Tangan kurus itu pun dengan cepat menarik pistol kecil yang berada di pinggang laki-laki yang kini sedang bergetar hebat. Meregang nyawa. Lalu menekan tombol yang tepat berada di tengah daun pintu dengan sekali gerakan.
"Kau menginginkannya, Margareth?" tanya perempuan itu sinis dengan mengarahkan senjata api milik kekasih wanita itu.
Margareth tercengang. "Kau?"
Grace tersenyum seraya berdiri. Memegangi pistol dengan satu tangan lalu mendekatkannya pada Margareth. "Kau sangat mengenal benda itu, kan?" tanyanya dengan nada santai, tidak terganggu pada suara-suara bergemuruh di luar. Dia menunjukkan jarum yang berada di dalam sela-sela kain.
Sangat menakutkan. Pemikiran itu yang terlintas pertama kali di benak Grace ketika melihat tubuh Ad, tubuh orang lain yang memakai wajah Ad, kini mengeluarkan darah dari mulut yang menganga. Tragisnya, kedua mata yang terbuka itu, bagian putih berubah warna menjadi keruh bercampur merah pucat. Pori-pori yang berada di sekitar leher meninggalkan jejak karena membengkak dan tengah-tengahnya masih sama karena tertekan jarum yang menancap.
Perempuan itu beralih menatap tubuh terkulai lemas dengan luka-luka kecil di wajah. Melalui kesempatan kecil itu, Margareth menggerakkan kaki ke depan lalu menyempitkannya untuk mendorong kursi yang didudukinya lebih mendekati pintu. Akan tetapi, usahanya sia-sia saat bunyi tembakan itu memberi sengatan listrik pada tubuhnya. Kupingnya sakit lantas tanpa sadar, ruangan itu kini memiliki aroma darah yang menggiurkan.
Suara orang-orang di luar sempat berhenti. Kenyataan pada bunyi senapan tadi, membuat mereka takut untuk bertindak. Pemimpin tertinggi tempat mereka bekerja telah terkurung di dalam tanpa senjata apa pun. Tembakan lain menyusul dan mengenai pintu tempat Grace berdiri.
Grace tersenyum sambil berkata, "Ternyata anak-anak buahmu bodoh, Margareth! Mereka melupakan hal paling penting dan sangat mendasar kamar interogasi."
Wanita yang mengetatkan genggaman tangan dan menggigit bibirnya itu tampak kesal. Seumur membangun tempat dan tatanan di Xherl, dia tidak pernah menyangka akan berakhir di ruangan yang sangat, sangat buruk. Mengapa demikian? Perempuan ini benar-benar mempermainkanku. Margareth ingat betul, tempat yang kini dipijak kakinya tidak dapat disentuh dengan cara kasar atau pun brutal. Orang di dalamnya bisa keluar atau tidak, itu pilihan mereka, dan jalan keluarnya hanya satu, melalui jalan ketika mereka masuk.
Margareth memandang Grace, lalu bertanya, "Dari mana kau tahu tentang seluk beluk Xherl!"
"Aku kira kau akan mengingatku! Ah, sayang sekali, Nyonya William!" ejek Grace sambil menunjukkan gigi rapi dan bibir pink merona.
Lantas wanita itu memperhatikan baik-baik. Perempuan yang sebaya dengan anaknya itu mendekat sambil bersikap seolah-olah ingin dikenali. Melukiskan senyum ramah, kedipan mata yang melambat, dan lesung pipi yang semakin jelas terlihat. Ketika langkah-langkah kecil miliknya sampai tepat di depan kaki Margareth, wanita itu langsung mundur. Namun, Grace semakin mengikis jarak.
"Anggap saja, aku adalah apa pun yang pernah kau inginkan. Aku buah rasa cinta Tuhan untukmu karena mau menikahi laki-laki kaya raya nan cacat yang dapat membangun gedung megah di pelataran hutan yang seharusnya dilindungi itu!" jelas Grace, "tapi harap dicatat, tidak ada kesenangan abadi di dunia! Kalau mau ... aku bisa mengirimmu ke akhirat!"
Tercengang. Itu gambaran besar yang ada pada raut muka Margareth. Terdiam, membisu, seperti bocah bodoh yang tidak mengerti bagaimana cara menjumlah bilangan yang memiliki dua angka. Margareth mundur ketika tangan kanan Grace mengeluarkan jarum tipis yang selama ini masih tersimpan rapi dalam kain-kain baju yang dikenakannya. Memberi pertunjukan sebuah tarian yang menyayat hati. Margareth menyadari semuanya.
"Kalau bukan karena dirimu, aku dan dia." Grace melirik laki-laki yang tidak sadarkan diri, lalu melanjutkan, "tidak akan pernah terpisah dan harus menyembunyikan identitas satu sama lain. Akan membunuhnya katamu?"
Margareth menarik lengan yang tertutup baju lengan panjang hitamnya, tetapi dicekal dan ditarik mendekat oleh Grace. Jarum itu siap untuk menerkam dan si pembuat perkakas lima belas tahun lalu. Saling tarik menarik membuat dua manusia berwarna rambut senada itu bergerak dinamis ke sisi berlawanan. Akan tetapi, Margareth yang sudah lemah dari segi fisik terdorong dengan jarum yang menancap, tepat pada urat nadi yang ada di pergelangan tangan.
"K–kau! Bo–bocah biadab, Gratia!" pekik Margareth mengeluarkan darah dari hidungnya.
Darah itu sebagai pengganti dari rasa sakitnya yang telah kehilangan ibu dan kasih sayang sang ayah karena kehadirannya. Cairan itu sebagai tanda pembalasan bagi hati Grace dan kepuasan.
Pori-pori yang terkena jarum itu dibuka oleh Grace. Anyir menyeruak kembali ke seluruh ruang yang bisa disebut tempat pemakaman bersama para pembunuh. Darah itu sebagai pengganti rasa sakit kaki-kaki Hanz dan Grace ketika mereka berlari menyusuri hutan gelap, hutan berbisa, hutan berkabut ketika mereka mencari jalan pulang.
Pun ... darah terakhir yang mengakhiri hidup Margareth adalah pembalasan dendam karena dia sudah memisahkan Grace dari Hanz, dan menjadikan pria itu manusia bergelimangan darah. Air mata turun begitu saja, keluar dengan segala macam rasa yang diderita.
"Grace ...," gumam Hanz.
Grace mengusap sudut mata untuk menghilangkan kesedihan lantas berjongkok untuk mendekatkan dirinya pada Hanz, sang kakak. Apa akhirnya kita benar-benar bisa menjadi kakak-beradik yang tidak bisa terpisahkan? Grace merangkul kepala Hanz dan menempatkannya di paha.
"Grace," panggil Hanz pelan.
"Ehm," balasnya dengan gumaman ceria.
Keduanya saling beradu tatap, kedua pasang mata itu berkabut. Kerinduan menyertai segala sudut. Di ruang hati dan kerinduan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Their Autumn
Mystery / ThrillerNiat Gracia melarikan diri ke Korea Selatan menjadi malapetaka. Bukan dedaunan maple yang kemerahan, tetapi seprai penuh darah yang pertama kali memanjakan matanya. Gracia berakhir di kantor polisi dengan status sebagai saksi. Hal tragisnya, Allen...