Haii selamat akhir pekan...
Siapa kemarin yang manggil-manggil Fatta?
Nongolkan dia.
Eii btw ini Fatta yak bukan Fatah :)Di kolong jagad ini banyak grup band bagus, tapi tidak semuanya keren karena teknik bermusik yang tinggi bukan jaminan untuk bisa membuat lagu keren yang mengena di hati penggemar. Tapi FUEL selalu punya sejumlah lagu keren di setiap albumnya. Termasuk album terakhir yang baru saja dilempar ke pasaran. Album ini jelas merupakan pergeseran musik FUEL ke arah pendewasaan, terutama dalam lirik lagu. Sebagian besar materi lagu memang dibuat oleh Genta dan jelas terlihat berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri mau pun curahan hatinya yang merupakan proses pendewasaan diri dalam kehidupan pernikahannya yang sensasional. Inilah cerminan Genta yang sebenarnya. Suami yang sedang jatuh cinta dan seorang ayah yang berbahagia.
Tentu saja semua orang tahu kalau menggarap album selanjutnya lebih sulit daripada ketika melempar album pertama. Itulah yang kebanyakan dirasakan oleh para penyanyi maupun grup band, sekalipun telah mempunyai nama besar dan punya bejibun penggemar. Tapi tidak dengan FUEL. Walaupun membutuhkan pengerjaan musik yang lumayan lama akibat padatnya jadwal tur dan kesibukan masing-masing personil maupun karena pernikahan mendadak Genta, kematangan bermusik band ini jelas mencuat di album baru ini sehingga warna musiknya semakin khas terdengar. Setelah melempar satu video klip di televisi dan beberapa lagu yang langsung wara-wiri di radio, jadwal tur menanti mereka. Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.
Saat membantu Genta mengepak barang-barangnya, barulah Raya menyadari ia pasti akan merasa amat kesepian karena hanya akan berdua saja dengan Tara di rumah mereka. Dan setelah hampir setahun pernikahannya dengan Genta, Raya sudah amat terbiasa dengan kehadiran Genta. Keberadaan laki-laki itu memberinya perasaan aman dan dilindungi. Dan besok untuk pertamakalinya, ia benar-benar harus sendirian dengan Tara.
Pada hari keberangkatan Genta ke Medan, Raya tiba-tiba saja merasa gugup dan perasaannya menjadi tidak enak. Dia bahkan hampir menangis ketika Genta mencium Tara, “Aku akan menelpon begitu sampai,” janji Genta.
Ketika Genta berbalik pergi, Raya merasa benar-benar merasa sendirian dan kesepian. Tiba-tiba untuk pertamakalinya sejak menikah dengan Genta, Raya merasa mulai merindukan suaminya. Suatu hal yang menggelikan mengingat pesawat yang ditumpangi Genta bahkan belum mengudara. Mungkin aku belum mencintai, tapi aku mulai menyayangi kamu, Ta, pikir Raya sambil menatap Tara yang menatapnya dari kereta bayinya.
Raya mendorong kereta bayinya dengan hati-hati menuju tempat parkir ketika seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa dan menabraknya. Raya terdorong ke depan dan cepat-cepat memeriksa Tara. Raya tersenyum kecil dan merasa lega Tara tidak apa-apa. Bayinya hanya mengerjap-ngerjapkan matanya yang bening dan bulat dengan bingung. Raya mendongak menatap penabraknya dan menyadari ia sedang menatap mata yang amat mirip dengan mata milik Tara. Mata hitam bening yang indah. Hanya lebih lebar dan lebih tajam. Mata Fatta. Raya berdiri diam dan ternganga. Semuanya seperti mimpi.
“Halo, Ra.”
Dan suara itu memang suara yang sama. Suara Fatta.
“Kamu?”
“Ya, Raya.”
Ya Tuhan, dia kembali. Fatta kembali.
Hati Raya tiba-tiba teramat sangat sakit dan kalau bukan ini tempat umum dia mungkin sudah menangis. Fatta mengamati Raya dan melihat kepedihan di wajah yang diyakininya memucat di balik riasan yang sempurna itu.
“Siapa ini?” tanya Fatta sambil menunduk dan menatap Tara dengan mimik ingin tahu.
“Bayiku,” kata Raya pelan dan berharap Fatta tidak menyadari mata bayi mungil yang sedang memelototinya itu adalah warisannya.
“Bayimu?” tanya Fatta seperti orang bodoh dengan alis terangkat.
Raya punya bayi. Bayi. Bayi yang amat lucu. Amat sangat menggemaskan.
Dengan ekspresi kosong dan tubuh yang menegang Fatta memandangi bayi Raya dan tiba-tiba ia merasa bayi itu menertawakannya. Fatta bukan orang bodoh. Raya gadis muda yang cantik dan menarik. Ketika mereka berpisah dia sepenuhnya sadar suatu saat Raya pasti akan bertemu dengan laki-laki lain. Tapi ia tidak pernah membayangkan Raya begitu cepat melupakannya dan menikahi laki-laki pertama yang ditemuinya setelah mereka berpisah. Ini bahkan belum satu tahun dan Raya sudah memiliki bayi laki-laki lain.
“Berapa usianya?”
“Tiga bulan,” jawab Raya pelan tanpa berani menatap Fatta.
Fatta menghitung cepat dan menyadari kegelisahan Raya.
“Tara lahir prematur,” ujar Raya cepat-cepat sebelum Fatta menyadari ketakutannya.
“Dia cantik sekali, Ra. Dia mirip kamu,” kata Fatta sambil tersenyum lembut, “Aku nggak tau kalau kamu sudah menikah.”
Raya melirik Fatta dengan gelisah, “Aku sudah menikah,” katanya sambil memperlihatkan cincin pernikahannya, “Dan Tara tidak cantik, ia tampan. Tara laki-laki.”
“Siapa ayah Tara?” tanya Fatta seraya melirik cincin yang melingkar manis di jari Raya sekilas dan tiba-tiba rasa cemburu langsung menohok hatinya.
“Namanya Genta.”
“Genta?” Fatta belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Apa Raya bertemu dengannya setelah dia pergi atau jauh sebelum itu? Siapa Genta sampai Raya melupakannya begitu cepat. Apa dia baik? Apa dia tampan? Apa dia kaya?
“Iya, Genta. Tara itu berarti Genta dan Raya.” Kenapa harus kujelaskan?
“Lalu di mana dia sekarang? Ini hari minggu, kurasa dia nggak mungkin kerja di hari libur kan? Kenapa dia ngebiarin kamu sendirian di sini?”
“Aku nggak sendirian. Aku bersama Tara. Dan kami baru mengantar Genta berangkat ke Medan.”
“Apa kamu mencintainya, Ra?”
Raya diam saja dan memandang Fatta lurus-lurus. Tidak ada yang berubah. Masih Fatta yang sama. Tiba-tiba Raya merasa kosong dan luka itu berdarah lagi. Aku mencintainya, pikirnya muram. Dan aku hanya menyayangi Genta, terbiasa dengan kehadirannya bukan mencintainya. Tapi Fatta adalah masa lalunya. Masa depannya adalah Tara dan Genta. Tapi masa lalunya itu memberinya seorang bayi. Bayi laki-laki yang akan terus mengikatnya dengan Fatta sampai kapan pun juga.
“Apa kamu mencintainya?” ulang Fatta. Ada nada menuntut dan cemburu dalam suara itu.
“Genta mencintai aku,” sahut Raya dengan dagu terangkat, “Dia mencintai kami berdua. Dan kami sangat bahagia.”
Fatta menyadari maksud kata-kata Raya. Aku sekarang bahagia dengan suami dan bayiku. Jadi menjauhlah dari hidupku!!
“Kamu bawa mobil, Ra?” tanya Fatta, “Kalau enggak aku bisa antar pulang. Kita bisa panggil taksi.”
Raya menggeleng, “Ada yang mengantarku pulang. Orang dari manajemen FUEL.”
“FUEL?”
“Itu nama grup band suamiku. Dia vokalisnya.”
Fatta mengangguk mengerti. Dia tahu dengan band terkenal itu. Pernah melihatnya dalam sebuah pertunjukan di televisi lebih setahun yang lalu, ia bahkan hapal beberapa lagu band itu. Ia tahu salah seorang personil FUEL adalah saudara laki-laki Dina, sahabat Raya. Dan ia juga tahu betapa digilainya vokalis band terkenal itu. Tentu saja Raya bisa melupakannya dengan amat sangat mudah. Genta bahkan lebih terkenal dari bandnya sendiri. Tampan, kaya dan terkenal. Tiba-tiba Fatta merasa amat sangat tua dan menyedihkan.
“Aku harus pulang, Tara lelah dan dia harus tidur siang,” ujar Raya sambil menatap bayinya lalu tersenyum pada Fatta.
“Aku akan tinggal di peternakan, ajaklah Tara ke sana kalau Genta sudah pulang.”
“Terimakasih,” kata Raya singkat.
Fatta memerhatikan Raya mendorong kereta bayinya dengan hati-hati menuju tempat parkir. Seorang laki-laki muda keluar dari sebuah mobil. Raya menggendong bayinya dan laki-laki itu memasukkan kereta bayi ke dalam bagasi, lalu membantu Raya masuk ke dalam mobil. Raya tidak menoleh atau pun melambaikan tangan. Apalagi tersenyum. Hal itu menyakiti hati Fatta. Dengan jelas-jelas Raya memberinya tanda dia tidak mau bertemu dengan Fatta lagi. Seolah-olah dia benar-benar telah melupakannya.*****
Raya pulang ke rumah dengan perasaan bingung. Berulang kali selama perjalanan pulang ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa pertemuannya dengan Fatta tidak berarti apa-apa. Bahwa perasaan cintanya pada Fatta sudah mati. Tapi jauh di lubuk hatinya suatu kebenaran bergema di sana. Keadaannya sama saja seperti dahulu. Perasaannya masih sekuat dahulu.
Setelah menyusui Tara dan menidurkannya, Raya menghabiskan waktu berjam-jam dengan melamun. Hidupnya yang bahagia tiba-tiba terasa begitu melelahkan hari ini. Dan yang kemudian dilakukannya adalah menangis. Menangis dengan perasaan putus asa. Kenapa dia kembali? Mengapa dia harus kembali, ketika semuanya mulai terasa indah dan sempurna?
Raya duduk di tepi jendela kamarnya dan memandangi malam yang penuh bintang, sambil memikirkan Genta dan Fatta berganti-ganti. Raya amat sadar bahwa ia masih amat sangat mencintai Fatta. Cinta yang telah menghancurkan hidupnya. Tapi cinta itu juga yang telah memberinya Tara. Bayi mungil yang telah mengikatnya dalam persahabatan dan kebersamaan yang indah bersama Genta. Dia baru akan mulai menyayangi Genta, tapi tiba-tiba Fatta muncul dan membuat semua pengorbanan Genta seolah-olah tak berarti apa-apa. Beberapa bulan belakangan ini, ia bahkan telah menganggap Fatta mati dan mulai melupakannya, lalu tiba-tiba seperti siluman laki-laki itu muncul kembali di hidupnya.
Dering telepon mengejutkan Raya. Perlahan-lahan Raya bangkit dan meraih gagang telepon, “Halo?”
“Ra?”
“Genta?”
“Ada apa? Suara kamu kok beda?”
Air mata Raya jatuh.
“Raya?”
“Nggak apa-apa,” Raya menggeleng dan memutuskan tidak akan menceritakan pertemuannya dengan Fatta pada Genta. Paling tidak untuk sekarang. Karena sangat tidak adil merusak tur FUEL yang telah terjadwal dengan masalah pribadinya.
“Tara mana?” tanya Genta.
“Tidur.”
“Aku kangen kamu dan Tara.”
“Kelihatannya Tara juga kangen sama kamu. Dia rewel banget. Kamu sih terlalu manjain dia,” omel Raya sambil menyusut airmatanya.
“Aku baru pergi beberapa jam, sayang dan kamu membuatku pingin terbang balik ke Jakarta.”
“Kamu sudah makan kan, Ta?” tanya Raya perhatian.
“Sudah.”
“Makan apa?”
“Bika Ambon.”
“Bika Ambon?”
“Bika Ambon yang enak cuma ada di Medan, Ra. Aku lebih seneng makan bika Ambon kalau sedang di Medan.”
“Nanti kamu sakit,” ujar Raya lebih menyerupai keluhan.
“Aku kan punya istri cantik yang bakalan mngerawat aku gitu aku pulang,” sahut Genta sambil tertawa.
Raya menyusut air matanya.
“Kenapa, Ra?”
“Nggak, nggak apa-apa. Aku cuma ngerasa kesepian dan sendirian di sini. Aneh rasanya nggak ada kamu.”
“Seharusnya kamu terima ajakan Mama untuk tinggal di rumah mereka selama aku nggak ada.”
“Aku sudah terlalu banyak ngerepotin Mama,” sahut Raya cepat.
“Mama suka kok direpotin kamu dan Tara.”
“Mama sudah cukup repot seharian bersama Tara selama aku kerja.”
“Mama kan dibantu perawat bayi, Ra. Lagian dia nggak punya kesibukan lain selain memanjakan Tara.”
Raya mengangguk setuju.
“Sayang, telponnya sudah dulu ya, aku sudah di jemput untuk acara bincang-bincang diradio nih. Nanti aku telpon lagi, ya.”
“Iya.”
“Jangan lupa makan ya, sayang?”
Raya tersenyum kecil, “Kamu juga jangan cuma makan bika Ambon.”
Raya meletakkan gagang telepon lalu berjalan menuju tempat tidur Tara dan kembali melamun memikirkan Fatta dan pertemuan mereka sore tadi. Raya memandangi bayinya yang sedang tertidur pulas, “Bunda mencintai ayah kandungmu. Bunda begitu mencintainya hingga menyerahkan hati Bunda padanya dan ia justru mencampakkan kita berdua. Lalu seseorang dengan baik hatinya menyelamatkan kita, memberikan segalanya yang kita butuhkan dalam sebuah keluarga. Tapi kenapa dia datang lagi? Kenapa dia datang lagi, ketika Bunda percaya akhirnya mimpi buruk usai dan kita akan hidup bahagia. Tara sayang, semoga saja dia nggak curiga dan mencari kita, karena walau pun Bunda masih mencintainya, kita nggak boleh menyakiti Oma, Opa dan Ayah Genta. Mereka mencintai kita berdua dan seharusnya kita juga melakukan hal yang sama.”Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
A Homing Bird
RomanceFatta : Aku nggak akan pernah mencintai wanita manapun seperti aku mencintai kamu. Seandainya waktu dapat di putar kembali, tapi nggak akan pernah ada yang akan kembali. Semuanya berlari semakin cepat dan kita berlari semakin menjauh. Raya : Burung...