Part 29

5K 942 45
                                    

Dan sekarang setelah ia berada di kamarnya, Genta menjatuhkan diri di tempat tidurnya sambil menggertakkan gigi kuat-kuat dan mendesah. Ya.. Tuhan Raya, kenapa kamu kembali? Genta tahu hal ini akan terjadi. Dia akan selalu mencintai Raya walau pun gadis itu mencintai orang lain dan tidak menganggapnya istimewa. Berbulan-bulan ini ia sudah berusaha menjauhkan diri dari Raya, bahkan ia telah berusaha menggantikannya dengan gadis lain. Tapi Genta tidak bisa. Memikirkan Raya saja sudah membuat jantungnya berdebar-debar, perutnya kram dan mulutnya mengering. Sungguh memalukan.

Selama ini Genta benar-benar mengira ia telah mampu melupakan Raya. Ternyata tidak. Ia salah. Ia masih menginginkan Raya seperti dulu, tak peduli ada bayi di perut Raya. Ia bahkan merasa lega Fatta ternyata cukup idiot meninggalkan Raya sendirian. Bagaimana pun juga inilah kesempatannya untuk memiliki Raya dan ia harus mengambilnya. Genta sendiri tidak tahu mengapa ia begitu cepat memilih keputusan ini bahkan tanpa berpikir panjang, tapi hatinya tidak mau bergeming dari tempatnya. Dia akan menikahi Raya dan menjadi  ayah bayi itu. Dan langkah pertama yang kemudian dilakukan Genta adalah pergi ke rumah Marsya dan memutuskan hubungan mereka. Marsya seolah terbang dari ujung anak tangga rumahnya begitu mengetahui Genta datang berkunjung.

"Sayang..!! Seneng banget ngeliat kamu pulang!"

Dalam sekejap Marsya sudah bertengger di lengan kursi yang diduduki Genta, lengannya dengan manja memeluk Genta.

"Aku memotong rambutku, lihat bagus kan?"

Marsya memamerkan rambut barunya pada pacarnya dan Genta baru menyadari betapa pendeknya potongan rambut gadis itu. Aku suka gadis berambut panjang, hitam, lembut dan lurus. Seperti rambut Raya. Tapi bagaimana bentuk potongan rambut Marsya saat ini, kelihatannya sudah tidak penting lagi.

"Ada apa? Kamu nggak suka?" tanya Marsya sambil merengut, ketika ia menyadari Genta bahkan tak tertarik melihat potongan rambut barunya.

Genta mencoba tertawa, "Aku nggak tau. Itu rambutmu, terserah mau kamu apakan."
"Ih… kok gitu sih?" Marsya merajuk manja dan mencubit Genta.

"Sya, aku ingin bicara tentang kita,"  ujar Genta pelan.

Marsya menatap Genta dan tiba-tiba entah mengapa perasaanya menjadi tidak enak.

"Aku ingin menyudahi hubungan kita."

"Apa?" Marsya seketika berdiri dan dia merasa pijakannya seakan runtuh, "Apa?" ulangnya lagi dengan muka pucat.

"Berpisah? Oh Tuhan!" Marsya melotot dan menatap Genta. Saat itulah ia menyadari kalau Genta kelihatan sama sekali tidak main-main. Genta bahkan tidak memegang tangannya. Dia hanya duduk di kursinya sambil memandangi Marsya seperti orang asing. Seakan-akan tiga bulan yang mereka lalui bukan apa-apa. Tidak berarti apa-apa.

"Ini karena cewek bernama Raya itu kan?" tanyanya dingin.

Genta mengangguk.

"Kenapa?" tanya Marsya.

"Aku nggak bisa melupakan dia. Aku mencintainya."

"Tapi dia mencintai orang lain."

Genta mengangkat bahunya, "Aku tau, Sya. Tapi bagaimana pun aku berusaha untuk mengenyahkannya dari pikiranku, tetap saja aku nggak bisa. Aku mencintainya. Maafkan aku. Aku sudah berusaha untuk melupakan dia dan belajar mencintai kamu. Tapi aku nggak bisa. Aku terlalu mencintainya."

"Kenapa kamu mencintainya dan mencampakkan aku?" tuntut Marsya.

"Aku cuma tau aku mencintainya."

"Atas dasar hak apa dia mengambilmu dariku?"

Itu pertanyaan yang sulit di jawab. Raya tidak mengambil apa pun. Karena Genta bahkan belum melihatnya selama beberapa bulan ini. Dan belum tentu juga Raya akan menerimanya.

"Ini jelas bukan masalah hak, Sya. Ini masalah perasaan."

"Kalau begitu, kenapa menjaga perasaanku tidak penting? Dan coba jelaskan padaku sekarang, apa kamu sudah pacaran dengan dia? Apa kamu menduakan aku? Siapa sekarang pacar kamu? Dia atau aku?"

"Dia gadis yang aku cintai."

"Apa kamu menduakan aku?" tanya Marsya lagi.

"Aku tidak pernah menduakan kamu. Aku memilih untuk bersama Raya, karena itu aku ingin mengakhiri hubungan kita. Ini tidak adil untuk kamu jika aku menduakanmu. Aku tau aku bersalah padamu, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, Marsya. Kumohon mengertilah."

"Jadi kamu anggap apa aku selama ini?" jerit Marsya, "Pelarian? Pengusir rasa sepi?"

"Marsya…" Genta berdiri mendekati Marsya, tapi gadis itu melangkah mundur.

"Malang banget, ya. Tragis. Seingat aku dulu dia menolak kamu. Membuang kamu dan akulah yang bersama kamu waktu itu. Apa kamu lupa? Aku bahkan nggak pernah keberatan kamu salah menyebut namaku dengan namanya, aku nggak keberatan kamu masih menyimpan fotonya di ponsel kamu. Aku nggak keberatan kamu masih nanyain dia ke Dina. Itu nggak pernah jadi masalah selama tiga bulan ini. Dan sekarang dengan mudahnya kamu bilang ingin berpisah? Dia bahkan belum menerima kamu kan?" Marsya memandang Genta tajam, "Ya kan?"

"Ya, benar. Tapi apa bedanya, Sya?"

"Banyak brengsek! Aku nggak ingin cewek itu berada di dekat kamu. Sedetik pun tidak!" air mata Marsya keluar, "Aku nggak rela! Kamu itu cuma milik aku!"

"Marsya, tolong… aku nggak bisa. Aku tidak mencintai kamu. Tolong mengertilah, ini untuk kebaikan kita semua."

"Jadilah cowok dewasa, ya Tuhan! Sadarlah Genta, dia nggak menganggap kamu apa-apa. Dia nggak mencintai kamu. Aku yang mencintai kamu, sadar dan mengertilah."

"Mungkin dia tidak menginginkan aku sekarang, tapi aku  akan berusaha semampuku untuk mendapatkannya."

"Oh begitu ya? Seenggaknya sekarang aku mengerti, aku ini cuma berfungsi sebagai pengisi sementara, sewaktu kamu kesepian. Dasar cowok brengsek!" dengan kesal Marsya memukul dada Genta kuat-kuat, "Aku beritahu ya, kenapa gadis seperti Raya nggak menginginkan kamu? Nggak menganggap kamu istimewa. Karena kamu menghendaki dia berbuat begitu pada kamu. Kamu nggak tau harus berbuat apa, karena kamu bodoh. Akulah cewek yang bisa memperlakukanmu dengan baik. Menjaga kamu, merawat kamu, mencintai kamu. Tapi lihat apa yang kamu lakukan?" Marsya menatap Genta dengan pandangan terluka, "Suatu saat kamu akan mendapat balasannya Genta dan aku akan menantikan saat-saat itu."

"Marsya.. aku nggak bisa memungkiri apa yang kita lalui sangat indah. Menyenangkan. Tapi aku nggak bisa melanjutkannya dan membohongi diriku sendiri."

"Kamu memanfaatkan aku!" jerit gadis itu frustasi.

"Marsya, maafkan aku."

Tangan Marsya terkibas ke udara, "Pergilah ke neraka, Brengsek!" teriaknya.

Dan begitulah, usai sudah tiga bulan kebersamaannya bersama Marsya si model video klip. Genta tidak tahu apa yang dilakukannya ini benar atau salah. Raya hamil, sendirian dan ketakutan. Dan ia membutuhkan perlindungan laki-laki. Membutuhkan seseorang untuk menjaga dan mencintainya seperti Genta telah mencintainya selama ini.

Dasar tolol, hardiknya pada diri sendiri. Gadis itu tidak mencintai kamu, Genta. Dia hanya gadis cantik dengan rambut panjang. Bila masih nekat untuk mendapatkannya, maka kamu akan segera ke neraka seperti kata Marsya.

Tapi hati Genta membatu. Dia tidak bisa berlari lagi dari Raya. Dia akan mendapatkan gadis itu apa pun resiko yang harus ditanggungnya. Genta telah terlalu sering memikirkan Raya, hingga memimpikannya pun terasa amat nyata. Aku harus bergerak cepat, pikirnya. Aku harus menemuinya dan memintanya untuk menikahiku. 

Tbc

A Homing BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang