Cangkir 21

209 17 6
                                    

Rapuh

"Cinta adalah obat termanjur saat kita merasa rapuh."

***

"Ada apa, Kin?" Aku menyisih ke sisi lapangan di balik tenda kios agar nggak terlalu berisik. Mengangkat telepon Kin. Berusaha bicara dengan nada netral, yang padahal sangat panik. Berharap bisa menguatkan Kin. Dia masih tersedu di balik telepon sana.

"Re..." Kin tersengguk. "Bokap gue... Re. Dia pingsan."

Aku mengatur nafas supaya nggak ikut panik.

"Terus bagaimana keadaannya sekarang? Udah dibawa ke rumah sakit, kan?" cecarku.

"Papa masih di UGD. Gue takut, Re... Gue takut."

Ya, aku tahu rasanya. Takut yang membuat kalian tak bisa berdiri, takut yang membuat kalian sulit bernafas. Seakan ruang dan waktu di sekitar kalian tak lagi bekerja. Ketakutan kehilangan seseorang yang kalian cintai. Aku tahu betul rasanya. Saat mendengar Nyokap sudah meninggal, membuat hatiku remuk tak berbentuk, dunia gelap seketika.

"Tenang, Kinny. Tenang. Everything gonna be okay. Semua akan baik-baik aja," aku berusaha menenangkannya.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa bokap lo sampai pingsan?" tanyaku harap-harap cemas.

"Ka.. kami berdebat..." dia masih terbata. "Dia pingin gue meneruskan usahanya, dia pingin gue tetap disini dan menjalankan bisnis. I don't want it. Gue marah... kami terus berdebat. Gue teriak padanya... I... I don't know what happen. Tiba-tiba dia bilang dadanya sakit. Lalu jatuh pingsan. Gue takut, Re... gue takut."

"Semua bakal baik-baik aja, Kin. Di sana banyak dokter hebat, dibanding di sini. Dia akan baik-baik aja. Tenanglah..." aku sekali lagi menenangkannya walau aku ngggak tahu semua bakal baik-baik saja.

Serangan jantung sangat berbahaya. Doakan saja Bokap Kin baik-baik saja.

Cukup lama aku bertelepon dengan Kin. Kami nggak banyak bicara. Aku hanya mendengarkan dia menangis. Ingin sekali aku memeluknya yang sedang rapuh begini, sama seperti yang biasa dia lakukan padaku dulu, tapi jarak tidak memungkinkan. Sekitar sepuluh menit berlalu, tangisnya mulai tenang. Menyisakan sesenggukan. Aku benci ketika nggak ada disampingnya disaat dia butuh. Padahal aku selalu ingin menjadi sosok istimewa yang ada tiap dia lemah dan rapuh. Kami saling diam. Akhirnya suara seseorang memanggilnya, kayaknya dokter. Aku mendengar percakapan mereka samar-samar. Lalu setelah beberapa saat Kin memberi tahuku kalau Bokapnya baik-baik saja. Nafas lega terdengar jelas.

"He's okay... Makasih, Re. Terima kasih banyak."

Paru-paruku juga ikut melega. "Udah gue bilang kan Bokap lo bakal baik-baik aja. Jadi tenangkan diri lo," cetusku.

"Gue bakal melihat Papa. See you later."

"Ok. See you."

Lalu dia memutus sambungan.

Aku menyandar ke tembok. Tiba-tiba pikiranku menjadi kalut. Mendengar Kin begitu panik saat Bokapnya pingsan, mengingatkanku ke orangtua kandungku sendiri. Bayangan Nyokap tiba-tiba muncul di kepalaku. Aku kangen Mama.

Waktu itu kejadiannya mirip dengan ini. Bokap tiriku menerima telepon kalau Ibu kecelakaan. Kami langsung pergi ke rumah sakit, tapi di sana aku harus menerima kenyataan. Nyawa Ibu nggak bisa diselamatkan. Rasanya duniaku hancur. Tapi, untunglah ada Kin yang datang, menawarkan bahunya untukku menangis. Ingatan itu nggak bakal pernah hilang dari memori.

Sedangkan Bokap kandung sudah nggak tahu dia di mana. Aku nggak bisa menghubunginya untuk hadir saat pemakaman. Orangtuaku sering ribut, pada akhirnya mereka bercerai. Papa menikah lagi, dan menetap di Bali. Setidaknya itu yang kudengar dari Nyokap. Bokap nggak pernah menghubungiku. Sekali pun nggak pernah. Aku bahkan lupa bagaimana wajahnya. Sial! Aku kangen bajingan itu.

[BL] Stay With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang