Cangkir 10

246 20 0
                                    

Cidera

"Ternyata aku juga memgagumimu."

***

"Eh, Fo, lo liburan rencana mau ngapain?" iseng Arfan membuka obrolan.

Aku yang asik bermain game dengan enteng menjawab, "Biasalah. Kerja."

"Kemarin waktu gue pulang Mama nanyain lo. Udah lama 'kan lo nggak main ke rumah," celetuknya sambil melepas tasnya dan meletakkannya di meja yang ada di taman sebelah gedung fakultas kami ini.

"Iya, ya. Tapi, kan lo tau sendiri gue sibuk. Tapi... nggak ada apa-apa, 'kan? Keluarga lo baik aja, kan?"

"Nggak ada apa-apa, kok. Cuma nanyain aja," aku menangkap sedikit nada kecewa di suaranya.

Aku memang sudah dekat banget sama keluarganya, udah dianggap bagian dari keluarga. Aku sangat bersyukur bisa kenal Arfan dan keluarganya. Berkat mereka aku bisa dapat lagi kasih sayang orang tua dan kehangatan rumah. Menemukan sosok Ibu yang begitu perhatian dari Mamanya Arfan. Aku inget banget pesan Mamanya waktu nganterin kami pindahan buat kuliah, dia bilang, "Refo, tolong adeknya dijagain. Si Arfan iki ndak pernah jauh dari wong tuo. Pas sekolah kamu kan ngerti dewe, bocah iki nakale piye?" dan dengan jengkelnya Arfan bilang, "Yaelah, Ma. Aku iki wes gede, ga perlu dijagain. Toh, dari dulu Arfan yang jagain Mas Refo."

Well, dia ada benarnya, sih. Arfan itu lebih dewasa dari umurnya. Kadang dia malah yang jagain aku. Tapi, tetap aja reseknya kaya setan. Huh!

"Btw, Bu Rika kemana, sih? Tadi gue cari di kantornya nggak ada," oceh Arfan.

Aku cuma angkat bahu dan lanjut main game.

Walau sudah masuk semester skripsi kami yang sekelaa memang sering ngumpul di kampus, entah membahas apa yang penting kumpul aja.

Dia menepuk bahu Rina yang duduk di samping yang juga satu dosen pembimbing skripsi dengannya, menanyakan hal yang sama, "Woi! Bu Rika kemana, sih? Padahal nggak ada jadwal kelas... Gue mau bimbingan."

"Nggak tau! Anak-anak, sih, udah SMS tadi, tapi nggak dibales."

☀☀☀

"Andi!" aku teriak memberi isyarat untuk mendapat umpan bola.

Andi melempar bolanya, tapi tim lawan berusaha menghalangi. Arfan di depanku bersamaan melompat, tapi lompatanku jauh lebih tinggi dan lebih handal tentunya. So, bola dengan mudah gue rebut, lalu mendrible dan melemparnya dengan mulus ke ring. Semua bersorak. I don't know, poin kami sudah sampai berapa. Aku nggak terlalu memperhatikan, toh ini cuma latihan, aku hanya menikmati permainan. Basket adalah kesenanganku.

Entah berapa quarter pertandingan ini, kami memang tak membatasi. Kalau sudah lelah berarti, ya sudah, permainan selesai. Ini pertandingan kami, aturan kami. Tim kami memang nggak punya pelatih, inisiatif para mahasiswa jurusan ini saja untuk membentuk tim basket.

Pertandingan semakin seru. Kami sudah bercucuran keringan, nafas yang memburu, dan otot yang sudah memberontak sedari tadi. Itu artinya quarter akan berhenti diputaran ini. Aku harus menang. Timku harus menang.

Dengan sekuat yang kubisa, aku men-drible bola melewati tiga pemain, berputar menghindari mereka yang membuat otot kaki sedikit terpelintir. Ketika aku siap menembak, Arfan tiba-tiba ada di depan dan membuat kuda-kudaku melenceng. Kami lompat bersamaan. Karena tumpuanku yang nggak sempurna membuat bola itu tak melambung tinggi dan berhasil direbut Arfan. Tapi, bukan itu yang terburuknya. Aku gagal mendarat.

Bruuakk...

☀☀☀

Aku terbangun di klinik universitas. Dan, hal pertama yang kulihat adalah...

Arfan.

Dia tertidur. Tangan kanannya menggenggam tanganku. Posisi tidur duduk itu terlihat sangat tidak nyaman, tapi dia tetap pulas.

Aku berusaha untuk bangun, tapi badanku begitu sakit dan kepalaku pening. Kulihat perban menyelimuti pergelangan kaki kiriku, sikut juga lecet dan nyeri, dan saat kupegang belakang kepala aku menemukan gumpalan kasa.

Oh, shit! Ini cedera paling parah yang pernah gue alami. Bagaimana bisa padahal lantai lapangan bukanlah aspal?

Mataku kembali menyorot sosok yang sedang tertidur, Arfan, lagi-lagi dia ada di sampingku saat dibutuhkan. Lagi-lagi dia yang jagain aku. Kakak macam apa aku ini.

Dia masih pulas. Mungkin kelelahan saat latihan. Tubuhnya tak bergeming sama sekali walaupun aku buat gerakan. Kupandang lekat-lekat wajahnya, begitu polos seperti bocah. Alisnya yang tegas, kulitnya yang kuning langsat, hidupnya yang agak pesek, dan bibir penuh merahnya tak berkedut sedikit pun. Entah kenapa diri ini begitu damai saat memandangnya. Kusibak rambutnya yang menutupi kening. Kalau dilihat-lihat dia ganteng juga.

Eh wait, apa yang kupikirin? What's wrong with me? Pasti otakku nggak beres ini. Dakter mana dokter!

👀👀👀

[BL] Stay With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang