Tajuk 19: Awal Musim Dingin

1 1 0
                                    

Tangan mungil itu mencengkeram erat jemari yang lebih kurus. Anak-anak kecil itu berlari menyusuri hutan yang sepertinya tidak memiliki ujung. Tali-tali yang mereka ikatkan pada dedaunan dan semak-semak mengantarkan mereka pada sebuah rumah mewah dengan gerbang terbuka. Alas kaki yang semula terbungkus rapi kini terbuka, sobek, sehingga kulit kaki yang menginjak ranting terluka.

"Itu pasti perih," kata gadis itu menunjuk kaki sang kakak yang berwarna merah.

"Tidak, kok." Sang kakak tersenyum sambil mengetatkan pegangan tangan keduanya. Diam-diam memasuki gedung itu perlahan, seolah-olah rumah orang lain yang mereka kunjungi.

Sang gadis bertubuh kecil dengan mantel tebal merah bertudung, syal berwarna senada, berjalan memasuki kawasan sambil memperhatikan kaki kakaknya yang alasnya sudah bolong-bolong. Kemudian, melirik pada kakinya yang memiliki dua lapisan. Belum memahami mengapa dia mengenakan sepatu berlapis sedangkan anak laki-laki di hadapannya tengah meringis kesakitan mengeluarkan potongan kecil dari sebuah ranting yang tidak sengaja diinjak.

Suara pintu dibuka disusul bunyi dari sepatu yang memiliki hak menggema. Pasalnya, kedua anak itu amat mengenal suara-suara tersebut. Mereka takut untuk menampakkan diri pada ibu tiri yang menguasai segalanya, bahkan menggenggam keputusan ayah mereka. Kebahagiaan kecil mereka seperti direnggut ketika mereka dikirim begitu jauh dan ditinggalkan di tengah hutan. Tanpa makanan.

Anak laki-laki itu mengintip. Sang ibu yang menyanggul rambutnya tinggi itu memasuki mobil. Laki-laki yang membukakan pintu mobil untuknya adalah sang ayah. Keduanya hendak pergi entah ke mana. Apakah akan mencari mereka? Pikir anak laki-laki itu. Sedangkan, si gadis hanya terdiam untuk melihat kaki kakaknya kembali berdarah.

Mereka bersembunyi di tembok garasi. Ketika mobil berlalu dan anak laki-laki itu melangkah mundur tiga langkah, pintu garasi terbuka. Sebuah kesempatan, takdir baik dari Tuhan lewat malaikat yang tidak terlihat, agar mereka bisa menikmati hari dengan makanan nikmat dan tempat tidur yang nyenyak. Tentunya, sebelum dua orang dewasa itu kembali ke rumah dengan segudang temperamen jahat.

"Ayah!" teriak si gadis meminta bantuan.

"Ayahmu milikku sekarang, Nak. Apa boleh buat?" dalih wanita yang sanggulnya sudah turun melewati telinga. "Kau harus memperhatikan tempatmu mulai sekarang!"

"Ayah, Kak Hanz!" teriak gadis itu lagi.

Anak laki-laki yang kini berada dalam dekapan ayahnya meronta-ronta untuk dapat mengejar ke mana sang adik dibawa. "Lepas, Yah!" teriaknya dengan suara lantang dan keras.

Terlambat, suara mobil menggerung meninggalkan kediaman itu ketika tangan besar melepaskan cengkeraman pada pundak Hanz. Meski dirinya mengejar dengan sekuat tenaga dengan kaki yang penuh plester. Dia tidak bisa menjangkau kendaraan beroda empat dengan tinggi yang tidak lebih dari dua kali tinggi badannya. Setinggi ayahnya.

"Mau dibawa ke mana adikku?" teriak Hanz.

Tidak ada jawaban. Salju turun memenuhi rambutnya yang kemerahan. Kulit putihnya membuat wajah memerah oleh air mata dan kedinginan. Dia takut untuk mengetahui fakta bahwa dirinya tidak akan lagi bertemu sang adik. Selamanya. Hanz melihat ke dalam rumah. Ayahnya sudah tidak ada, membiarkan begitu saja anak-anaknya diperlakukan tidak baik dan kini dipisahkan. 

Hanz berlari mencari ayahnya ke setiap kamar yang selalu digunakan sang ayah. Dia mencari segala ruang, meski ruang itu katanya haram dimasuki. Apa karena Grace dulu pernah masuk ke lab dan menghancurkan percobaan Mrs. Margareth? Aku harus menghancurkannya pula. Pikir Hanz, semudah itu tanpa tahu apa yang menjadi akibatnya.

Dia menemukan ruangan dengan segala macam alat yang tidak pernah ditemuinya di ruangan lain. Nuansa putih bersih dengan kaca-kaca supertransparan. Membiarkan kaki-kaki berlapis kaus kaki hitam itu melangkah masuk.

"Sedang apa kau?" Mr. John memelototi anak pertamanya lalu bergegas mendekat.

"Jangan mendekat atau aku akan hancurkan ini!" Anak berusia sepuluh tahun itu mengambil tabung reaksi yang di dalamnya terdapat cairan ungu pekat, mendekati hitam anggur. Mengancam sang ayah tanpa takut akan hal buruk yang menimpa.

"Jangan mengada-ada. Itu akan membahayakan dirimu sendiri, Nak!" terangnya sambil mendekat selangkah.

"Di mana adikku? Dibawa ke mana adikku?" teriak Hanz.

Ayah Hanz menggeleng sambil menunduk. Napas pendek dan berat tidak lagi mampu menyampaikan perasaan yang tidak menentu. Mr. John akhirnya berkata, "Berhentilah, Nak. Menurut pada kami kalau kalian akan aman! Kami hanya menitipkan kalian di tempat yang sebaiknya. Lalu, kami akan membawa kalian kembali!"

"Bohong! Itu tidak mungkin." Hanz benar-benar melempar tabung reaksi itu keujung ruangan dan beberapa cairan yang menetes itu mengeluarkan asap. Hampir membakar karpet yang tergelar di sepanjang ruangan.

"Kau!" hardik sang ayah yang menarik anaknya keluar dari ruangan. "Kau tidak akan tahu kalau ini akan menjadi bagian dari kualitas masa depan! Kau malah akan menghancurkan cita-cita ayah, Hanz!"

Pipi anak yang masih belia itu bertambah merah.

Di sisi lain, di sebuah lorong tertinggal seorang petugas pemadam kebakaran menyelamatkan Grace yang baru saja hampir dibunuh. Takdir benar-benar memisahkan mereka untuk hidup dalam kenangan mengerikan masing-masing. Saling bertemu untuk sebuah misi penuntasan dan rache.

Hanz mengaitkan syal pada leher Grace seperti yang dulu sering dia lakukan. Memastikan sang adik berpakaian lengkap dengan segala pengamanan yang diperlukan ketika mereka nantinya ask bermain. Bulan November memang tidak dapat dihindari keindahannya. Cuaca dingin sudah memasuki tahap meningkat. Hujan pun turun dengan semestinya.

Keduanya berangkat dengan ditemani sang manajer yang katanya menghilang. Hanz ingin sekali menarik kalimat hujatan yang dulu diberikannya pada Allen. Perjalanan untuk ke Gunung Yeonhee hanya membutuhkan waktu sekitar empat jam, kurang lebih.

"Apa lagu kesukaan kalian?" tanya Allen melirik keduanya yang berada di bangku belakang.

Grace melirik lalu menjawab, "Apa pun untuk membuat perjalanan lebih seru!"

"Kau benar tidak apa-apa?"

"Yak!" teriak Grace. Allen langsung bungkam dan buru-buru menyetel musik yang menurutnya pantas menemani perjalanan mereka.

Hanz bingung lalu melempar tatap pada sang adik. Grace hanya bisa mengedarkan pandangan sambil bermonolog, "Ah, salju pertama akan turun saat kita sampai di sana!"

Dua laki-laki yang mendengarnya mengangguk setuju. Lalu, Grace memegangi lengan yang tergores oleh jarum yang sengaja disembunyikannya.

Their AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang