Grace tidak berani memberi tahu Hanz tentang rasa gatal dan panas yang menjalari tubuhnya. Mimisan yang keluar tadi pagi pun tidak harus menjadi penghambat ke mana mereka pergi. Dia sudah meminta Allen mengujinya di lab yang jauh dari jangkauan Xherl kalau-kalau mereka berniat membalaskan dendam Margareth padanya. Grace pun sudah bertekad kuat untuk menikmati semuanya tanpa terganggu dengan hal-hal yang menyedihkan lagi.
"Sudah, kan?" tanya Allen pada Grace ketika berhasil membangun tenda.
Dua tempat duduk di simpan di bagian depan tenda, di depan mereka sudah tertata kayu-kayu dan ranting-ranting untuk membuat api unggun agar menghangatkan mereka ketika berkemah.
Grace mengangguk senang. Akan tetapi, dia tidak berani berdiri karena rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Sebelum jarum itu sampai ke urat nadi Margareth, dia lebih dulu menggores lengan Grace. Tidak diduga bahwa reaksinya akan semenyakitkan ini. Perempuan itu hanya bisa memandangi sang kakak dan melempar kode pada Allen.
"Apa lagi yang harus kita siapkan untuk malam dsn esok nanti?" Allen kembali bertanya dengan lebih bersemangat.
"Semuanya terserah pada Grace!" teriak Hanz karena jarak mereka yang terlalu jauh.
Laki-laki berotot besar itu telah melangkah cukup jauh untuk mengambil air dari pegunungan. Memberikan waktu luang bagi Allen untuk memeriksa luka yang memerah dan bengkak Grace.
"Ini tidak bisa dibiarkan Grace! Orang-orang lab belum memberi tahu zat apa saja yang terkandung di dalamnya, apa lagi membuatkan obat untuk menyembuhkannya. Jadi, ... "
"Tidak sama sekali! Aku tidak menginginkannya mengetahui hal ini!" sanggah Grace, "aku sudah lama menantikan momen ini. Jadi, tidak mungkin aku mengecewakan keinginanku sendiri."
Grace menekuk lututnya agar dapat menahan perut yang sakit. Pandangan matanya berkali-kali melirik Hanz.
"Kalau racunnya menyebar sampai ke organ dalam—"
"Ah, aku tahu!" Grace memotong kalimatnya sambil berbicara ceria. "Sabrina mencintaimu dan aku juga begitu. Jadi, kami harus bersaing untuk mendapatkanmu, kan?"
Hanz tersenyum seraya berkata, "Kalian terlihat aneh. Terutama kau, Grace! Kau tidak mau menceritakan sesuatu padaku seperti pada Allen?"
Perempuan itu menggeleng cepat, memandang sang kakak dari tempat duduknya seraya menjawab, "Tentu tidak. Ini rahasia untuk dua orang manusia berusia kepala dua!"
Hanz duduk di sampingnya lalu menarik lengan Grace. Telapak tangan berkeringat dingin itu bertemu dengan tangan Hanz yang hangat. Dengan sekali tepis, tangan Grace kembali turun ke tempatnya membuat sang kakak kaget. Pikirannya kembali pada malam-malam penuh salju. Dingin. Menggigil. Namun, kali ini dengan perasaan berbeda Hanz berbalik dan memperhatikan reaksi yang diberikan adiknya, sangat lain. Ada yang salah.
Tatapan mata Hanz jatuh pada Allen yang ikut berdiri dan meringis. Melihat betapa gelisahnya dua orang yang berdiri dengan jarak lebar, bola mata Hanz menitik beratkan pada Grace. Bagian putih dari matanya berubah keruh sama seperti ayahnya yang meregang nyawa di laboratorium sekembalinya menelantarkan Grace. Ketiga orang itu terdiam, mematung.
"Kenapa?"
"Enggak apa-apa. Mau ke mana kita?" Grace mengalihkan perhatian Hanz dari dirinya untuk melihat ke pemandangan di depan.
Pepohonan yang menjulang di depan sana memikat Grace yang menarik lengan Hanz. Meski harus menahan sakit, dia tetap tidak melepaskan rangkulannya sambil menoleh ke kanan kiri. Menikmati waktu siang dengan pemandangan yang memanjakan mata. Seperti yang tertera pada daftar keinginannya berkunjung ke negeri ginseng.
"Kau menyukai Allen?" tanya Hanz ketika sadar sang adik melamun.
Sambil memainkan silau dari sinar mentari bersamaan sehelai daun Ginkgo yang merah cerah. Menutupi mata lalu menyembulkannya. Baju blus berlengan panjang putih itu pun memantulkan cahaya kemerahan. Mata Kana Grace menyipit karenanya. Lantas, momen itu tidak dibiarkan begitu saja. Dia mengeluarkan benda pipih di tas kecil yang dibawanya lalu memotret daun bercahaya dengan langit biru tanpa awan sebagai background. Berusaha mengabaikan pertanyaan itu yang menurutnya terlalu berlebihan. Aku suka Allen? Memang, sih, tapi itu dulu, Kak. Grace membatin.
"Benar, ternyata," imbuh Hanz mendekati tubuh kurus sang adik.
"Apaan, sih." Grace menghindar. Dia mengitari tempat sekitar untuk menjauh dari pandangan kakaknya yang terlihat menyelidik.
Grace mengaktifkan kamera depan untuk memperhatikan riasannya yang hari ini cukup tebal, tetapi tetap natural karena warna kulitnya yang putih bersih. Kepalanya berputar-putar, perutnya mual. Keringat dingin kembali memenuhi pelipisnya yang helaian rambutnya merekat. Belum lagi rambut panjang yang digerai itu menjadi lengket dan tidak sehalus biasanya.
Tentu saja, semua itu dilihat Hanz. Tidak ada seorang pun yang lebih peduli pada perempuan itu selain dirinya. Mungkin juga, Allen. Meskipun Hanz belum yakin sepenuhnya jika laki-laki itu akan menjaga dan mengorbankan segalanya demi sang adik.
Hanz mengikuti Grace dari belakang saat perempuan itu beranjak dari tempatnya untuk kembali ke tempat tenda didirikan.
"Aku serius, Grace. Kalau kau menyukainya aku akan—"
"Sorry, Sir. Laki-laki itu ... aku sama sekali tidak menyukainya seperti tebakanmu!" sanggah Grace sambil melirik Allen yang tampak sibuk dengan ponselnya.
Hanz menarik lengan Grace kembali sampai gadis itu mengaduh. Dia tidak yakin apa yang disembunyikan adiknya. Akan tetapi, kala tetes kental keluar dari hidungnya yang berujung bulat, Hanz langsung merangkul tubuh itu dan keduanya terjatuh. Mata Grace sudah tidak berfungsi dengan baik, sang kakak membuka bagian lengannya yang sudah sangat membengkak dengan luka yang bernanah.
Allen berlari mendekati keduanya. Hanz menatapnya marah karena menyembunyikan hal seserius itu dari dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Their Autumn
Gizem / GerilimNiat Gracia melarikan diri ke Korea Selatan menjadi malapetaka. Bukan dedaunan maple yang kemerahan, tetapi seprai penuh darah yang pertama kali memanjakan matanya. Gracia berakhir di kantor polisi dengan status sebagai saksi. Hal tragisnya, Allen...