Cangkir 28

165 19 2
                                    

Bicara

"Aku melarangmu untuk melarangku mencintaimu."

***

Sore ini cafe cukup lengang. Live music juga tak ada, hanya sound yang bernyanyi melankolis. Tia di balik meja kasir sambil memainkan ponselnya. Agus mengelap meja yang baru saja ditinggalkan pelanggan. Yang lainnya mengobrol karena memang tak banyak kerjaan saat ini. Aku sendiri santai di balik mesin pembuat kopi.

"Refo, gimana hubungan lo sama pacar lo? Lancar, kan?" Tia membuka obrolan.

Aku mendesah lesu. "Ya... gitu, deh."

"Sesekali bawa kesini kek, penasaran gua siapa sih orang yang berhasil membuat hati barista ganteng kita luluh. Haha..."

Aku hanya tersenyum kecut.

"Arfan nggak lagi nyanyi di sini, ya? Ah, gua bakal rindu suaranya," Tia beralih topik. "Oh iya, Fo. Teman lo yang Cindo itu siapa namanya... yang sempat berantem sama Arfan? Dia imut juga. Kenalin sama gue, dong!" tambahnya genit.

"Jangan ganggu dia. Dia sudah punya pacar," semprotku galak.

"Lah, kok ngamuk?!" dia tak terima.

"Kerja, woi! Tuh, ada pelanggan datang," Agus yang baru muncul membawa gelas kotor mengomel. "Ngobrol mulu lo."

Kami pun kembali ke posisi.

"Selamat sore, Ka. Mau pesan apa?" Tia menyambut pelanggan.

Diam. Pelanggan itu tak menjawab. Diriku membeku saat meliriknya. Pelanggan cantik itu juga melihatku. Dan, dia tersenyum.

###

Cinta terlihat anggun dengan tampilan kasualnya. Rambutnya yang sebahu tumbuh lebih panjang dari pertama kali kami bertemu beberapa bulan lalu. Kalau dihitung aku cuma bertemu dengan cewek blasteran ini dua kali, di depan rumah Kin dan di taman bareng Nyokapnya Kin beberapa hari yang lalu. Kami selalu bertemu saat aku dan Kin berpelukan. Dari balik meja bundar ini aku bisa melihat air mukanya tak secerah dandanan yang menempel di wajahnya. Ia tampak sedikit gelisah.

"Refo, kan?" dia memulai basa-basinya.

Aku mengangguk. Situasi yang tak biasa ini membuatku takut.

"Lo ketemu Kin? Bagaimana keadaannya? Dia nggak jawab telepon gue," cerocosku.

Cinta memperbaiki duduknya, kemudian meneguk ice aren latte yang kubuat. Sumpah, gerak-geriknya membuatku cemas.

"Lo terlihat sangat khawatir. Ada apa di antara kalian?" ujarnya dengan aksen Amerika yang kental.

Aku makin gelisah. Hanya bisa diam dan menebak-nebak tujuannya kemari.

"Can I ask something? Kenapa kalian pelukan malam itu?"

Deg. Jantungku terasa dipompa lebih kuat. "Kami cuma berpelukan. Nggak ada salahnya kan, cowok saling pelukan?" jawabku agak terbata. Gugup.

"Bukankah kalian terlalu sering berpelukan?"

Aku makin tak tenang. Pertanyaannya selalu menyudutkanku. Seolah mengejarku dalam suatu pengakuan. Bagaimana aku harus meresponnya?

"Gue pertama kali lihat Kin di lapangan kampus." Cinta menyilangkan kakinya, dan mulai bercerita tanpa kuminta. Seperti pergi jalan-jalan sebelum ke tujuan utama. "Tiap gue pulang kuliah, gue sering lihat Kin bermain basket sendirian. Hampir tiap senja dia ada di lapangan, padahal kemampuannya dalam basket buruk sekali. Gue sering memperhatikannya, mencetak gol adalah sesuatu yang langkah. Jadi tiap kali dia berhasil memasukkan bola ke keranjang gue selalu bersorak. Itulah awal pertemanan kali."

[BL] Stay With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang