Cangkir 6

318 33 1
                                    

Are We Special?

"Cinta adalah perasaan paling rumit di dunia. Tidak bisa dijelaskan dengan kata. Dan, terkesan absurd. Cinta itu nggak punya batas, hanya saja hati kita yang lelah dan kemudian membatasi perasaan kita sendiri."

***

Masih tidak ada kabar dari Kin. Dia benar-benar nggak bisa dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Sepanjang jalan menuju cafe aku terus berpikir keras. Ada apa dengannya? Membuatku cemas saja.

Kuparkirkan motor. Mengikat rambut gondrongku. Kulihat jam di ponselku pukul empat sore. Jam segini cafe nggak terlalu ramai biasanya. Aku melihat sekitar, ada satu mobil mewah terparkir. Bertanya-tanya kolongmerat mana yang lagi nongkrong di sini? Aku beralih memandang motor-motor di sekitarku, ada enam motor yang terparkir dan nggak ada motor sport super mahal di sini. Hebat juga itu ningrat bergaul dengan orang awam. Eh, wait. Itu kan motor Arfan? Perasaan nggak ada jadwal manggung di sini malam ini, deh.

Cafe ini emang bisa dibilang lumayan gede buat ngadain live music, tapi nggak tiap hari juga. Pokoknya sering. Bagian depan cafe bergaya vintage dengan lampu-lampu temaram melintang bebas. Di teras ada panggung kecil buat pertunjukan musik. Semua dinding dari kaca, itu agar yang di dalam bisa juga menikmati yang sedang perform. Hanya toilet dan ruang kekuasaan staf saja yang bertembok.

Aku melangkah masuk dan siap bekerja. Dan, aku dibuat terkaget. Pemandangan pertama yang kutangkap adalah sesosok manusia yang terus kupikirkan dua hari ini, Kin, yang sedang mengobrol dengan Arfan. Mereka menyadari kedatanganku. Kakiku terpaku. Jantungku berdetak kencang. Mataku terkunci pada senyum manisnya. Sesaat setelah aku menguasai diri lagi, aku langsung berhambur dan memeluk cowok yang kusayangi itu. Aku nggak peduli dengan Arfan, atau orang-orang sekitar.

"Kemana aja kamu? Kenapa kontakmu nggak aktif? Kamu nggak apa-apa, kan? Lo buat gue khawatir," cecarku setelah melepaskan pelukan.

"Maaf buat lo khawatir. Hp gue rusak, jatuh saat gue turun tangga," jawabnya menenangkanku yang terlihat jelas sedang panik. "Maaf juga karena gue nggak datang ke bioskop waktu itu, ada urusan mendadak."

Aku sadar, aku terlalu paranoid banget karena hal sepele ini.

"Lebay banget deh lo!" sahut seseorang yang untuk sesaat kulupakan. Arfan menyeruput sisa mocca latte-nya.

"Lo ngapain di sini? Bukannya lo nggak ada jadwal perform, ya?" tanyaku penasaran. Bukan penasaran pada keberadaannya sih, tapi pada apa yang di obrolin sama Kin. Pakai pesan minum segala lagi.

Dia tersenyum lalu berdiri. "Gue cuman ngambil barang yang kemarin ketinggal aja," ujarnya sambil mengangkat tas hitam di tangannya. "Ya udah, gue cabut dulu. Sampai ketemu di kos," pamitnya lalu melenggang pergi. Tapi, sebelum dia berbalik aku bisa menangkap sorot matanya ke Kin, ada rasa ketidaksukaan.

"Apa yang kalian bicarain?" tanyaku sambil menaruh pantatku di kursi yang tadi diduduki Arfan.

"Cuman ngobrol biasa. Bukannya dia temen akrab lo, ya?"

"Iya. Tapi, bukan gaya lo bisa akrab sama orang dalam sehari. Minum bareng segala."

"Seperti apa dia orangnya?" Aku sedikit kaget saat dilempar pertanyaan macam itu. Aku rasa ada yang disembunyikan di sini.

Memang aku belum cerita banyak mengenai si Arfan. Waktu kita dibuat untuk menanyakan kabar masing-masing, bagaimana kehidupan selama tujuh tahun terkhir. Tho, Arfan cuma sekedar teman, sahabat baik. Iya sih, Arfan ada dalam ceritaku dalam tujuh tahun ini. Tapi, pentingkah itu diceritakan di awal pertemuan kita?

[BL] Stay With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang