Part 33

4.8K 995 43
                                    

“Menikah?”
Raya mengangguk dan memandangi wajah tua Mbok Ijah yang menatapnya heran.
“Aku bingung sebenarnya ada apa, Raya. Baru seminggu Mas Fatta tiba-tiba saja berangkat ke luar negeri, rujuk kembali dengan Mbak Alexa. Ini aneh, Nak. Mereka bahkan hampir bercerai dan tiba-tiba mereka akan punya bayi.”
“Semua orang bisa berubah pikiran, Mbok,” sahut Raya sambil menekuri meja makan di dapur yang luas itu.
“Dan yang lebih aneh, kenapa Mas Fatta begitu mengkhawatirkan kamu. Wanti-wanti sama aku untuk menjaga kamu. Sekarang tiba-tiba kamu ingin menikah dengan si Genta itu!” ujar Mbok Ijah sambil melirik Genta yang sedang bercakap-cakap dengan Pak Samsul di beranda, “Bukannya aku nggak suka dengan anak itu, tapi ini sangat aneh. Kamu nggak mungkin tiba-tiba menikah dengan orang yang bahkan nggak pernah kamu ceritakan.”
“Aku nggak ingin bohong dengan Mbok,” ujar Raya sambil mengangkat wajahnya, “Aku menikah dengan Genta karena aku sedang hamil, Mbok.”
Wajah Mbok Ijah seketika berubah, “Raya… kamu dan si Genta itu…”
“Mbok…” potong Raya cepat, “Bayi yang kukandung ini anak Mas Fatta.”
“Ya Tuhan, Nak!” Mbok Ijah menatap Raya dengan ngeri.
“Maafkan aku, Mbok. Semuanya terjadi di luar kendaliku. Aku tau aku salah.”
“Apa Mas Fatta tau?”
Raya menggeleng, “Dia nggak tau dan dia nggak boleh tau.”
“Tapi Raya…”
“Mbok, mereka juga akan punya bayi sendiri dan tidak mungkin Mas Fatta juga harus menikah denganku. Lagipula Mbok tau bagaimana ibu dan Alexa kan?”
“Raya…”
“Mbok, aku juga akan menikah tiga minggu lagi.”
“Tapi, Nak… Genta itu bukan ayah bayi kamu,” Mbok Ijah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bingung.
“Tapi dia mencintai aku dan bayiku. Dia menerima kami berdua, begitu juga orang tuanya.”
“Raya… “
“Mbok.. aku hanya nggak ingin mengulangi kesalahan yang sama yang di buat oleh ibuku. Itu saja. Lagipula Genta sangat baik dan perhatian. Mbok lihat sendiri kan?”
Mbok Ijah menatap Raya tajam, “Ini tidak masuk akal, Nak.”
“Mbok… percayalah padaku, aku akan baik-baik saja. Aku akan bahagia. Begitu pula Mas Fatta dan Alexa. Untuk saat ini, cuma hal inilah yang bisa aku lakukan, Mbok.”
“Raya, tapi Mas Fatta…”
“Mbok harus janji nggak akan bilang dengan Mas Fatta. Ini akan menjadi rahasia kita berdua.”
“Bagaimana kalau Mas Fatta bertanya?”
“Katakan saja padanya aku baik-baik saja di Jakarta, ya Mbok?”
Mbok Ijah mengangguk sedih.
“Nah… aku tidak meminta apa pun pada Mbok. Tapi setidaknya berilah aku dukungan. Tolong doakan aku dan kandunganku, Mbok. Kalau Mas Fatta kembali nanti, tolong rahasiakan hal ini darinya, karena kami sudah memiliki keluarga masing-masing. Ohya, aku akan segera pindah dari apartemen Mas Fatta.”
“Kamu akan tinggal dimana?” tanya Mbok Ijah khawatir.
“Aku akan menikah Mbok, nantinya aku akan tinggal dengan suamiku.”
“Tapi itu masih tiga minggu lagi, Raya.”
“Menjelang pernikahan, aku akan tinggal di rumah Dina. Mbok Ingat Dina kan, Mbok?’
Mbok Ijah mengangguk, “Aku hanya berharap kamu benar, Raya. Aku cuma merasa masalah ini tidak akan selesai dengan Mas Fatta pergi keluar negeri dan kamu menikahi Genta. Ini akan menjadi masalah besar nantinya, cepat atau lambat.”
Raya menggeleng, “Semuanya akan baik-baik saja, selama kita bisa menjaga rahasia ini.”

*****

Beberapa hari kemudian semua orang terlihat sibuk dengan persiapan resepsi pernikahan Genta dan Raya. Genta dapat merasakan aura kebahagiaan di sekitarnya. Dari orangtuanya. Teman-temannya dan tentu saja dirinya sendiri. Ibunya sangat bersemangat dengan resepsi pernikahan ini, begitu pula dengan ayahnya. Dan diam-diam tanpa bisa di pungkiri ia pun sama bersemangatnya. Menikahi Raya adalah mimpinya dan dalam beberapa minggu lagi ini bukan hanya mimpi tapi menjadi kenyataan.
Hal pertama yang dilakukan Bu Anindya adalah menelepon konsultan pernikahan. Dan sekarang dia sedang sibuk mendengarkan Linda, si konsultan pernikahan yang sedang mencatat dan mendikte rencana-rencana detil resepsi pernikahan itu lengkap dengan segala tetek bengek pernikahan yang berserakan di atas meja kerjanya. Majalah-majalah pernikahan, portofolio toko-toko bunga, daftar perusahaan-perusahaan catering, fotografer dan videografer, jasa MC dan hiburan, perusahaan percetakan kartu undangan dan souvenir, dekorasi, bridal, kue pengantin hingga pilihan hotel.
Raya mengintip dari pintu penghubung di ruang tunggu dan memandangi dengan heran kesibukan di dalam ruang kerja konsultan pernikahan kondang itu.
“Soal gaun pengantin jangan khawatir,” ujar Linda sambil menepuk tangan Bu Anindya, “Liana selalu punya yang terbaik. Apalagi untuk pernikahan Genta.”
“Tapi kurang tiga minggu lagi, Lin. Aduh.. stressnya!” keluh Bu Anindya.
Konsultan pernikahan itu menatap Bu Anindya sambil tersenyum, “Sudah kukatakan, nggak jadi masalah buat aku, begitu pula Toni dan Liana.”
Bu Anindya tersenyum dan mengangkat wajahnya, tiba-tiba ia menyadari kehadiran Raya.
“Raya… kamu sudah datang,” Bu Anindya menghampirinya, “Ini konsultan pernikahan kita. Linda ini konsultan pernikahan terbaik dari Linda’s Wedding Organizer and Boutique.”
“Aduh.. cantik sekali!” puji Linda sambil menyerbu Raya dengan ciuman, “Anak itu, bener-bener pinter milih calon istri.”
Bu Anindya tersenyum senang.
“Raya… Tante sudah punya rencana untuk pesta pernikahan kamu. Tapi sebelumnya Tante mau tanya, Raya mau resepsi yang bagaimana?”
“Simpel aja Tante, bertema outdoor kalau tidak merepotkan,” ujar Raya pelan.
“Tante tau, simpel dan bernuansa alam, ya kan? Tante sempat ngobrol di telepon sebentar dengan Genta. Dia bilang kamu inginnya begitu.”
Raya mengangguk dan Linda tersenyum puas. Tiba-tiba seorang laki-laki tinggi kurus dengan dandanan amat sangat rapi dan menyebarkan wangi yang lembut masuk ke ruangan itu dan memandangi Raya dengan takjub, “Hai…“ sapanya gembira, “Ini Raya, ya?”
Cup.. Cup..
Pipi Raya di cium dengan kuat, “Gue, Toni.”
Tangan Toni melingkari pinggang Raya dengan erat, lalu dengan bersemangat tanpa basa basi dia menyeret Raya menuju ruangan lain di butik itu.
“Lihatlah… Seperti permintaan lo, Linda. Gue sudah menyiapkan beberapa contoh makanan dari catering!” teriaknya gembira seperti pengumuman undian berhadiah di televisi, “Jadi si Cantik Raya ini nggak perlu bolak-balik. Lagipula waktu kita mepet banget.”
Raya menatap heran pada sejumlah piring besar berisi makanan di meja.
“Coba, Cantik!” Toni mengambil sepotong cake bertabur keju dan menyorongkannya ke mulut Raya.
Raya membuka mulutnya dan baru menyadari kalau dia sangat membenci keju begitu cake itu sudah meluncur ditenggorokannya.
“Ini menggunakan keju gruyere. Keju lunak dari swiss dapat di beli di supermarket dengan warna kuning terang dan sangat lentur,” dan sekarang Toni mulai terlihat seperti salesman makanan.
“Bagaimana, Ra?” tanya Bu Anindya tak sabaran.
Raya mengangguk-angguk. Mencoba menelan cake itu dengan susah payah, “Enak.”
Senyum puas menghiasi wajah Toni, “Dan ini Raya, cobalah ini, prawn salad.”
Raya bergidik memandangi piring berisi selada udang segar dengan irisan buah zaitun, telur yang berlumur saus entah apa itu.
“Udangnya, Raya!” dan tiba-tiba Toni sudah menyorongkan piring berisi makanan laut itu di depan hidung Raya.
Raya memandangi udang itu tanpa berkedip. Dia tidak suka udang, apalagi udang yang dihidangkan seperti ini. Ini seperti memakani temannya SpongeBob si tokoh kartun Nickelodeon  hidup-hidup. Oh Patrick, aku memakan temanmu. Tolong aku! Dan makanan itu meluncur masuk ditenggorokannya.
“Ini sempurna!” ujar Linda dengan mimik puas, “Toni memang luar biasa kalau soal makanan.”
“Oh tentu saja!” cuping hidung Toni melebar, “Akan ada grilled salmon dan… Ah ya… pasti akan ada beberapa tamu vegetarian, ya!” teriaknya nyaring.
“Ya tentu saja, saudara sepupuku vegetarian!” sahut Bu Anindya tak kalah ributnya.
“Kalau ada sup kepiting dan sup udang, maka untuk vegetarian akan ada sup kentang kacang polong. Juga pilaf sayuran, juga desert puding yogurt dengan saus strawberry dan jus mangga kelapa,” Toni mengoceh kesana kemari dengan gembira.
“Oh… Toni!! Kamu benar-benar jenius!” Bu Anindya menatap Toni dengan kagum.
Raya menatap pemandangan aneh itu dengan hati mencelos. Apa nggak ada makanan sederhana kesukaanku? Apa saja. Soto madura, soto betawi atau gorengan sekalian tapi jangan temen-temen seganknya SpongeBob.
“Raya, cicipi ini mousse kiwinya!” perintah Toni layaknya seorang super chef restoran hotel berbintang lima.
“Oh…” Raya menggeleng dengan lemas dan kepalanya tiba-tiba terasa berputar.
“Ayolah Raya sayang, cobalah,” Toni menatap Raya dengan pandangan memohon.
“Raya…??” itu suara Bu Anindya.
Raya memandangi air muka calon ibu mertuanya yang terlihat bahagia. Lagipula ini cuma kiwi, hibur Raya pada dirinya sendiri sambil menatap gelas piala berisi cairan hijau pasta kiwi bercampur krim dan perlahan-lahan ia mengambil sesendok hingga cairan kental itu mengalir ditenggorokannya. Mata Raya mengerjap-ngerjap. Sumpah aku akan menjauhi makanan apa saja yang berbentuk cairan hijau mulai sekarang!
Tiba-tiba Raya tidak saja merasa pusing tetapi juga amat sangat mual. Perutnya rasanya jungkir balik sekarang.
“Wah.. Wah.. Banyak makanan!”
Genta!!
“Halo, Ma!” Genta masuk dan mencium ibunya, “Waduh… Ton… Makanan baru lagi nih!” Genta melongok ke meja penuh makanan.
“Calon istrimu memakan semua makananku dan katanya… Sempurna!” ujar Toni dengan bangga.
“Itu apa, sayang?” tanya Genta pada Raya yang masih memegang gelas pialanya.
Wajah Genta menciut sekarang dan Raya masih bisa mendengar suaranya sendiri berdengung aneh di telinganya, “Ki-wi.”
Gelas di tangan Raya jatuh dan dari mulutnya meluncur cairan hijau yang muncrat tanpa ampun. Secara refleks semua orang di ruangan itu menghindar dari serangan yang tiba-tiba itu, kecuali Genta yang serta merta meraih Raya yang limbung ke depan.
“Genta... aku rasa aku akan pingsan!”
Raya memandangi Genta yang sekarang mukanya telah terlihat rata, sebelum jatuh dalam pelukan calon suaminya.
“Toni!!” hardik Genta marah seraya memeluk Raya erat-erat, “Lo ngeracuni Raya, ya? Makanan apa yang udah lo kasih ke calon istri gue?!?”
Toni menatap bingung dengan mata mengerjap-ngerjap, “Ini aneh banget,” gumamnya heran, “Masa ada orang pingsan bilang-bilang dulu!”
“Mama!!” teriak Genta marah, “Bawa dia keluar sekarang juga!! Atau aku akan mencukur habis kumisnya!”

*****

Raya merasa sangat tidak enak tapi ia sudah setengah sadar dan ia dapat mendengar suara orang-orang di sekitarnya. Suara Genta, suara ibunya, suara…
“Apa menurut Mama Raya nggak apa-apa?”
“Raya hanya lelah.”
“Mama kan bukan dokter!”
“Menurut Tante, kita sebaiknya membawa calon istrimu ke dokter, Genta. Ini mungkin  pre wedding syndrome.”
“Padahal gue memberinya makanan terbaik dengan gizi terbaik. Dan dia malah pingsan.”
Ya, ia pingsan. Dan ia terjatuh. Ia bahkan tidak merasa sakit. Ia hanya merasa tidak enak. Tidak nyaman.
“Diam Toni, atau  gue bakalan cari pencukur kumis sekarang juga!”
Raya membuka matanya dan akhirnya ia melihat Genta sedang memelototi Toni yang sedang bersandar di pintu sambil memegangi kumisnya dengan waspada.
“Padahal maksud gue kan baik,” ujar Toni sedih.
“Sudah Genta, Raya cuma kurang sehat. Raya baik-baik aja dan jangan berlebihan, Nak,” ujar Bu Anindya sambil tersenyum kecil, “Lho Raya sudah sadar?”
Raya mencoba tersenyum.
“Apa yang sakit, sayang?” tanya Genta sambil memegangi tangan Raya.
Raya menggeleng, “Hanya capek, Ta. Mungkin karena kemarin kita baru balik dari peternakan.”
“Nahkan!” Toni tiba-tiba saja sudah berdiri mengintip dari balik bahu Linda, “Bukan karena makanannya.”
“Perutnya sakit?” tanya Genta lembut.
Raya menggeleng, “Tapi aku nggak mau makan makanan itu lagi. Aneh.”
“Pasti, sayang,” Genta mengangguk dan menoleh pada Toni, “Gue juga bilang apa? Lo tuh kelewat banyak bereksperimen.”
Toni cemberut, “Orang-orang memuja masakanku dan  dia malah bilang itu makanan aneh.”
“Itu memang makanan aneh!” omel Genta.
“Sudahlah, kalian ribut sekali. Raya kan butuh istirahat,” ujar Bu Anindya mencoba melerai.
“Ya dia ini Ma, biang keributannya,” sahut Genta sambil menatap Toni jengkel.
“Gue bukan biang keributan. Gue biang masakan terbaik,” balas Toni cepat.
“Sudahlah begini saja, Ton. Kita keluar saja dan membahas makanan lagi. Biarkan Genta yang menemani Raya,” usul Bu Anindya.
Beriringan Bu Anindya, Linda dan Toni meninggalkan ruangan itu.
“Ini di mana sih?” tanya Raya sambil memandang berkeliling.
“Kamar tamunya Tante Linda,” jawab Genta sambi tersenyum menatap Raya, “Kamu membuat aku sangat cemas.”
“Apa aku jatuh?”
“Ya, ke pelukanku.”
Raya tersenyum malu, “Pasti terlihat lucu dan memalukan, ya?”
“Aku menggendongmu kesini dan kamu ringan banget. Tapi sebentar lagi beratmu akan menyaingi berat ibu-ibu hamil lainnya,” goda Genta.
Raya tertawa.
“Sayang, kamu yakin kita nggak perlu ke dokter?” tanya Genta tiba-tiba.
“Nggak usah, aku nggak apa-apa.”
“Kalau begitu kamu tetap musti istirahat, jangan terlalu lelah.”
Genta mencium kening Raya. Ciuman kasih sayang yang menyenangkan. Sayang, kamu yakin kita nggak perlu ke dokter? Raya memandangi wajah Genta yang tampan. Baru sekali ini ia memandang Genta begitu dekat. Memerhatikan tepatnya. Raya menghela nafas dan ia mendapati mata Genta menyorot dengan amat lembut bahkan berkesan baik hati.
Perasaaan ini sangat aneh.
Raya tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya bersama Genta. Tapi ia sekarang merasa amat nyaman. Merasa terlindungi.
“Nah bagaimana? Mau istirahat atau kita ke dokter?”
“Istirahat.”
“Aku tau kamu gadis penurut,” Genta tersenyum kecil.
“Kenapa kamu baik sekali?” tanya Raya tiba-tiba.
“Karena aku mencintai kamu.”
“Terimakasih sudah mencintai aku,” gumam Raya, “Bagaimana aku membalas kebaikan kamu?”
“Dengan belajar mencintai aku, sayang,” ujar Genta lembut lalu mencium tangan Raya.
Raya memegang pipi Genta dengan hati-hati. Menyentuhnya dan tersenyum, “Aku nggak bisa mencintai dua orang sekaligus pada saat yang sama.”
“Kamu hanya perlu mencintai keduanya dengan cara yang berbeda,” kata Genta sambil tersenyum.
“Entahlah.”

TBC

Haiii... terimakasih untuk doa dan perhatian kalian pada saya. Itu sangat berarti. Mengetahui begitu banyak kepedulian dan pengertian yang kalian berikan untuk saya dan keluarga.

Sekali lagi terimakasih.

A Homing BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang