Pak Samsul memeluk Raya erat-erat. Ia melepaskan pelukannya dan memandangi Raya lekat-lekat dengan wajah tak percaya.
"Raya..." Pak Samsul mengedipkan matanya, "Cantik sekali kamu, Nak!"
"Aku masih seperti yang dulu, Pak."
"Apa termasuk Mas Fatta?" tanya Pak Samsul antusias.
Raya terbahak, merasa malu bahkan Pak Samsul masih mengingat cinta monyet tak berbalas yang melegenda itu. Mbok Ijah dan Pak Samsul adalah dua orang yang paling tahu betapa Raya sangat memuja Fatta. Betapa memalukan tingkahnya dahulu ketika ia selalu membuntuti Fatta kemanapun jika laki-laki berkunjung ke peternakan.
"Aku sudah dewasa, Pak. Dulu aku tinggal di peternakan yang sepi dan laki-laki tampan cuma dia. Tapi tujuh tahun ini aku banyak bertemu laki-laki yang jauh lebih tampan dari dia."
"Jadi aku nggak masuk kategori laki-laki tampan kalau begitu," goda Pak Samsul.
"Itu kan dulu. Kalau sekarang sih tentu aku akan lebih memilih Bapak. Jelas Bapak lebih menyenangkan dan bijaksana."
"Rasanya sudah terlambat, Nak. Sekarang ini aku sudah semakin renta. Coba lihat rambutku bahkan sudah berubah warna."
Raya tertawa, "Bapak masih menarik kok."
"Jadi," kata Pak Samsul sambil memandangi travel bag Raya, "Apa itu barang bawaanmu?"
Raya mengangguk.
"Mudah-mudahan kamu nggak lupa membawakanku oleh-oleh, Raya."
Raya memandangi rumput-rumput liar di sepanjang jalan yang dilalui mobil yang dikendarai Pak Samsul. Pohon-pohon yang berlarian dan rumah-rumah sederhana dengan jemuran pakaian di samping rumah. Benar-benar pemandangan yang dirindukan Raya.
"Masih mencintai tempat ini, Nak?" tanya Pak Samsul sambil menoleh sebentar pada Raya.
"Ya," Raya mengangguk, "Sydney memang cantik, tapi ada pesona yang tidak bisa dijelaskan tentang peternakan, Pak. Aku selalu merindukan peternakan."
"Orang-orangnya?"
Raya tertawa "Soal Mas Fatta lagi, ya? Kalau saja Alexa itu bisa lebih ramah dan sedikit berbaik hati mungkin aku masih bisa menyayangi suaminya. Tapi melihat dia lebih memilih diam sementara istrinya berbuat sesuka hati terhadap orang-orang seperti kita, jelas aku nggak akan terima, Pak. Jadi aku memilih tidak merindukannya saja. Itu pilihan terbaik."
Pak Samsul mengangguk menyetujui ucapan Raya. Tak lama kemudian mobil yang dikemudikan Pak Samsul memasuki peternakan. Raya menahan nafas memandang rumah tua bergaya Belanda itu. Lembah itu masih hijau dan hutan itu masih seperti yang di ingat Raya. Tuhan... betapa aku merindukan tempat ini.
"Turun Raya, atau masih ingin melamun?" ujar Pak Samsul sambil menurunkan travel bag Raya.
Raya baru saja melompat keluar dari mobil, ketika pintu rumah terbuka lebar dan Mbok Ijah menyeruak keluar rumah dengan suaranya yang ribut.
"Ya Tuhan... Rayaaa!!" jeritnya lalu memeluk Raya erat-erat.
"Mbok.. aku taruh dimana barang-barang Raya ini?" tanya Pak Samsul.
"Letakkan saja di kamarnya yang dulu," sahut Mbok Ijah dengan posisi masih menjepit tubuh mungil Raya, "Sul, jangan pulang dulu. Ada puding labu di dapur."
"Mbok... tulang-tulangku bisa remuk semua ini."
Mbok Ijah melepaskan pelukannya lalu mengamati Raya dengan mata berkaca-kaca, "Coba kulihat dirimu."
Raya tersenyum memandangi perempuan tua ompong yang sangat disayanginya itu.
"Kamu sudah dewasa Raya, cantik dan sempurna," gumam Mbok Ijah sambil menyusut air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Homing Bird
RomanceFatta : Aku nggak akan pernah mencintai wanita manapun seperti aku mencintai kamu. Seandainya waktu dapat di putar kembali, tapi nggak akan pernah ada yang akan kembali. Semuanya berlari semakin cepat dan kita berlari semakin menjauh. Raya : Burung...