Raya telah mencintai Fatta lebih dari lima belas tahun lamanya, hingga rasanya sulit baginya untuk dapat mencintai laki-laki lain selain Fatta. Dari mulai melihatnya, mengenalnya, membencinya, hingga mati-matian berusaha melupakannya. Tapi yang ada cintanya kepada Fatta semakin kuat, semakin dalam dan semakin tidak mau pergi. Terkadang ia berharap mereka tidak pernah bertemu, sehingga hidupnya akan terasa lebih mudah. Seandainya ia tidak terlahir seorang diri tanpa tempat berpegang dan bersandar, mungkin ia tidak akan menyayangi Fatta lebih dari seharusnya. Semakin Raya mencoba melupakan dan membuang Fatta, maka semakin dalam laki-laki itu bercokol di hatinya. Memikirkannya saja membuat Raya bahagia. Aku nggak akan pernah mengingkari bahwa cuma dia satu-satunya yang bisa membuat aku merasa berarti, pikirnya muram.
Tetapi yang terjadi kemudian ia bertemu dan belajar hidup bersama Genta. Sebenarnya jika Raya mau jujur, gagasan untuk hidup bersama laki-laki lain selain Fatta terasa sangat mustahil dan menakutkan. Kedekatan secara fisik akan menimbulkan kedekatan secara emosional. Akan menjadikan mereka berdua, perlahan-lahan tetapi pasti menjadi satu bagian antara yang satu dengan yang lain.
Aku takut bersamanya. Aku takut memperhatikannya, aku takut mengenalnya, aku takut membuat ikatan, aku takut tergantung padanya, aku takut mencintainya, aku takut menyakiti diriku sendiri lagi atau bahkan menyakitinya. Itulah yang selama ini dipikirkan Raya selama mereka bersama-sama. Ia takut kepedihan dan kehancuran menderanya lagi. Tapi Genta mengajarinya bagaimana menjalani hidup. Bagaimana membuatnya terbiasa dengan kehadirannya. Bagaimana berbagi tawa, tangis dan kehidupan bersamanya. Mungkin tidak akan pernah ada lagi laki-laki sebaik Genta di muka bumi ini lagi untuknya. Atau mungkin ia perempuan paling beruntung di dunia ini. Dan pernah ia berpikir hal terbaik yang bisa ia berikan kepada Genta untuk membalas semua kebaikannnya adalah melangkah pergi dari hidupnya. Raya tahu sedari awal ia melangkah ke biduk pernikahan ini, ia tidak pernah pantas berjalan bersisian dengan Genta. Tidak akan pernah, walaupun mereka telah sama-sama lelah mencoba.
Lima belas tahun berlalu, pikir Raya nelangsa. Air mata mengalir di pipi Raya yang halus. Ia sudah terlalu sering menangis. Raya menatap rumahnya yang indah. Rumah hadiah pernikahannya dari Genta. Rumah yang memberinya kenangan terindah. Raya memejamkan matanya dan ia melangkah ke masa lalu. Ke tempat di mana ia telah menanamkan cintanya dalam-dalam dan berpikir kalau ia akan berhenti di sana dan tidak akan melangkah lagi. Tapi tahun demi tahun berlalu dan ia berjalan melalui garis batas kehidupannya, berusaha menolak takdir dan berlari kembali ke masa lalu. Tapi akhirnya Raya kembali melangkah di garis hidupnya, dimana seseorang menunggunya di sana, hingga ia berhasil menemukannya. Dan membawanya kembali pulang ke rumah.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
A Homing Bird
RomanceFatta : Aku nggak akan pernah mencintai wanita manapun seperti aku mencintai kamu. Seandainya waktu dapat di putar kembali, tapi nggak akan pernah ada yang akan kembali. Semuanya berlari semakin cepat dan kita berlari semakin menjauh. Raya : Burung...