Part 35

4.9K 892 58
                                    

Akhirnya hari itu datang juga. Hari pernikahan Raya dan Genta. Begitu banyak orang menunggu hari itu. Bahkan wartawan pun telah berkumpul di depan rumah Dina satu minggu sebelum hari itu tiba. Raya mengurung dirinya di dalam kamar selama berhari-hari. Dia hanya pergi untuk melakukan relaksasi di Spa dengan Dina, tentu saja untuk melakukan pijatan dan meditasi agar lebih siap menghadapi perhelatan pernikahannya. Selebihnya yang dilakukan Raya adalah membaca novel, ngobrol di telepon dengan Genta, mendengarkan musik dan banyak makan buah-buahan.
Raya dan Genta menikah di mesjid di komplek perumahan Dina. Sementara resepsi pernikahan dilakukan di sebuah hotel berbintang. Resepsi pernikahan Raya dan Genta bernuansa modern minimalis yang dilakukan semata-mata demi kepraktisan dan sehubungan dengan tenggat waktu yang pendek antara jarak lamaran dan pernikahan. Perhelatan perkawinan bernuansa luar ruang (outdoor) sesuai dengan keinginan Raya. Romantis! Itu yang yang jelas terlihat.
Menggunakan dekorasi berwarna alam dengan mengadopsi suasana taman, menyuguhkan keasrian dan kealamian yang menawan. Terdapat lorong dengan lantai berlapis ubin batu alam yang menghubungkan antara sisi penerima tamu dan ruangan pesta. Di sepanjang sisi dinding lorong terdapat foto-foto Raya dan Genta, seolah-olah menggambarkan perjalanan kisah cinta mereka. Beraneka tanaman ditempatkan untuk memperindah dekorasi ruangan hotel. Terdapat pula replika air terjun yang membentuk tirai air yang terlihat sangat indah berpadu dengan rangkaian bunga dan lilin.
Secara keseluruhan pesta pernikahan itu sempurna. Dan tentu saja Raya kelihatan  sangat cantik dengan gaunnya yang indah. Genta menatapnya dengan perasaan bahagia bercampur bangga. Pengantinku yang cantik. Genta  memandangi Raya dan melihat sesuatu yang lembut dan sedih di mata Raya. Rapuh. Aku akan membahagiakan kamu Ra, aku nggak akan membiarkan kamu menangis lagi.
“Aku janji semuanya akan baik-baik saja Ra, aku mencintai kamu dan  bayi kita,” bisik Genta pada Raya.
Raya mengerjap-ngerjapkan matanya, menahan buliran air mata yang hampir jatuh. Ini pernikahannya dan dia tidak boleh menangis di pesta ini. Sejujurnya, ia sudah ingin menangis sejak kemarin. Sepanjang malam ia tidak tidur. Dia memikirkan Fatta. Merindukannya dan setengah berharap Fatta tiba-tiba datang dan membawanya pergi.
“Gue rasa gue akan melamar Ruben, kalau dia belum juga melamar gue, Ra,” ujar Dina dengan wajah iri sambil memandangi Raya malam itu yang terlihat cantik di antara sekian ratus tamu undangan.
“Ya Din, menikahlah sebelum seseorang membawanya pergi,” gumam Raya muram.
Dina mengangkat alisnya dengan heran, ia baru akan membuka mulutnya ketika Raya berbalik dan melangkah pergi tanpa bicara sepatah kata pun. Raya berjalan cepat di tengah resepsi yang penuh manusia. Dia benar-benar tidak tahan lagi. Dia harus segera keluar dari resepsi penuh kegembiraan yang justru membangkitkan kesedihannya.
Dina menemukan Raya di kamar tidurnya, berdiri diam di tepi jendela memandang cincin pernikahannya dengan wajah aneh.
“Dimana kalian akan berbulan madu?”
Raya membalikkan badannya dan menghadap Dina yang bersandar di pintu kamar yang terbuka.
“Gue nggak tau,” Raya menggelengkan kepalanya dengan muram, lalu duduk di tempat tidur, “Dia mengatakannya, tapi entahlah... gue bahkan nggak bisa mengingatnya, Din. Ya Tuhan!!”
Dina menutup pintu dan menghampiri Raya, “Ra... gue nggak tau kenapa lo masih juga sedih. Harusnya lo bahagia. Ini hari pernikahan lo. Tapi bukannya senyum, tertawa atau paling tidak berusahalah untuk nggak masang tampang muram dan bergabung bersama orang-orang di bawah sana, eh... lo malahan di sini, bengong memandangi cincin kawin. Kalau lo ngeliatnya dengan bahagia sih nggak masalah, ini lo ngeliatnya seolah-olah cincin itu udah mengikat lo kan? Dari Mas Fatta. Ingat Raya, lo nggak pernah bisa balik ke Mas Fatta lagi. Iya kan?”
“Mas Fatta?” ulang Raya, “Gue nggak mikirin Mas Fatta.”
“Lo mikirin Mas Fatta!”
“Enggak!!” Raya menggeleng kuat-kuat, berusaha keras untuk tidak kelihatan malu karena masih memikirkan Fatta.
“Lo pengantin teraneh yang pernah gue lihat. Seharusnya lo ngelamunin suami lo, bukan orang lain, sekali pun orang itu ayah bayi di perut lo,” Dina duduk di samping Raya.
Ini mungkin pernikahan yang aneh. Pernikahan ini hanya untuk mencari kemudahan. Yang jelas kemudahan itu untuk Raya dan bayinya. Bukan untuk Genta. Pernikahan tanpa komitmen, tanpa seks, tanpa menyertakan perasaan dan hanya persahabatan yang hangat. Pernikahan untuk menyelamatkan Raya dan bayinya.
Raya tidak punya perasaan apa-apa pada Genta. Dulu ketika pertama kali bertemu dan sekarang pun begitu, hingga Genta menjadi suaminya. Dia masih ingat senyum hangat Genta setelah mereka resmi menjadi suami istri. Mata hitamnya sangat bercahaya. Cerah dan bersemangat. Memancarkan kebahagiaan seorang pengantin.
“Ra... gue nggak pernah meminta sama lo selama ini. Tapi tolong, jangan kecewakan Genta. Genta mencintai lo. Amat sangat mencintai lo. Dia ayah yang baik buat bayi lo, suami yang sempurna juga. Tolong berusahalah mencintai Genta dan lupakan Mas Fatta. Mas Fatta itu suami orang dan lo sekarang juga istri orang. Buatlah hidup lo dan Genta lebih mudah. Bisa kan, Ra?” ujar Dina lembut sambil memegang tangan Raya, “Jadilah istri yang baik untuk Genta. Lo berhutang seumur hidup pada Genta. Dia bahkan nggak meminta apa pun ke lo. Jadilah perempuan baik yang tahu membalas kebaikannya. Tak akan ada lelaki seperti dia bahkan dalam sepuluh tahun dari sekarang. Tolong, Raya.”
Raya tersenyum dan memegang perutnya, “Dia menyelamatkan muka gue kan, Din? Seharusnya gue bisa membalasnya dengan membahagiakan Genta kan, Din?”
“Yang harus lo lakukan adalah dengan membuat bahagia diri lo sendiri dan itu baru berhasil kalau lo mau nyoba, bukannya terus berkubang dengan masa lalu yang menyedihkan. Lo tau, buat Genta kebahagiaan lo adalah kebahagiaanya,” kata Dina sambil bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar.
Raya meringis menahan tangis dan merasa ucapan Dina menusuk jantungnya. Sambil memegangi perutnya Raya merebahkan diri di tempat tidur dan memejamkan mata. Ia harus belajar menerima kenyataan kalau ia telah menikah. Itulah yang harus dilakukannya, walau pun ia tidak mencintai Genta. Tapi paling tidak ia harus membalas kebaikan Genta dengan menjadi teman hidup yang baik. Berbagi untuk sesuatu yang ia sendiri tidak tahu itu apa. Mereka bahkan memiliki rumah yang indah. Rumah yang langsung membuatnya jatuh hati. Tapi ia bahkan tidak bisa mencintai orang yang memberikan rumah itu padanya. Dan Genta… Bagaimana dengan dia? Sampai kapankah Genta akan mencintainya, akan menunggunya, akan menjaganya?
“Ra…??”
Raya membalikkan badannya. Genta tersenyum kecil, entah sejak kapan ia masuk ke kamar itu.
“Capek?” tanya Genta lalu duduk di tepi tempat tidur.
Raya mengangguk.
“Nggak apa-apa kan kalau aku tiduran, padahal masih banyak orang di bawah sana?”
Genta tertawa, “Aku lebih suka kamu tidur di sini daripada kamu di bawah sana, tapi kamu nggak merasa nyaman di situ. Lagipula resepsi kita juga meniadakan pelaminan kok. Jadi jika kita menyelinap seperti ini, hanya sebagian kecil orang yang akan menyadarinya.”
“Dina tadi nanya kita bulan madu di mana? Aku bahkan nggak ingat, Ta.”
“Kita pergi ke Kampung Sampireun, sayang. Senang? Rasanya aku sudah bilang waktu kita ngeliat rumah.”
“Kampung Sampireun?” tanya Raya bingung, ia terlihat seperti orang linglung.
“Satu hari setelah resepsi kita berangkat. Hadiah dari Papa dan Mama.”
“Apa nggak apa-apa buat bayinya?” tanya Raya.
“Bayi kita baik-baik aja. Dia malahan senang, aku yakin dia suka pegunungan dengan hawa yang sejuk.”
Raya meringis. Bayi kita. Bukan, ini bukan bayi Genta. Ini bayinya dengan Fatta. Raya menggigit bibirnya. Menatap Genta lalu berbalik dengan wajah menekap bantal.
“Kenapa, Ra?” tanya Genta hati-hati.
Raya diam saja. Takut untuk memandang mata Genta yang berbinar. Takut pula dengan perasaannya sendiri. Genta baik sekali padanya. Seharusnya dia gembira, bukannya malahan memikirkan laki-laki lain yang bukan suaminya. Kenapa Genta berani mengambil resiko demi menyelamatkannya? Seharusnya dia bersama gadis yang mencintainya. Gadis. Bukannya perempuan berbadan dua. Perempuan yang mungkin akan mengikatnya seumur hidup. Perempuan yang pasti akan membebaninya Kenapa aku membiarkan dia menikahiku, pikir Raya muram. Aku akan merusak hidupnya. Merusak masa depannya.
“Ra...?” tangan Genta memegang punggung Raya dengan lembut.
Raya membalikkan badannya bangkit dari tidurnya dan duduk sambil menatap Genta, “Kenapa kamu melakukan ini, Ta? Kenapa kita menikah?” tanyanya pada Genta.
“Karena ini yang terbaik, Ra.”
“Terbaik?” tanya Raya tidak mengerti.
“Buat kamu, aku dan bayi kita.”
“Ini bukan bayi kamu.”
“Ini bayiku. Sejak kita menikah, bayi ini milikku. Selamanya bakal begitu.”
“Ini salah, seharusnya kamu menikah dengan gadis yang akan membahagiakan kamu, bukan perempuan yang akan membebanimu.”
“Menikah dengan kamu adalah anugerah terbesar yang Tuhan berikan ke aku. Aku tau, kamu belum mencintai aku. Mungkin kamu masih mencintai Fatta. Tapi itu nggak masalah. Bagi aku sudah cukup jika aku bangun di suatu pagi dan mengetahui aku masih memiliki kamu. Aku nggak menginginkan perempuan lain untuk menjadi istriku. Apa yang aku inginkan sudah aku peroleh hari ini. Dan aku janji Ra, aku akan membahagiakan kamu dan bayi kita.”

TBC

A Homing BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang