Part 46

6.3K 972 55
                                    

Aku seharusnya nggak usah membuntuti Raya. Seharusnya aku membiarkan semuanya lewat dan tidak tahu apa-apa. Ini sangat menyakitkan.
Genta menatap sarapannya dengan malas, nasi goreng buatan Raya yang merupakan salah satu dari sekian banyak makanan buatan Raya yang digemarinya. Biasanya ia akan langsung menyantapnya. Tapi ia sekarang hanya menatap piringnya dengan muram.
Dia tidak mencintai aku dan hanya akulah yang mencintainya. Selamanya dia mencintai Fatta. Sekeras apa pun usahaku untuk mendapatkannya, itu tidak akan berhasil.
Genta tahu benar konsekuensi yang harus dihadapinya dengan menikahi Raya. Setiap saat Fatta akan muncul dan membawanya pergi. Tapi selama ini hingga kemarin, Genta cukup percaya diri dengan kebaikan dan kasih sayangnya kepada Raya dan Tara, tidak akan membuat Raya berpaling. Tapi ternyata ia keliru. Ia seharusnya membenci Raya. Tapi ia tidak mampu melakukannya. Ia terlalu mencintai Raya. Selamanya ia akan selalu memiliki perasaan khusus pada Raya.
“Kenapa nggak dimakan?” tanya Raya heran sambil menatap Genta yang duduk di hadapannya.
“Aku nggak lapar.”
“Tadi malam kamu juga nggak makan, Ta. Nanti kamu sakit.”
“Jangan memperhatikanku seperti itu, Ra. Jangan memberi aku harapan lagi,” kata Genta dengan suara parau.
“Aku nggak mengerti apa maksudmu,” ujar Raya bingung.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan pernikahan kita, Raya?” tanya Genta hati-hati.
“Pernikahan kita?” Raya menatap Raya dengan heran.
“Akan dibawa kemana pernikahan ini, Ra?”
“Aku nggak mengerti, Ta. Kamu ngomong apa sih?”
“Apakah pernikahan kita baik-baik aja? Apa kita punya masa depan? Apa kamu akan berusaha untuk menerima aku?” tuntut Genta.
Dengan mengerutkan dahi mendengar nada marah dalam suara Genta, Raya merasakan ketegangan memenuhi dapur itu, “Ada apa sih, Ta?”
“Arti pernikahan kita setelah kamu menemui Fatta kemarin.”
Pemahaman menggantikan kebingungan di wajah Raya, “Ya, aku kemarin memang menemui Fatta.”
“Lalu kenapa kamu nggak memberitahu aku?” sembur Genta, kesabaran Raya menambah kemarahannya, “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku?”
“Kenapa ini harus jadi masalah?”
“Kenapa?” ulang Genta, “Tentu saja ini jadi masalah. Laki-laki sialan itu berusaha mengambilmu dan Tara dariku,  masalah terbesarnya adalah kamu masih sangat mencintai dia.”
“Itu nggak merubah apapun, Genta. Aku menemuinya untuk membicarakan tentang masalah kami,” katanya dengan sabar.
“Kami?” tanya Genta tajam.
“Ya, aku, Fatta dan Tara.”
“Lalu kamu menempatkan aku di mana?”
“Di tempatmu yang seharusnya.”
“Di manakah itu.”
“Di sini, di rumah ini. Di sisiku dan Tara.”
“Lalu Fatta.”
“Hanya ada kita bertiga.”
Genta menyandarkan tubuhnya di kursi, “Selalu akan ada Fatta di antara kita.”
“Genta…”
“Berhentilah memikirkannya, Raya. Dia bukan laki-laki yang patut untuk terus menerus dipikirkan sepanjang hidupmu.”
Raya bergerak-gerak gelisah, “Kamu tau benar perasaanku.”
Genta berusaha keras untuk meredam amarahnya. Ia tahu jika ia sampai marah-marah, maka dapat di pastikan mereka akan bertengkar dan itu sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan memperumitnya.
“Genta aku nggak bisa merubah apa yang sudah ada di hatiku selama belasan tahun. Bukannya aku nggak berusaha, tapi aku benar-benar nggak bisa dan tolong jangan paksa aku. Aku capek memikirkannya. Dan aku nggak ingin membicarakan masalah ini terus-terusan. Biarkan saja semuanya. Aku lelah.”
“Itukah yang terus kamu lakukan?” tanya Genta sedih sambil menatap Raya, “Terus menyimpan Fatta di dalam hatimu.”
“Ya,” Raya beradu pandang dengan Genta, “Aku nggak bisa menyangkal itu.”
“Lalu kalian bicara apa kemarin?” tanya Genta.
“Semuanya.”
“Apa?”
“Semuanya.”
“Baiklah tapi apa?”
“Mas Fatta akan kembali ke Singapura.”
“Akhirnya,” Genta menarik nafas lega.
“Aku akan membawa Tara menemuinya.”
Genta memandangnya dengan bingung, Raya menambahkan, “Bagaimana pun keadaannya, Mas Fatta itu ayah kandung Tara. Sebaiknya ia melihatnya.”
Mengabaikan kerutan di dahi Genta yang menjelaskan kalau Genta sedang berpikir keras, Raya bangkit dari kursinya, “Aku akan memandikan Tara. Dia harus kelihatan rapi dan bersih. Nanti kita bicara.”
Menelan emosi yang membuat tenggorokannya tercekat, Genta mendorong piring nasi gorengnya yang masih utuh lalu bangkit berdiri. Hatinya sakit sekali dan ia tahu Raya telah membuat keputusan. Keputusan yang tidak menyertakan Genta di dalamnya. Hanya ada mereka bertiga saja.

A Homing BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang