Cangkir 17

200 16 2
                                    

Cerita dari Orang-orang Terdekat 2

"Cinta itu kuat. Pengorbanannya tak main-main, tapi ketika disia-siakan bersiaplah menyesal."

***

Aku baru terbangun ketika matahari sudah terbit, suara ramai adik-adik Arfan yang sedang bermain membuatku terjaga. Setelah memastikan aku benar-benar melek, aku gabung sama Om Dodik, Bokap tirinya Arfan, di ruang tamu yang sedang membaca majalah Jaya Baya yang entah cetakan tahun berapa, ditemani secangkir kopi hitam.

"Pagi, Om!" sapaku.

"Pagi, Fo. Udah bangun?" balas Om Dodik, melirik sekilas lalu kembali tenggelam dalam bacaannya lagi.

Aku mengangguk, walau tahu sudah tak lagi dilihat. Yang kutahu Om Dodik itu orangnya cuek, tapi kalau udah kebawa suasana dia bisa jadi hangat dan menyenangkan. Hanya perlu pancingan.

"Baca apa, Om?" Aku mulai basa-basi.

"Tau Mak Lampir?" Om Dodik malah balik bertanya. Pertanyaannya pun membuatku terbelalak heran.

"Di majalah ini, di ceritakan..." Oh, ternyata dia sedang baca cerita Mak Lampir. Nggak heran Om Dodik kan emang bapak-bapak, jadi bacanya, ya, cerita macam itu. Dia membusungkan dada, membuka lebar-lebar majalahnya. Sepertinya aku salah pancing, bakal didongengin, nih. Kisah Mak Lampir pula.

"Mak Lampir itu sebenarnya seorang Putri. Dia adalah putri dari kerajaan kuno Champa."

"Kerajaan dari mana tuh, Om?" aku menyela, "Perasaan nggak ada, deh, kerajaan itu di Indonesia, namanya juga nggak Indonesia banget."

"Emang bukan dari Indonesia. Itu di daerah Vietnam." Om Dodik menatap kutajam. "Kayanya waktu sekolah dulu Om pernah, deh, diajari tentang kerajaan Champa. Seingat Om kerajaan itu punya hubungan diplomasi dengan Majapahit. Bahkan raja Brawijaya V menikah dengan Putri Kerajaan Champa. Kamu nggak ingat, atau nggak pernah diajari sama guru sejarahmu? Apa..."

"Oh, iya! Ingat kok, Om." Aku menyela lagi sebelum Om Dodik mengorek-ngorek nilaiku yang jeblok pas sekolah. Bisa malu seumur hidup aku di depan Om Dodik yang kayaknya punya ingatan tajam, setajam silet, karena nilai sejarahku remidi. "Terus Mak Lampir kok bisa ada di Jawa, Om? Nggak mungkin, dong, dia kawin sama Brawijaya?" Aku mengembalikan topik sebelumnya dibalut candaan agar Om Dodik nggak melanjutkan tentang sekolahku.

Om Dodik mengibaskan majalahnya, memperhatikannya kembali. "Mak Lampir itu bukan putri sungguhan. Maksudnya dia itu keturunan bangsawan negeri Champa yang turun-temurun, kawin-mawin dan hidup di Bukit Tinggi. Mak Lampir itu adalah wanita yang paling cantik di sana. Dia jatuh hati pada seorang kesatria, biasa dipanggil Datuk Panglima Kumbang. Dia adalah pemimpin pasukan Tujuh Manusia Harimau. Tau legenda Tujuh Manusia Harimau, kan?"

Aku langsung mengangguk tegas. Padahal aku nggak tahu apa-apa, cuma pernah dengar doang. Siapa tahu, Tujuh Manusia Harimau juga muncul dalam dalam buku sejarah. Daripada Om Dodik ngungkit-ngungkit pelajaran sejarahku lagi, mending pura-pura saja tahu.

Om Dodik melanjutkan, "Diam-diam Panglima juga menaruh hati pada sang Putri. Namun, kisah cinta mereka harus kandas, karena restu dari kedua orangtuanya. Suatu hari Sang Putri memberanikan diri mengungkapkan cintanya, dia mengirim surat ke Datuk. Tapi, yang membaca suratnya malah orangtuanya Datuk, mereka mengirim balasan yang menyatakan bahwa cintanya ditolak. Orangtua Sang Putri akhirnya mengetahui juga, mereka merasa malu karena anaknya mencintai siluman dan mengasingkan anaknya ke gunung Merapi. Dengan patah hati dan merasa tak diinginkan, akhirnya Sang Putri pergi."

Om Dodik berhenti sejenak. Lalu menyeruput kopinya yang mulai dingin. Lalu mengecap keenakan, sebelum melanjutkan dongengnya.

"Terus, Om, Datuk tau Mak Lampir minggat?" celetukku nggak sabar mendengar kelanjutan kisahnya.

[BL] Stay With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang