Part 34

5.1K 878 30
                                    

Dengan langkah pelan dan jari yang mengait erat di tangan Genta, Raya memasuki butik busana pernikahan itu. Setelah mati-matian membujuk barulah Genta berhasil membawa Raya untuk mengepas gaun pengantinnya tentu saja dengan janji mereka tidak akan melihat batang hidung Toni di tempat itu.
“Oh.. Oh... ini dia calon pengantin tahun ini!”
Seorang perempuan berpenampilan menawan menyeruak dari pintu dan memandangi Raya dengan pandangan mengagumi, “Mamamu benar Genta, pengantin perempuannya cantik sekali. Oh.. Tante senang banget memakaikan pakaian cantik untuk perempuan secantik calon istrimu. Perpaduan yang sempurna.”
“Halo, Tante Liana!” sapa Genta sambil mencium pipi perempuan itu.
Raya memandangi ruangan yang luas dan eksklusif itu dari depan pintu masuk.
“Lho kok bengong sih, masuk yuk, kita lihat gaunnya, Tante juga punya kebaya yang cantik untuk akad nikahnya!”
“Kejutan!!”
Raya tersenyum senang ketika melihat Dina, Tante Diana dan ibunya Genta di dalam butik itu.
“Denger-denger ada yang pingsan nih!” goda Dina sambil tersenyum kecil.
“Kok gak bilang-bilang sih kalo lo mau kesini, kan kita tadi bisa bareng,” rajuk Raya.
“Kalo bilang-bilang namanya bukan kejutan!” omel Dina.
“Raya ingin gaun pernikahan yang bagaimana?” tanya Liana pada Raya.
“Mmm… gaun yang…” gumam Raya ragu-ragu.
“Gaun yang keren, Tante!” sahut Dina.
“Begini saja, ada rancangan baru, lihat dan cobalah!” Liana mendorong Raya dengan lembut, “Genta, kamu di sini aja. Bisa sial kalau melihat calon pengantin perempuan dengan gaunnya sebelum hari pernikahan. Oh nggak!” Liana menggeleng, “Phillip, tolong di coba setelan jas untuk Mas Genta.”
Liana bertepuk tangan dan tiga orang pegawainya datang membawa perlengkapan pernikahan. Sepatu, selop tinggi, kebaya, gaun dan juga pernak-pernik lainnya. Sementara laki-laki bernama Phillip membawa Genta ke ruangan di sebelah ruangan tempat Raya mengepas gaunnya.
Akhirnya Raya menemukan gaun itu. Gaun terusan putih bergaya klasik bertabur payet dengan desain yang memukau, yang pasti akan tampak melekat indah di tubuh Raya yang ramping.
“Selera yang bagus,” gumam Liana sambil mengukur sosok Raya, “Di coba dulu, ya?”
Raya mengambil gaun itu dan pergi bersama Liana ke ruangan bertirai untuk mengepas pakaian. Raya memandangi bayangannya di dalam cermin dan tersenyum sendiri melihat betapa pasnya gaun itu di tubuhnya.
“Cantik kan?” tanya Liana.
“Indah sekali,” gumam Raya.
Dan Raya terheran-heran sendiri ketika dia mencoba kebaya untuk akad nikahnya. Kebaya itu pun seolah-olah telah di rancang untuk dirinya. Sebuah rancangan kebaya cantik nan eksklusif berwarna broken white yang di padu dengan kain batik dari serat nenas halus.
“Mama… kapan Ruben boleh melamarku?” tanya Dina pada ibunya sambil memandangi Raya yang sedang mencoba tatanan sanggul modifikasinya.
“Kapan pun Ruben siap, Dina!” ujar Diana sambil tersenyum.
Pegawai Liana dengan sigap menyasak bagian atas rambut Raya yang panjang, merapikan bagian atas telinga hingga membentuk gulungan sederhana menyamping yang tak terlalu tinggi. Setelah itu sisa rambut yang di belakang di buatkan cepol yang di gulung dan di beri hairnet. Lalu dengan hati-hati ditempelkannya sanggul jadi modern di bagian tengah kepala, kemudian di beri aksesoris sirkam. Dan untuk membentuk sanggul, pegawai Tante Liana membuat dua bentuk gelungan di kiri dan kanan lalu menempelkan hairpiece yang di gelung seperti per, kemudian di bawahnya di gulung menyerupai bunga.
“Raya cantik banget!!” teriak Dina antusias.
Genta yang telah selesai mengepas pakaiannya mendengar dengan sangat jelas teriakan Dina dan tiba-tiba rasa ingin tahu menguasai dirinya. Dengan mengendap-endap dia mendekati ruangan tempat perempuan-perempuan yang sedang saling bergumam dengan ributnya itu. Dan apa yang akhirnya ia lihat, membuatnya ingin melompat ke planet Saturnus saat itu juga.
Raya amat sangat cantik dengan sanggulnya yang melengkung dan bergelombang. Kebayanya yang menempel ramping. Riasannya yang sempurna. Raya benar-benar jelita. Genta merasa lidahnya kelu dan rasanya saat ini ia ingin mengambil pulpen dan membuat lirik lagu seperti pujangga kesiangan.
“Genttaaa!!”
Genta terlompat kaget.
“Oh.. anak ini!” jerit Bu Anindya panik, “Bisa sial, Nak!”
Semua perempuan di ruangan itu memandang Genta dengan pandangan menuduh terutama Dina.
“Emang dasar bloon!” gerutu Dina sambil membanting pintu di depan hidung Genta.
Genta mengernyit heran sambil menyentuh hidungnya yang hampir saja gepeng akibat ulah Dina. Ia tak habis pikir dengan pola pikir perempuan-perempuan itu, yang menganggap melihat calon istri mengenakan gaun pengantin adalah kesialan. Entah darimana mereka semua mendapatkan pemikiran ajaib itu. Jelas-jelas itu takhayul dan laki-laki serasional Genta menolak percaya.
Setelah acara mengepas pakaian selesai mereka memilih cinderamata untuk para undangan yang datang. Sebuah reflika kursi mungil dan tas berukuran mini dari bahan logam yang tampil menarik dikreasikan sebagai penjepit foto atau gambar dengan balutan warna silver yang memberikan nuansa kemewahan yang menawan.

A Homing BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang