Lima tahun lalu, di Islandia.
"Aku menginginkan agen itu bersamaku!" ucap perempuan berkulit kuning langsat yang sedang memasangkan chip permanen pada pergelangan tangannya dari benda berbentuk senapan, memiliki tabung di bagian tengah, dan ukuran moncong dua milimeter.
Wajah perempuan itu merenggut menahan sakit ketika pelatuknya ditekan dan kulit lengannya seperti ditarik masuk. Tangan kanannya mengangkat benda itu perlahan agar tidak meninggalkan bekas. Benda itu diletakkan pada kotak kecil agar mudah dibawa. Perempuan itu beralih untuk melihat laki-laki yang membuat kesepakatan dengannya.
"Bagaimana, Tuan?" tanyanya dengan kepala dimiringkan sembilan puluh derajat ke kiri.
Laki-laki dengan rambut gondrong itu sedang duduk melihat ke layar monitor tiga puluh dua inci. Mungkin, sedang menelusuri atau mengamati gambaran besar yang ada di dalamnya. Lelaki itu sejenak menggeleng lalu berdiri menghindari sang penanya.
"Kau yakin dia mau bersamamu?" kata laki-laki berkumis tipis itu dengan menekan kata bersama sambil melipat tangan di depan dada. Gaya khas kunonya.
Perempuan itu membenarkan poni agar tetap di samping kanan, baru membalas, "Apa aku terlihat kekurangan sesuatu, Ad?"
No, sama sekali tidak. Laki-laki itu mengangguk. Mengiakan satu syarat yang diminta perempuan itu saat misi mereka mendekati keberhasilan. Dia duduk kembali memandangi layar yang kini sedang menampilkan adegan aksi si pemuda berjaket kulit hitam dengan kacamata hitam dalam sebuah ruangan. Kecepatan tangan laki-laki itu memutar pisau dan menggoreskannya di leher seorang laki-laki dalam keadaan gelap membuat si penonton perempuan menutup mata.
Laki-laki yang dipanggil Ad itu berdiri lantas menatap dalam perempuan yang kini mematung.
"Kau yakin?" Ad bertanya dengan penuh kekhawatiran.
"Kita membutuhkan orang seperti dia, kan?" tanya balik perempuan itu.
"Bukan," sela Ad, "kau yakin akan menjadikan Sabrina sebagai umpan dan menjadikannya target X Agency?"
Tangan perempuan itu bergetar. Laki-laki di hadapannya mengkhawatirkan perempuan biadab itu dari pada agennya kini. Perempuan itu menggulung rambut panjangnya lalu dengan keras menghardiknya, "Benar! Tidak akan ada yang berubah pada keputusanku."
"Tapi—"
"Dalam lima tahun ini!" potongnya dalam suara serak. "Aku akan membuatnya tinggi dan mengirimnya ke lubang neraka, Ad! Dia pandai bersilat lidah, maka aku harus pandai berkelit dari nasib!"
Tatapan mata itu berubah. Perempuan itu menurunkan kelopak mata agar bagian yang berembun tidak jadi turun. Hari-hari masa remaja sudah cukup bersabar, dia mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat diakui, setidaknya disayangi sebagai seorang anak, tetapi hasilnya.
Luka di paha masih setia berwarna meski berjalannya usia.
Ad hanya bisa menepuk pundak perempuan itu. Setelah dia menemukannya di belakang klub malam dengan perut bersimbah darah, dia tidak menginginkan perempuan di depannya kembali merasakan sakit yang sama.
"Aku akan memberikan Sabrina untukmu, Gracia!" ucapnya mantap sambil mengelus puncak kepala Grace.
"Satu lagi!" tegas Grace, "aku benar-benar membutuhkan agen itu, tapi tanpa bantuan siapa pun!"
"Maksudmu?"
"Aku akan mendatangkannya dengan caraku. Menemukan dia, mendekati, dan membuatnya datang kepada kita hanya dengan cara yang aku mau!"
Ad mengangguk mengerti. Laki-laki itu hanya bisa mendukung perjalanan perempuan itu untuk dapat mengetahui masa lalunya dan menemukan kebenaran dibalik X Agency yang membunuh beberapa rekannya di tahun ini. Parahnya, ayah angkat Grace salah satu yang menjadi target.
∆
Grace merenggangkan tangan ke udara saat mendengar derit pintu. Entah dibuka atau ditutup, dia sama sekali tidak tertarik untuk memastikan apa yang dilakukan Hanz malam-malam begini. Tempatnya cukup nyaman untuk kembali meringkuk di lantai hangat itu dengan temperatur yang tidak terlalu panas. Dua puluh tiga derajat celsius.
Suasana kembali senyap dan hanya terdengar suara serangga yang hidup di alam bebas dengan banyak pohon rindang yang dedaunannya telah mengering. Di sisi lain, terdengar tetesan air yang berjatuhan di samping kiri kamar. Sejuk. Grace telentang, merenggangkan kaki dan tangan seperti bintang laut yang terbuka bebas. Tidurnya pulas.
Beberapa menit kemudian, bunyi seseorang terjatuh membuka mata Grace. Perempuan itu dengan wajah datar melihat langit-langit kamar yang ternyata tersusun dari bambu berbentuk silinder. Rapi juga bersih. Sangat terawat untuk sebuah rumah dengan kesan memanjakan penglihatan pengunjung. Telinganya sama sekali tidak teralihkan dari suara gaduh di luar. Grace menyentuh pergelangan tangan kiri untuk mengaktifkan chip.
Waktunya telah tiba, batin Grace. Perempuan yang menggerai rambutnya itu kembali memejamkan mata karena suara pintu terbuka sembari menyiapkan mental. Tangan kanan mengetuk-ngetuk lantai seraya menghitung. Berhenti.
Tepat setelahnya, benda dingin seperti logam menempel pada pelipis kanan. Sebuah tendangan mendarat tepat di paha membuat Grace tersentak beberapa menit karena dua orang yang tidak dikenalnya berdiri sambil menyeringai. Salah satu laki-laki itu langsung membekuknya dan membawanya ke dalam mobil.
Mentalnya tidak sekuat biasanya. Satu gerakan yang tidak disengaja mungkin bisa membuatnya terbunuh sebelum cita-cita dan ambisinya tergapai. Dia ingin berhenti dan berbalik seperti sebelumnya, tetapi tidak untuk saat ini. Semua akan sia-sia, begitu juga persiapan yang dilakukan Ad dan ... tentu Hanz.
Aku berhasil mendatangkannya dengan caraku, kan, Ad. Apa kau sekarang sudah melihatnya? Grace tidak berhenti berpikir dan terus melihat keadaan.
Ketika berada di gerbang depan perusahaan X tersebut, Grace menyadari sesuatu. Rencana laki-laki itu sangatlah hebat. Membuat salah satu ambisi Grace terpenuhi sampai dia sontak menggeser bahu yang menjadikan laki-laki penjaganya marah.
"Jangan membuatku marah, Nona Liu!" ujar laki-laki berkulit seperti tembaga itu menampar Grace.
Sudut bibir Grace berdarah. Dia salut pada laki-laki tembaga itu dan menjadikannya target pertama kehancuran Xherl Agency.
Grace turun dari mobil sebagai sandera karena tangannya diikat kuat. Di pelipis, logam panjang dan berat itu terasa sangat menakutkan. Tubuhnya dibawa memutar, sudut matanya menangkap sosok yang sedang berlari di antara banyaknya orang berseragam hitam.
"Grace ...," panggil Hanz lirih karena ditahan oleh beberapa orang.
Ancaman dari wanita di depan mereka yang baru disadari Grace terdengar menakutkan. Itu dia! Grace menelan saliva agar tetap tenang sambil melirik sesekali pada Hanz yang terlihat lemah. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Matanya terpejam seolah-olah pasrah.
"Ah, kau benar-benar tidak akan menyerah, Hanz?" tanya wanita itu.
"Maaf, Bos—"
Adalward yang sedang bertugas hendak menyela, tetapi dirinya dihentikan dengan angkatan tangan kurus wanita itu.
Wanita itu berbalik untuk memastikan Grace. Tersenyum penuh bangga dan menjambaknya sampai Grace hampir terjungkal.
Margareth? Grace menyeringai menahan sakit dan pusing yang kini bersarang di kepalanya. Tenang, Grace! Mari lakukan sesuai rencana yang kau susun selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Their Autumn
Misterio / SuspensoNiat Gracia melarikan diri ke Korea Selatan menjadi malapetaka. Bukan dedaunan maple yang kemerahan, tetapi seprai penuh darah yang pertama kali memanjakan matanya. Gracia berakhir di kantor polisi dengan status sebagai saksi. Hal tragisnya, Allen...