Part 39

5.2K 949 52
                                    

Maafff.... lg banyak urusan jd ketunda beberapa minggu. Nih... silahkan dibaca. Selamat hari senin ya!!

*****

“Anakku laki-laki!”
Genta mengumumkannya dengan bangga ketika dia keluar ruang persalinan dan menemui orang tua dan sahabat-sahabatnya.
“Papa bilang juga apa!” sahut Pak Anindya dengan puas.
“Lima puluh tiga sentimeter, tiga koma enam kilo dan dia sangat pemarah!” Genta tertawa bahagia, lalu memeluk ibunya, “Dia cakep banget, Ma!! Tidak sia-sia aku membiarkan Raya mencakar dan menggigit lenganku hingga nyaris putus rasanya.”
Raya kelihatan sangat cantik di atas ranjang dengan bayi tampan yang tidur dengan nyenyak setelah puas menyusu. Genta tersenyum dan memegang tangan bayi mungil yang membuatnya hampir gila selama sebelas jam ini.
“Ta.. terimakasih sudah menjagaku,” airmata Raya mengalir perlahan.
Genta mengalihkan tatapannya dari bayi merah jambu bundar yang telah menghiptonisnya sejak ia masuk ke ruangan itu ke wajah Raya yang terlihat lelah.
“Aku yang seharusnya berterimakasih,” ujar Genta sambil menghapus airmata Raya dengan tissue, “Terimakasih untuk kebahagiaan ini.”
Genta membawa Raya dan bayinya pulang tiga hari kemudian. Orang tua Genta bahkan menginap di rumah mereka. Dina berteriak dengan ributnya ketika datang, begitu melihat bayi Raya yang menggemaskan.
“Siapa namanya?” tanya Dina sambil tersenyum senang.
“Tara. Gentara Nandana Dewa. Gentara itu berasal dari Genta dan Raya. Nandana artinya anak laki-laki. Dewa itu nama belakang kakeknya. Anak laki-laki Genta dan Raya yang berasal dari keluarga Dewa. Nama yang bagus kan? Gue yang ngasih nama lho, Din,” kata Genta bangga sambil menimang Tara.
Raya tersenyum sedih dari kursinya. Tara. Genta dan Raya, atau mungkin Fatta dan Raya. Dina menatap Raya prihatin dan bisa menebak jalan pikiran sahabatnya itu.
“Sini dong… biar gue yang timang, Ta,” ujar Dina tiba-tiba sambil mengangsurkan tangannya.
“Nggak!” Genta menggeleng tegas, “Nanti lo malahan ngejatuhin anak gue lagi.”
Dina mendelik marah, “Gue nggak mungkin ngejatuhin Tara! Sini.”
“Ta… biar deh Dina pegang sebentar. Dari pagi kan kamu nggak lepas-lepas dari Tara,” ujar Raya lembut.
Genta cemberut lalu menyerahkan bayinya pada Dina. Dina menggendong Tara dengan wajah gembira.
“Oohh… Oohh… Tara sayang, siapa ini yang gendong? Onti…  Onti Dina. Onti Dina yang cantik.”

*****

Hari-hari yang bergairah dilalui Raya dan Genta. Rumah mereka yang sepi tiba-tiba terasa sangat ramai dengan teriakan dan tangisan Tara. Mereka hidup dengan dunia kecil mereka, dalam rumah unik cantik yang menenangkan. Siapa saja yang melihat mereka bertiga pasti akan merasakan kebahagiaan yang akan menimbulkan perasaan iri itu. Sebenarnya sumber kebahagiaan itu adalah Tara. Bayi mungil tampan yang dengan mudahnya membuat semua orang jatuh cinta. Jelas satu pesona yang diwarisinya dari Raya.
Semua orang rajin mengunjungi Tara, termasuk Dina. Siang minggu yang cerah itu Dina datang berkunjung, setelah puas bercengkerama dengan Tara, Dina menatap Genta dengan wajah serius, “Ta, gue rasa istri lo perlu jalan-jalan.”
“Jalan-jalan?” tanya Genta dengan rupa heran.
“Sejak melahirkan Tara, Raya terkurung di rumah ini.”
“Gue nggak pernah mengurung Raya,” sahut Genta cepat.
Dina ketawa, “Maksud gue, sudah saatnya Raya keluar sebentar. Pergi belanja dengan gue, minum es krim dan bersenang-senang sementara lo jagain Tara.”
“Aduh… jangan, Din,” sahut Raya khawatir, “Gue nggak berani ninggalin Tara berdua aja dengan Genta.”
“Itu salah satu penyakit ibu-ibu Asia. Terlalu over protektif dengan anak mereka, termasuk tidak mempercayai pengawasan bayi kepada ayahnya,” ujar Dina dengan wajah jengkel, “Gue yakin Genta bisa kok ngejagain Tara. Tara kan sudah kenyang, tinggal di ajak main dengan ayahnya trus tidur. Kalau dia haus, lo kan punya stok asi di kulkas. Sementara lo keluar belanja. Belilah sesuatu yang cantik. Baju-baju lo sudah kekecilan semua. Lo juga butuh sepatu baru dan sebagainya. Lo kan musti balik masuk kantor sebentar lagi. Nggak mungkin kan pake barang-barang lama. Ayo dong Ra, gue kangen nih belanja bareng lo,” rayu Dina.
“Mmm.. tapi..”
“Dina bener,” sahut Genta sambil menggendong Tara, “Kami berdua bakalan baik-baik saja. Pergilah bersenang-senang sebentar, Raya.”
“Tapi…”
“Aku bisa ngurusib Tara kok. Lagian kadang-kadang laki-laki lebih suka bersama kaumnya saja dan nggak mau di ganggu perempuan, walau pun perempuannya secantik kamu,” ujar Genta setengah menggoda.
“Baiklah,” Raya tersenyum senang lalu menatap Dina, “Gue ganti baju dulu, ya?”
Raya turun tidak lama kemudian, dengan wajah riang yang dipoles make up tipis. Terlihat cantik dan segar. Tubuhnya memang belum seramping dulu, tapi dengan tubuh penuh begitu Raya terlihat seksi.
Raya mencium Tara dengan lembut, “Jangan nakal dan menyusahkan Ayah ya, Tara. Bunda pergi sebentar untuk membelikan hadiah yang cantik untuk kamu.”
“Jangan memikirkan Tara, Oma dan Opanya sudah begitu banyak menghujaninya dengan hadiah. Yang perlu barang-barang itu kamu, Raya,” omel Dina sambil mendorong Raya keluar rumah.
Ternyata setelah sekian lama tidak melakukannya, berbelanja adalah kegiatan yang menyenangkan untuk dilakukan. Apalagi jika dilakukan dengan Dina yang memang Ratu Belanja. Beberapa jam dihabiskan kedua sahabat karib itu dengan mengunjungi butik-butik dan pusat perbelanjaan. Akhirnya setelah masing-masing memegangi kantung-kantung belanjaan, Raya dan Dina pulang ke rumah.
Raya menemukan mereka berdua di kamarnya. Keduanya tertidur lelap di ranjang besar itu. Tara bergelung di lekukan lengan Genta, sementara lengannya yang satu lagi memeluk tubuh bayi mungil itu. Raya menyeberangi ruangan dan tersenyum melihat pemandangan yang indah itu. Kedua laki-laki itu seolah-olah telah menjadi satu bagian tak terpisahkan. Seakan Tara adalah bagian dari kehidupan Genta sejak dia masih berada di rahim Raya. Tapi memang begitu kan? Genta telah melindungi mereka berdua sejak Fatta meninggalkanya.
Raya menunduk, menyentuh pipi Tara lalu perlahan-lahan tangannya membelai rambut Genta dengan lembut. Memandangi wajah Genta yang tenang dalam tidurnya. Kenapa aku belum bisa mencintai kamu sedikit saja, Ta? Kamu sangat baik dan juga mencintai Tara. Lalu apa yang kurang. Apa lagi yang aku tunggu?
Dua bulir air mata merayap di pipi Raya dan jatuh di dahi Genta. Genta membuka matanya, ia kelihatan lelah dan mengantuk.
“Maaf... aku…”
Genta diam saja, mengerjap-ngerjapkan matanya lalu membelai pipi Raya, “Kamu menangis, sayang,” gumamnya pelan setengah menuduh.
“Aku ngebangunin kamu, ya?”  Raya tertawa kecil.
“Aku nggak suka kamu nangis, Ra. Kamu kan tau aku nggak pernah ingin kamu sedih,” ujar Genta lalu menarik kepala Raya ke arahnya dan mencium dahi istrinya dengan lembut.
Rambut Raya yang panjang jatuh di wajah Tara, membuat si bayi mengggeliat bangun dan mulai merengek. Raya menjauhkan wajahnya dengan malu, “Kelihatannya dia tau aku sudah pulang.”
“Mungkin dia lapar,” ujar Genta sambil melirik pada Tara yang mulai menangis.
Raya mengambil Tara dan duduk di tepi ranjang, membuka dua kancing bajunya dan menyusui Tara.
“Bagaimana tadi jalan-jalannya?” tanya Genta sambil menatap Raya dengan kagum. Melihat Raya dengan Tara di pelukannya dan menyusui adalah pemandangan yang sangat indah. Genta merasa bersyukur memiliki mereka berdua.
“Dina belanja banyak banget.”
“Kamu belanja apa?”
Raya tersenyum malu, “Pakaian, sepatu, tas. Untung ada Dina, kalau enggak pasti aku kebingungan. Lagian aku nggak konsentrasi belanja, aku khawatirin kamu dan Tara.”
Genta tertawa lalu meletakkan kedua telapak tangannya di belakang kepala dan berbaring dengan nyaman, “Jangan khawatir Bunda tersayang, aku Ayah yang baik lho.”
Raya tersenyum, “Aku tau, tapi aku benar-benar nggak bisa pergi lama-lama. Pikiranku pasti ke rumah terus. Kalian ngapain aja tadi?”
“Kami jalan-jalan di taman, ngasih makan ikan dan ngegodain anak-anak gadis tetangga.”
Raya tertawa, “Aduh… takutnya membayangkan Tara kecil-kecil sudah doyan cewek seperti kamu.”
Genta tersenyum malu, “Itu kan dulu, sekarang aku semanis kucing rumah.”
“Kucing rumah dengan istri yang gemuk,” sahut Raya.
“Nggak gemuk, sayang,” ujar Genta cepat, “Aku malah suka bentuk tubuh kamu yang penuh kayak ini. Dulu kamu terlalu kurus.”
“Seenggaknya harus turun lima kilo lagi.”
“Sekarang berapa?” tanya Genta heran, menurut pendapatnya Raya tidak gemuk.
“Enam puluh kilogram.”
“Raya itu sudah pas.”
“Lima puluh kilogram baru pas. Dulu beratku bahkan empat puluh tujuh kilogram.”
“Kurasa memang setiap perempuan selalu merasa kesulitan dengan berat badannya, apalagi setelah melahirkan,” ujar Genta sambi tersenyum kecil.
“Kamu ingin makan malam apa?” tanya Raya.
“Kamu kan capek, aku saja yang masak sementara kamu menyusui Tara,” kata Genta sambil bangkit berdiri.
“Ta…”
“Sudah deh, sekali-sekali makan masakan buatanku,” Genta mencondongkan tubuhnya lalu mengelus kepala Tara dan cepat-cepat keluar kamar.
Raya memejamkan matanya lalu ketika ia membuka matanya Tara tengah menatapnya dengan matanya yang bening dan besar. Mata yang jelas diwarisinya dari Fatta, “Kita beruntung banget Tara, Ayah begitu baik ya?”
Seolah-olah mengerti ucapan Raya, Tara mengedip-ngedipkan matanya.

*****

Orang tua Genta amat rajin menjenguk Tara, lengkap dengan hadiah-hadiah lucu sebagai pelampiasan akan kegembiraan yang tak tertahankan atas kehadiran cucu laki-laki mereka. Ada saja yang di bawa, mainan, pakaian, perlengkapan bayi sampai makanan, bahkan cream penghancur lemak di perut bagi ibu-ibu yang baru melahirkan untuk Raya. Mereka juga mencarikan pengasuh bayi untuk membantu Raya merawat Tara.
“Untuk apa pengasuh bayi, Ma?” tanya Raya heran.
“Tentu saja untuk membantumu merawat, Tara,” jawab Bu Anindya sambil menimang cucunya.
“Aku belum merasa kerepotan kok, Ma.”
“Sekarang memang belum,” sahut Bu Anindya sambil memandang Raya, “Tapi nanti setelah kamu kembali bekerja, kita akan membutuhkan tenaga perawat. Dan saat itu, tentu kita nggak ingin Tara tiba-tiba merasa kaget kehilangan kamu dan bertemu dengan orang yang baru dikenalnya. Anak-anak selalu butuh pengasuh. Tapi tetap saja, kalau kamu kerja Tara di titip di rumah Mama, ya?”
“Iya, Ma,” Raya tersenyum, “Aku tau dari siapa pun di dunia ini, Mamalah yang terbaik untuk menjaga Tara. Aku hanya nggak enak, kalau nantinya Mama merasa kerepotan.”
“Repot? Omong kosong! Tara tidak pernah merepotkanku. Tara sangat manis, lucu dan selalu ngangenin. Ya Tara, ya?” Bu Anindya mencium hidung Tara dengan sayang, “Tara nanti akan jadi anak Oma, ya sayang? Aduh… Opa bakalan lebih betah di rumah daripada di kantor deh. Kalau sudah begini Oma yang untung.”
“Ngomong-ngomong Papa kemana, Ma?” tanya Raya pada ibu mertuanya.
“Menjemput kuda-kudaan untuk Tara. Dari kayu lho, Ra. Bagus banget.”
“Aahh… Gak perlu repot-repot gitu kok, Ma,” ujar Raya tak enak hati, “Lagian masih lama Tara baru bisa naik kuda-kudaannya.”
“Repot gimana? Cucu cuma satu ini, mana bisa dibuat repot,” tampik Bu Anindya lalu mengerling pada cucunya, “Oma rasa Opa manjain Tara banget ya, sayang?”
Tara tersenyum dalam dekapan Bu Anindya, “Ra… Tara tumbuh cepat sekali, ya?”
Seolah-olah mengerti ucapan sang nenek, Tara mengeluarkan suara lucu yang langsung membuat Bu Anindya senang, “Tara tau diomongin, ya?”
Dan Tara menanggapinya dengan mengeluarkan suara lucu lagi dengan mimik menggelikan.
“Tara bilang apa, sayang? Oohh… Omanya cantik ya, Omanya wangi ya? Cucu Oma memang pinter,” Bu Anindya mencium kening Tara dengan sayang, “Di mana Genta, Ra?”
“Di studio, Ma. Album mereka kan bakal keluar sebentar lagi.”
“Sebagian lagu-lagu itu bercerita tentang Tara, ya?”
“Darimana Mama tau?” tanya Raya heran.
“Genta itu amat mudah ditebak dan ia sayang sekali dengan Tara.”
“Mereka akan tur panjang, Ma,” ujar Raya lebih menyerupai keluhan.
“Mama senang mengetahui kamu mulai menyayangi Genta. Yah setidaknya perasaan kehilangan adalah bentuk perasaan sayang yang mulai terbentuk perlahan-lahan. Benar kan, Ra?” tanya Bu Anindya dengan pandangan menyelidik.
“Semoga, Ma,” Raya tersenyum kecil, “Genta baik banget dan perhatian.”
Bu Anindya tersenyum senang, “Itulah Genta.”
“Dia banyak banget membantuku dan juga Tara lebih dari yang seharusnya.”
Bu Anindya memandang menantunya lurus-lurus, “Antara suami istri tidak perlu memperhitungkan hutang budi, Raya.”
Raya menunduk, memilin ujung rambutnya dan tak berani memandang ibu mertuanya.
“Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini, Raya?” tanya Bu Anindya.
“Kurasa iya.”
“Mama senang mengetahuinya. Selama ini Mama banyak memikirkan pernikahan dan masa depan kalian.”
“Aku minta maaf sudah membuat Mama banyak pikiran atau merasa nggak nyaman.”
Bu Anindya mendekati Raya lalu duduk di sebelah menantunya, “Berhentilah bersikap seperti itu, Nak. Kamu sudah melalui waktu-waktu terpahit dalam hidupmu. Dan semua orang butuh waktu untuk melupakan dan menata hidupnya kembali. Dulu mungkin kamu sebatang kara dan tidak punya apa-apa. Tapi sekarang berbeda. Kamu nggak sendiri lagi. Kamu bahkan memiliki semuanya. Ada Genta yang mencintai kamu, ada Tara yang membutuhkan kamu. Juga ada Mama dan Papa yang menyayangi kamu.”
Raya menatap ibu mertuanya, “Terimakasih, Ma.”
“Kamilah yang berterimakasih, Raya. Kebahagiaan yang kamu berikan kepada kami sekarang sangat lengkap dan kita sekarang adalah satu keluarga. Keluarga Anindya Dewa.”

Tbc

A Homing BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang