Gracia menghirup aroma dari semilir angin yang menggoyangkan rambutnya. Udara musim gugur di Korea Selatan yang akhirnya bisa ia rasakan setelah bertahun-tahun hanya harapan. Meskipun kepergiannya kali ini bukan untuk syuting apa lagi untuk bersenang-senang, Gracia tetap bahagia dan bersemangat.
Perempuan itu menenteng tas berukuran sedang di tangan kanan dengan merek ternama, lalu berjalan melewati kerumunan. Kacamata hitam, masker putih, topi rajut jerami yang dihiasi pita. Dress selutut yang mencetak tubuh kurusnya, kaki mulus jenjang terbuka. Dipertontonkan.
Mata Gracia menyusuri setiap manusia yang berlalu lalang. Tinggi badannya menjadi lebih menjulang dibandingkan wanita-wanita lain di sekitarnya karena tinggi hak sepatunya. Dia mencari sang manajer yang seharusnya sudah standby di tempat.
“Sial!” gumamnya dengan bahasa Inggris yang lugas. Gracia terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh kalau keseimbangan tubuhnya buruk. Dia menoleh ke arah lawan yang menabrak bahunya keras sekali.
Gracia menyunggingkan sudut bibir kanan lantas berdiri perlahan. Kelopak matanya terpejam beberapa detik kemudian terbuka dan memandang tajam.
“Oh, sorry,” ucap Sabrina terkekeh. Perempuan itu mengenakan setelan serupa, masker, kacamata hitam, dan topi, hanya berbeda jinjingan. Sabrina pergi dengan dua pengawal pribadi dan manajernya mendekati pintu keluar.
Geram. Gracia pergi dengan tangan kanan terbuka lebar dan melayangkannya pada wajah mungil Sabrina.
Manusia yang melihat kejadian tersebut mundur beberapa langkah untuk mengambil sudut pandang yang pas. Beberapa orang menutup mulut karena saat tangan Gracia melayang, topi bulatnya terempas. Semua orang mengenalnya. Setidaknya, negara tetangga mengenalnya sebagai aktris yang sedang naik daun. Dua pengawalnya bergegas menghentikan Grace.
“Kalau punya mata, lebih baik dipakai!” bisik Gracia pada si penabrak lalu mendahuluinya berjalan dengan menginjak kaki pengawal menggunakan haknya.
Sabrina membuang napas panjang lalu berdiri tegap. Manajernya menelepon keamanan bandara dan meminta bantuan untuk mendamaikan media dan tangan-tangan warganet.
Gracia duduk di taksi yang sudah dipesankan manajernya, Allen. Namun, laki-laki tampan keturunan China-Belanda itu hanya mengabarinya lewat telepon. Perjalanan singkat menuju negeri ginseng ini malah menimbulkan kesan pertama yang mustahil disebut indah.
“Sial banget hidupmu, Liu!” umpatnya pada diri sendiri.
“Ah, dari China, ya?” tanya Bapak Sopir dengan bahasa Korea yang sering dia dengar di drama yang ditontonnya.
“Benar. Ehm ...,” gumamnya ragu, “can you speak english?”
Laki-laki berusia pertengahan abad itu memilih diam untuk jawaban bijaknya. Gracia mengangguk. Bapak-bapak ini enggak kenal aku, kan? Gracia membatin sambil tersenyum mengambang, enggak mungkin, sih. Kamu bukan artis top! Harus paham.
Gracia mengeluarkan ponsel lalu berselancar ria di media sosial. Dia lantas memutuskan untuk menelepon manajernya karena berbagai alasan yang menghantui otaknya setelah melihat jalanan yang ramai. Kota Seoul salah satu kota paling ramai dan tidak pernah redup.
“....”
“Allen?” tanya Gracia. Baru kali ini laki-laki itu tidak mengeluarkan suara setelah mengangkat panggilannya. Terdengar deru napas yang berat ketika Grace mendekatkan ponselnya ke telinga.
[Sorry, Grace!] balas Allen dengan terburu-buru.
[Aku harus menyelesaikan sesuatu di sini. Menginaplah di tempat yang sudah kupesan. Turuti aku kali ini saja dan semuanya akan selesai. Ok, Grace!]
KAMU SEDANG MEMBACA
Their Autumn
Mystery / ThrillerNiat Gracia melarikan diri ke Korea Selatan menjadi malapetaka. Bukan dedaunan maple yang kemerahan, tetapi seprai penuh darah yang pertama kali memanjakan matanya. Gracia berakhir di kantor polisi dengan status sebagai saksi. Hal tragisnya, Allen...