat senyuman tersebut. "Ada rekaman suara Ayah yang bilang kalau dia gak nganggep aku sebagai anaknya."

Wibisana terdiam, cukup lama. Sekujur dadanya terasa panas menahan amarah. Bagimana mungkin pria yang berstatus sebagai kakak iparnya itu bisa sekejam itu kepada adik sendiri? Wibisana paham, berselingkuh bukanlah hal yang benar. Namun, dia tak seharusnya menimpakan semua masalah kepada Laudia. Laudia tak salah, kedua orang tuanya yang salah. Tak ada bayi yang bisa meminta untuk dilahirkan oleh siapa di dunia ini.

"Kenapa dia nelepon kamu?"

"Ayah nulis namaku di surat wasiatnya untuk pembagian warisan dan keluarga Kak Robert sembunyiin itu," kata Laudia. "That's why."

Wibisana hanya bisa menatap prihatin. Kedua matanya ikut memancarkan kesedihan ketika dia pun ikut merasakan rasa sakit yang Laudia rasakan. Perempuan itu berkali-kali mengusap matanya, sejujurnya tak ingin terlihat menangis di hadapan Wibisana.

Wibisana meletakkan telapak tangan kanannya di wajah Laudia, membuat pandangan mereka jadi beradu. Jemarinya mengelus pipi perempuan itu dengan halus, mencoba menenangkan Laudia dengan sentuhannya.

Sepersekian detik, Laudia melingkarkan kedua tangannya di leher Wibisana, kemudian menarik wajah lelaki untuk mendekat ke wajahnya, sampai tak ada jarak di antara mereka berdua. Wibisana mulai mengubah posisinya menjadi lebih tegak dan memajukan posisi tubuhnya, membuat Laudia pun jadi sedikit menyandar ke kepala sofa.

Honey, It HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang