Grace hendak meraih ponsel dari tangan Hanz yang sedang menyentuh pipinya. Mungkin terasa panas karena tenaga yang dikeluarkan Grace dalam kondisi ter-charger penuh. Perempuan itu mendelik karena telepon seluler dalam genggaman pria itu berpindah.
Hanz beralih, menjauh dari sang pemilik kamar dengan membawa ponsel itu. Dia mengeluarkan benda pipih dari dalam kantongnya dan memasangkan kabel yang dihubungkan dengan telepon milik Grace.
“Apa yang sedang kau lakukan, Tuan?” tanya Grace masih marah.
“Telepon manajerku digunakan orang lain dan Anda memutuskan sambungannya. Bagaimana jika?”
“Jika dia mengincarmu, dia akan lebih dulu mengincar orang-orang terdekatmu!” balas Hanz tegas. Seluruh indranya fokus pada dua benda elektronik itu. Entah apa yang sedang dilakukannya dan apa yang dimaksudkannya, Grace tidak mengerti.
“Apa maksudmu?” Grace mencekal tangan kiri laki-laki itu. Menghentikan kegiatannya agar wajah itu mengarah padanya. Namun, Hanz malah menatapnya kesal tanpa jawaban.
“Aku bertanya!”
“Tapi tidak berpikir terlebih dahulu!” bentak Hanz melepaskan tangan perempuan itu, berbalik mencekal.
“Bukannya tujuan Anda datang ke Korea Selatan untuk kabur sejenak dari media, Nona?” Laki-laki itu malah bermajas. “Jangan sampai kasus pembunuhan itu membuat Anda dikejar oleh media juga di sini!”
Grace melemas. Cengkeraman di tangannya ikut melemah. Jadi, apa yang terjadi pada Allen juga kesalahanku? Aku lari dari masalah yang seharusnya aku hadapi, batin Grace. No! Allen sedang mengurusi sesuatu yang harus dilakukannya. Tentu ini masalahnya.
Hanz melirik perempuan yang mematung dengan sudut mata. Kedua ponsel kini terhubung. Tidak ada program penyadapan yang terpasang pada telepon genggam milik Grace. Perempuan itu masih aman tanpa adanya penyusup dalam kehidupan.
“Hm,” gumam Hanz sambil menyerahkan ponsel Grace.
“Ponselmu aman. Aku sudah meminta bantuan teman untuk melacak keberadaan Allen—“
“Dari mana Anda tahu namanya Allen?” Grace semakin merasa aneh. Laki-laki ini semakin familier dengan cahaya yang lebih terang. Bentuk wajah oval dengan garis rahang lurus. Dagu lancip dan bibirnya yang mungil berbeda dari orang Asia. Namun, fasih bahasanya.
“Nama kontak yang menelepon itu Allen Yu,” balas Hanz telak, “berhati-hatilah dengan panggilan asing. Mari saling berhubungan satu sama lain, sebelum Allen dipastikan keberadaan dan keadaannya.”
“Siapa kamu?”
“Anggap saja aku malaikat baik yang hanya lewat.”
Malaikat baik itu pergi setelah berbenah. Grace tidak berniat mengantar dan fokus pada pikirannya. Perasaan cemas yang baru kali ini dirasakan, perasaan campur aduk antara bersalah dan bodo amat pada kehidupan setengah manajernya itu. Grace melemparkan ponsel setelah melihat nomor baru yang tertera. Hanz. Dia ingat kejadian dua tahun lalu, kali pertama bertemu dengan malaikat yang hanya lewat itu.
Apa hari itu pun dia hanya lewat? Grace mempertanyakan sebuah takdir. Grace beranjak ke lemari es kecil untuk mengambil sebotol minuman. Namun, bel berbunyi lagi. Grace menoleh ke sana kemari untuk melihat ruangan.
“Apa ada yang tertinggal?” bisik Grace pada diri sendiri.
Grace mengintip lewat lubang pintu. Seorang pria dengan pakaian resmi berpita dasi berdiri di depan pintu. Rasanya, aku tidak memesan apa pun. Grace tetap ramah membuka pintu kamar. Dia tersenyum ramah dengan berbicara menggunakan bahasa internasional.
“Ah, mungkin pesanan Anda digantung di luar sedari tadi. Ada foto Anda juga terjatuh di lantai.” Kalimat yang keluar itu tersusun rapi. Yeoksi ... hotel bintang lima.
Grace mengulurkan tangan untuk mengambil bungkusan plastik putih tersebut bersamaan secarik kertas foto. Foto cantiknya saat merayakan Mid Autumn Festival tercetak jelas. Cantik, pujinya. Grace menutup pintu usai berpamitan, dia meletakkan plastik di atas meja makan lalu memperhatikan foto.
Sebuah tulisan di belakangnya seperti rumus matematika yang menyakitkan mata. Tulisan tangan itu mirip dengan tulisannya. Bentuknya rapi, tetapi tidak pernah lurus jika tidak memiliki garis bantu. Rangkaian huruf hampir tersambung pun sangat mirip.
“Kapan aku menulis ini? Terus 998265 itu apa?” Grace berbicara sendirian. Susunan huruf kapital di bagian bawah membuat namanya, meski tidak terurus secara benar. Gracia Liu.
Kepala Grace berdenyut, pusing. Dia terduduk di sofa tanpa bisa memikirkan hal yang lain. Kaki-kaki berlari menginjak ranting pohon berkelebat lagi.
Hanz merebahkan diri di lantai dingin tanpa alas. Sebuah rumah persegi yang luas ditempatinya seorang diri. Pinggiran kota Seoul yang hiruk-pikuknya lumayan ramah. Tidak terlalu berisik. Sedikit damai untuk merefresh otaknya. Meskipun otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih tentang tindakan yang akan dia lakukan selanjutnya.
Jam tangan pintar yang melingkar di tangan kiri Hanz berdenting. Sebuah pesan masuk membuat lututnya kembali melemas. Dia lebih memilih mengabaikan pesan itu memejamkan mata. Namun, dering ponsel membuatnya mau tidak mau harus beranjak.
[...]
Aku sedang memikirkan caranya, Bodoh! Hanz mengumpat dalam hati sambil tangannya meremas kuat.
[....]
“Ah, sorry.” Hanz menghindari pertanyaan pertama itu.
“Aku akan memikirkan sebuah cara. Jadi, tunggu sampai aku melaporkannya padamu dan beri tahu klien untuk menunggu hasil yang memuaskan.”
[Ini tidak sepertimu, Hanz! Kerjamu tidak secepat biasanya padahal dia ada di Korea. Wilayahmu!]
[Apa aku perlu mengganti agent?]
“No! Kau tidak percaya padaku? Aku hanya ... terlalu menyayangkan kecantikan bidadari itu.”
[Ouh, kau tertarik? Pada targetmu?]
[Kuharap kau tidak bertindak ceroboh. Bos, bisa membunuhmu!]
Hanz menggigit bibir bawahnya yang berisi. Dia bingung bagaimana menjelaskan situasi ini padanya agar dia memahami maksudnya.
“Aku akan beristirahat sekarang dan akan mengajarimu besok. Aku tutup!”
[Ok!]
Gracia ... dari sekian banyak target. Aku harus membunuhmu! Gadis yang gagal aku lindungi dahulu. Hanz memejamkan mata, mengembuskan napas lembut, membuang segala penat yang mungkin akan memengaruhinya hari esok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Their Autumn
Mystery / ThrillerNiat Gracia melarikan diri ke Korea Selatan menjadi malapetaka. Bukan dedaunan maple yang kemerahan, tetapi seprai penuh darah yang pertama kali memanjakan matanya. Gracia berakhir di kantor polisi dengan status sebagai saksi. Hal tragisnya, Allen...