Part 47

8.2K 1.1K 72
                                    

Bagaimana jika Genta telah pergi? Bagaimana jika Genta sudah meninggalkan rumah mereka? Bagaimana jika Genta sudah tidak menginginkan ia dan Tara lagi? Bagaimana jika ia harus kehilangan Genta? Seperti yang dikatakan Dina, ia memang bodoh sekali. Teramat sangat bodoh. Ketakutan menjalari hati Raya, tapi pada saat yang sama ia lega karena akhirnya ia setidaknya kini ia berani untuk mengakui perasaannya pada Genta.
Perlahan-lahan Raya melangkah menuju rumahnya, membuka pintunya dan menyadari kegelapan menyelimuti rumah itu. Raya menghidupkan lampu dan menutup pintu lalu entah darimana keyakinan itu, ia menuju kamarnya. Dan di sanalah ia menemukan Genta. Genta duduk tertunduk di tempat tidur seperti patung. Patung yang muram. Terluka.
Genta tahu tak ada gunanya berusaha terus-terusan bermimpi bahwa pada akhirnya ia akan bisa mengubah pernikahannya dengan Raya ke arah yang lebih romantis dari sekedar persahabatan. Dalam banyak hal, Fatta benar. Raya menikahinya bukan karena mencintainya tapi karena ia tidak punya pilihan lain saat itu. Dan Raya tidak pernah berniat mengubah perasaannya menjadi mencintai Genta. Semua ini kekeliruan.
Mengapa ia sampai berani berpikir untuk dapat mengubah situasi ini? Mengapa ia begitu yakin akhirnya nanti akan sampai pada suatu titik dimana ia dan Raya akan menjadi pasangan dalam artian sesungguhnya? Selamanya. Genta bertanya-tanya di dalam hati, apakah hidupnya akan lebih baik jika Raya mencintainya? Genta menggeleng keras-keras. Tidak akan pernah lebih baik. Rayalah yang terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya. Dan ia memberikan segalanya pada Raya. Bahkan hidupnya. Genta hanya dapat berharap bahwa Raya menyadari bahwa hanya Gentalah yang paling mengerti tentang Raya. Betapa besar perasaan cinta Genta padanya. Gentalah orang yang akan selalu memuja dan mencintai Raya. Tapi mengapa Raya meninggalkannya, melupakannya. Genta ingin sekali Raya menyadarinya. Menyadari kehadirannya dalam hidup Raya dan Tara. Hanya itu.
Genta mengangkat kepala ketika mendengar Raya masuk. Tatapannya penuh tanda tanya. Raya menatap Genta dengan mata berkaca-kaca. Tangan Raya terkepal. Kuku-kukunya terasa sakit menghujam telapak tangannya.
“Mas Fatta sudah pergi. Dulu aku mencintainya dan cinta itu membuahkan seorang anak. Tara. Aku selalu bersyukur dengan kehadiran Tara. Aku nggak akan pernah mengingkari kalau Mas Fatta lah ayah kandung Tara. Tapi aku juga tidak akan pernah mengingkari kalau aku sekarang mencintai kamu.”
Genta menggelengkan kepalanya dan tertawa pahit, “Kamu becanda kan?”
Raya balas menggeleng kuat-kuat, “Nggak.”
Tak mampu memercayai apa yang di dengarnya lebih dari sebuah lelucon Genta menatap Raya dengan senyum malas, “Sudahlah Raya, jangan terus-terusan mempermainkan perasaanku. Aku sudah terlalu capek terombang ambing. Aku ini ibarat kapal bocor yang nyaris karam, nggak perlu kamu membakarnya lagi untuk memastikan aku tenggelam ke dasar laut. Sudah pasti aku akan tinggal riwayat tidak lama lagi, tanpa perlu kamu bersusah payah.”
Raya memegangi kepalanya dengan rupa frustasi, “Aku nggak mempermainkan kamu, Ta. Aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Sudahlah Raya, kumohon. Jangan menyakiti aku terus. Jangan memberi harapan yang nggak pernah ada. Bahkan pernikahan kita pun seolah-olah hanya sandiwara.”
Pernikahan sandiwara? Kenapa ia sampai hati mengatakan hal itu? Setelah aku mulai menyayanginya, hanya itu yang dapat dipikirkan Raya. Tiba-tiba Raya merasa terjatuh demikian keras dan hatinya nyeri sekali.
Raya hampir tidak bisa menahan diri untuk memukul Genta seperti yang beberapa minggu lalu dilakukannya pada Fatta. Pernikahan sandiwara? Alangkah menyedihkannya.
“Dulu aku sangat berharap kamu akan mengatakan hal itu padaku Raya, tapi aku tau itu mimpi. Dan aku mulai berhenti berharap beberapa jam ini. Jangan membuat aku berharap pada sesuatu yang nggak pernah ada,” Genta bangkit dari duduknya dan berjalan mundur ke belakang sambil mengacungkan tangannya dengan sikap menyerah kepada Raya, “Kuakui aku nggak akan pernah bisa berhenti mencintai kamu, tapi aku ingin membuat hidupku lebih mudah dengan menerima kenyataan dan tidak terus-terusan bermimpi.”
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Raya dengan rupa tak percaya, “Kenapa kamu berubah demikian cepat? Kemana Genta yang dulu, yang begitu penuh kepercayaan diri dan menyenangkan? Kenapa kamu mengubur dirimu terlalu dalam?” Raya menyadari tiba-tiba air mata menggenangi pelupuk matanya.
“Mungkin inilah yang harus aku lakukan dari dulu.”
Raya bergerak-gerak gelisah di tempat berdirinya. Ia merasa begitu kecewa dengan kenyataan bahwa Genta tidak menginginkannya lagi.
“Aku nggak percaya kamu menginginkan hal ini,” ujar Raya dengan pandangan hampa.
“Nggak semua orang harus mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku sudah berusaha keras selama ini dan aku baru sadar betapa pun kerasnya usaha aku, nggak akan pernah berhasil. Kamu itu tidak terjangkau, Raya.”
“Apa kamu ingin kita pisah?” tanya Raya muram.
“Itukah yang kamu inginkan, Ra?”
Raya menggeleng.
“Lalu?”
“Entahlah,” Raya kembali menggeleng, “Aku rasa aku nggak tahu lagi apa yang aku inginkan. Tadi aku begitu yakin tentang kita. Aku mulai sadar aku perlahan mencintai kamu. Tapi kenyataannya beda. Kamu nggak menginginkan aku lagi. Aku nggak bisa memaksa orang untuk hidup bersamaku, jika ia nggak mau lagi.”
“Kamu tau benar kalau aku menginginkan kamu dan Tara lebih dari apa pun di dunia ini.”
“Lalu kenapa?” tanya Raya sembari memiringkan kepalanya, mengamati Genta lebih dalam.
“Kamu pergi menemui dia kan? Membawa Tara. Apa kamu pikir itu nggak menyakiti aku? Itu memberi penjelasan akan pilihan kamu bukan? Aku memang mencintai kamu setengah mati hingga menulikan semua indra perasaku, tapi aku tidak bodoh, Raya.”
“Dia kembali ke Singapore.”
“Aku tau,” Genta mengangguk.
“Jangan salah paham Ta, aku menemuinya hanya untuk membawa Tara menemuinya. Bagaimanapun dia ayah kandung Tara.”
“Lalu? Setelahnya apa? Menyelesaikan semua urusan kita dan menyusulnya?”
Raya menggeleng dan menggapai ke depan dan menyadari tangannya menggantung di udara kosong, “Harus berapa kali aku bilang, kalau aku mencintai kamu dan itu artinya aku nggak akan bersama dia lagi. Hidupku disini. Bersama kamu, jika kamu masih menginginkannya.”
“Lalu Fatta? Kamu mencintainya kan?”
Raya menggeleng, “Dulu, Genta. Sekarang hanya menyayanginya.”
Genta memegang lehernya seolah-olah ingin mencekik diri sendiri dan Genta tertawa, “Benar bukan, kamu pun mengakuinya.”
“Berbeda, Genta. Mencintai dan menyayangi itu cara yang berbeda.”
“Apanya yang beda? Kamu hanya bisa mencintai satu orang dalam hidup,” sahut Genta cepat, “Kamu sendiri yang bilang. Lalu apa bedanya mencintai dan menyayangi?”
“Aku mencintaimu sebagai laki-laki. Suamiku. Sedangkan dia dengan perasaan seorang saudara. Itu yang aku coba lakukan. Kumohon, Genta.”
Genta memandangi Raya yang sudah hampir menangis dan ia tersentuh melihat emosi di wajah Raya. Raya mengusap airmata yang  jatuh di pipinya dan tiba-tiba di landa rasa takut usahanya akan sia-sia.
“Kamu yakin?” tanya Genta yang berdiri terpana, memandang Raya seolah-olah istrinya salah bicara.
“Amat yakin.”
“Seberapa yakin?”
“Amat sangat yakin, Genta. Kumohon, percayalah.”
“Aku ingin percaya tapi aku takut, Ra. Lebih dari sekedar kata-kata untuk menciptakan pernikahan yang baik.”
“Pernikahan yang baik dilandasi kejujuran dan kepercayaan. Aku sudah jujur malam ini, jadi kenapa nggak berusaha mempercayaiku.”
Genta menatap Raya, “Aku nggak tau…”
“Kumohon, aku mencintaimu. Aku dan Tara membutuhkanmu.”
Genta menatap Raya yang berdiri dengan wajah putus asa dan jelas rasa frustasi menyelimutinya.
“Aku juga mencintai kamu dan Tara. Aku juga membutuhkan kalian berdua. Sangat, Raya. Kehadiran kalian ibarat oksigen bagi hidupku.”
“Lalu kenapa nggak membuatnya jadi lebih mudah untuk kita berdua?” tanya Raya.
“Lalu Fatta?”
“Bagaimana pun Mas Fatta, ayah kandung Tara. Kita tidak bisa mengubah dan memungkiri hal itu.”
Genta percaya pada Raya. Dari dahulu ia tahu Raya bukanlah pembohong yang baik. Dan ia dapat melihat kejujuran terpancar di wajah putus asa Raya saat ini. Mengapa ia melawan apa yang sangat diinginkannya dalam hidup selama ini? Mengapa ia berusaha menyangkalnya? Kebahagaiaan tiba-tiba menggelayut di hati Genta.
“Aku nggak pernah berencana untuk jatuh cinta lagi ketika Mas Fatta mencampakkan aku. Lalu kamu menyelinap ke dalam hidupku lalu hatiku, Ta. Menyelinap dan menghuni di kedalamannya, hingga memikirkan kamu akan meninggalkan aku dan Tara sendiri di sini terasa begitu menyakitkan. Sakit rasanya membayangkan kamu berhenti mencintai kami.”
“Nggak sayang, nggak akan pernah terjadi, aku janji. Jika dulu aku bisa menikah hanya demi hubungan nyaman tanpa komitmen apa-apa, kenapa sekarang aku menolak kenyataan bahwa kamu mencintai aku. Ini mimpiku, Raya. Aku ingin kita melupakan semua kekeliruan ini. Selamanya.”
Genta menyeberangi ruangan dan mendapati Raya telah memeluknya dan menangis tersedu-sedu lalu menyembunyikan wajahnya di dada Genta, “Kenapa aku bodoh sekali selama ini, kenapa aku begitu buta?”
Genta menggeleng, lalu menjauhkan Raya untuk menatap matanya, “Kamu nggak bodoh. Kamu hanya perlu berpikir dengan bijak demi masa depan. Itu saja.”
“Kamu baik banget, sangat baik,” Raya tersenyum manis dalam tangisnya.
Genta memandangi Raya. Inilah dia wanita impiannya, belahan jiwanya. Istrinya yang memandangi dengan senyum dan tangis. Bibir mungilnya di ulas senyum manis dan mata bening itu berlinangan air mata. Serta merta Genta memegang wajah istrinya dan untuk pertamakalinya ia menyentuh bibir itu, pulanglah dan jangan pergi lagi, merpatiku.

TBC

A Homing BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang