Hanz mengembuskan napas. Laki-laki berusia tiga puluh empat tahun itu menatap tajam. Lantas bertanya, "Di–dia Allen?"
Grace mengangguk lemah tanpa menoleh. Pemikirannya sedang di dunia berbeda dan aura hebat yang dipancarkan Hanz hanya akan membuat dirinya bertambah tegang. Cobaan tahun ini terasa berat. Toh, dirinya sudah diberitakan mati bunuh diri menyusul saudara tiri. Jika hari ini dia dibunuh pun, tidak akan pernah ada yang mencari!
C-Class sialan! Hanz perlahan mulai menemukan titik terang kenapa Sabrina tidak menjadi targetnya padahal perempuan itu yang mendekati artis terkenal. Apa yang diincar dari seorang Grace yang tidak memiliki kemampuan dalam bidang akting. Lalu, Allen? Huh, berandalan itu mengubah nama depannya untuk mengacaukanku dan agency.
"Ayo, keluar!" ajak Hanz akhirnya. Dia lebih dulu turun dari mobil cokelat kesayangan dan berjalan ke belakang untuk mengeluarkan barang-barang dari bagasi.
Hutan atau bisa dibilang kebun dengan pohon-pohon yang daunnya berwarna oranye dan kemerahan dapat mengalihkan perhatian Grace. Dia langsung menikmati pemandangan yang diharapkannya lima hari lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di Korea. Kakinya menginjak dedaunan kering pun ranting-ranting kecil sampai menimbulkan suara yang mendamaikan. Pandangannya jatuh pada siluet laki-laki yang terkena sinar matahari langsung. Kemeja yang digulung sampai lengan membuat wibawa laki-laki itu semakin terlihat.
Hanz menutup kedua mata menggunakan telapak tangan karena sinar sang surya begitu menusuk. Celana dan kemeja panjang sengaja dilipat untuk mendapatkan nutrisi vitamin D. Dia tertawa pelan melihat perempuan yang menatap ke arahnya dengan pipi memerah. Apa dirinya melakukan hal yang salah? Tentu tidak.
Laki-laki yang telah selesai berkeliling itu mendekati Grace. Dia menutup pintu mobil lalu memastikannya terkunci, kemudian membawa semua perlengkapan menuju penginapan kecil di bawah kaki gunung Songtae, sebutan masyarakat sekitar yang berbeda penyebutan dengan aslinya. Hanz berbalik untuk memastikan bahwa perempuan yang dibawanya mengekor. Grace ternyata sangat patuh, dia berjalan tanpa bersuara.
"Aku yakin penginapan ini aman!" bisik Hanz ketika jalan mereka sejajar. Langkah Hanz diperlambat.
Lagi, Grace hanya mengangguk.
"Apa kau lapar?" tanya Hanz lagi.
Grace menggeleng.
Rumah hanok dengan desain atap yang khas menyambut mereka. Keduanya berjalan beriringan masuk ke gang kecil untuk mencapai pintu masuk. Dua orang penjaga menyambut mereka dan mengambil dua koper sedang dan menyeretnya ke ruang daftar. Resepsionis, mungkin. Grace hanya mengikut saja ke mana laki-laki itu pergi.
"Ah, begitu?" Suara Hanz terdengar. Bahasa Koreanya yang begitu lancar membuat Grace tanpa sadar memuji lagi. Walau masih setia untuk memujinya dalam hati. Dia menunduk.
"Baiklah. Gumawo-seo!" ucap Hanz sambil menyerahkan beberapa lembar uang lalu pergi membawa kunci yang diberikan. Dia menghampiri Grace. Mendengkus karena perempuan itu tidak lagi memiliki gairah untuk bangkit. Hanz memikirkan Allen, apa rencananya?
Hanz meminta kedua pegawai rumah hanok itu untuk membawa barangnya ke dua kamar yang bersebelahan. Tidak seperti hotel atau penginapan secara umum. Rumah Hanok itu di desain seperti sebuah rumah kontrakan atau komplek perumahan yang masing-masing bangunan terpisah jalan. Mereka mendapat dua kamar bersebelahan yang paling dekat dengan area mendaki gunung untuk melihat pemandangan yang indah. Hanz duduk di samping Grace, menepuk pundaknya, dan menyuruhnya bangkit.
"Kau butuh istirahat!" ujar Hanz.
Grace bangkit dengan lemas, berjalan sangat lambat, membuat siput di pinggir sungai kecil depan rumah merasa tersaingi. Pemikiran berat di dalam kepalanya membuat semua tindakan ikut melambat. Pasalnya, Grace bimbang bagaimana dirinya mampu melanjutkan hidup ataukah ....
Pundak Grace terasa hangat. Sebuah tangan besar melingkari bahu yang tertutup kain pastel. Perempuan itu tidak berniat memberontak dan hanya menimpali Hanz dengan senyuman hangat. Bukan, terlihat lemah. Langkah-langkah kaki mereka menjadi pusat perhatian Grace yang mengingatkannya pada langkah-langkah kecil di jalanan yang dipenuhi salju lalu tergenang darah. Dia melerai rangkulannya agar sedikit menjauh dari tubuh Hanz.
"Kenapa?" pekik Hanz. Dia kaget karena dadanya didorong kuat oleh Grace.
Grace mempercepat langkah menuju dua orang yang telah melambangkan tangan kepada mereka. Memberi isyarat bahwa kamar tersebut yang akan mereka tinggali selama di sini dengan berbagai rencana yang ada. Meski rencana itu tidak berada di dalam kepala Grace, setidaknya Hanz harus dipercaya.
Di sisi lain, Hanz memilih mengabaikan Grace. Dia mengeluarkan telepon genggam dan mengakses kode yang sebelumnya sudah dimuat oleh Lee. Mereka harus tetap berhubungan untuk mencapai tujuan masing-masing. Meski kini tidak lagi sama dan sejalan, tetapi prinsip mereka masih satu. Menemukan ketua agency. Dalang dibalik terlibatnya mereka dalam aksi dan teror yang tidak mereka inginkan.
"Bagaimana situasi di kantor?" tanya Hanz menyuarakan kalimat itu sepelan mungkin.
"Beres, Sir!" balas Lee cepat, "kau harus baik-baik saja di sana. Selagi bisa bernapas di mana pun, kita akan tetap terhubung."
"Tentu. Aku tidak akan kehilangan jantung ini begitu mudah, Lee. Kita akan menyelesaikan semuanya terlebih dahulu dan bernapas bersama tanpa harus sembunyi-sembunyi!"
"Good luck, Hyeong!" Lee terlalu bersemangat untuk sebuah pertaruhan yang berdarah-darah. Dia terlalu mudah untuk dimanfaatkan orang lain.
Maafkan aku, Lee. Merepotkanmu.
Kalau dulu mereka terus bersama akankah hari kutukan ini akan datang? Sudah jelas bahwa takdir ini harus dilalui oleh kita.
"Aku sudah mengirimkan kode untuk rencana pertama. Tinggal bagaimana kau mengeksekusinya!" terang Lee. Jam tangan pintar Hanz langsung menyala.
Hanz menutup telepon lantas mengikuti Grace sampai ke kamarnya. Meminta izin perempuan itu untuk pergi keluar setelah jam makan malam. Lagi-lagi Grace membuat Hanz mengernyitkan alis, kabar meninggal palsunya benar-benar membuatnya menderita. Hanz pergi ke kamar untuk membersihkan diri dan menyusun alat-alat yang diperlukan untuk melakukan aksinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Their Autumn
Mystery / ThrillerNiat Gracia melarikan diri ke Korea Selatan menjadi malapetaka. Bukan dedaunan maple yang kemerahan, tetapi seprai penuh darah yang pertama kali memanjakan matanya. Gracia berakhir di kantor polisi dengan status sebagai saksi. Hal tragisnya, Allen...