[12] Tussle

1.5K 183 32
                                    

LAUDIA menahan tawanya ketika dia melihat satu foto yang menurutnya paling lucu di antara semua foto yang sudah dia lihat, yaitu foto Wibisana yang dikejar oleh anjing. Bocah kecil itu tampak menangis ketakutan di foto tersebut. Laudia pun tiba-tiba memiliki ide busuk di kepalanya, yaitu memoto potret tersebut dengan kamera ponselnya dan berniat untuk meledek Wibisana nanti.

Ting tong.

"Nah, kayanya si Adek udah dateng," ujar Mama Mirna bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu depan. "Mama bukain pintu dulu."

Tak lama kemudian, Laudia dapat mendengar suara Wibisana dengan samar-samar dari pintu depan. Wibisana dan Mama Mirna berjalan beriringan menuju ruang tengah. Pria 27 tahun itu pun meraih tangan Papa Heru, lalu mencium tangannya.

"Yee, darimana aja kamu?" tanya Papa Heru. "Kerja mulu. Kamu udah sebulan gak ketemu Papa loh, Bi."

"Ya, namanya juga sibuk, Pa," Wibisana menaikkan bahunya. "Papa udah makan?"

"Kita mah udah makan. Kamu belum?" tanya Mama Mirna. "Sibuk kerja sampai lupa makan? Gitu?"

"Gak, astaga," Wibisana menghela napasnya. "Udah makan tadi di luar."

Wibisana melemparkan pandangannya ke arah Laudia yang tengah duduk di karpet sambil memandanginya. Wibisana bertanya tanpa suara, "Lagi ngapain?"

Laudia tersenyum nakal, menunjuk satu foto yang sedaritadi membuatnya menahan tawa. Wibisana memicingkan matanya ke arah foto tersebut, lalu ikut duduk di dekat Laudia dan Papa Heru.

"Heh, kok…" Wibisana menutup foto tersebut dengan telapak tangannya. "Ma, ini kerjaan Mama, ya?"

"Kerjaan Papa," kata Papa Heru. "Biarin aja. Siapa suruh sibuk kerja, terus gak ngunjungin mama papanya selama hampir sebulan?"

Wibisana menghela napasnya pasrah. "Kan tetep telepon, Pa."

"Ya, beda. Bisa-bisanya masih ngeles," ujar Papa Heru. "Awas aja kalau bulan depan masih kaya gitu."

Wibisana hanya bisa mendengus kesal, apalagi ketika dia melihat Laudia yang susah payah menahan tawa. Lihatlah, perempuan itu benar-benar tampak senang sekarang.

"Lagian, jangan sampai sakit gara-gara kerjaan, Dek," ucap Mama Mirna. "Hari Minggu aja kamu masih kerja kaya gini. Gimana kalau hari kerja?"

"Dia begadang mulu, Ma," kata Laudia. "Biasanya, jam satu pagi masih bangun."

Mama Mirna dan Papa Heru menatap tajam, seperti drakula yang siap menerkam mangsa. Wibisana hanya bisa tersenyum kecut ke arah Laudia yang menurutnya, malah memperburuk situasi.

"Ya, begadang aja terus, Bi," Papa Heru memberi jeda. "Kalau kamu sakit, Papa yang ketawa duluan."

"Yee, kaya bisa aja ketawa kalau anaknya sakit," ledek Wibisana.

"Tau, ya. Padahal ntar dia yang paling stres kalau kamu udah sakit, Dek," kekeh Mama Mirna.

"Bukan gitu. Papa juga pernah ada di usia kamu, Bi. Jadi, kalau Papa bilang jangan kerja terlalu keras, ya dengerin."

Laudia memeletkan lidahnya ketika Wibisana memandang ke arahnya, sebagai kode kalau dia sepenuhnya berada di pihak Papa Heru dan Mama Mirna. Wibisana hanya bisa menatap kesal ke arah perempuan tersebut.

"Itu kaki Papa kenapa?" tanya Wibisana, mengernyitkan dahinya. "Kok diperban gitu?"

"Kena paku kakinya," jawab Mama Mirna, dengan nada sedikit emosi. "Lagi bikin rak buku untuk di depan malah keinjek paku."

"Bisa-bisanya," ujar Wibisana. "Yaudah sih, Pa, kan bisa bayar orang buat bikin rak."

"Kreativitas anak bangsa, katanya," balas Mama Mirna. "Sampe keinjek paku."

Honey, It HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang