Tajuk 16: Tujuan Utama Mereka

1 1 0
                                    

Mana mungkin dia tidak tahu apa-apa saat waktu yang dihabiskan bersamanya tidak kurang dari enam belas jam. Grace memandangi tajam kedua mata itu. Perempuan itu menoleh pada Hanz yang berwajah suram dengan mulut semi terbuka. Grace terdiam dan menepis keras jari-jari kasar nan keras itu.

Allen tersenyum penuh kemenangan ketika gelagat Grace benar-benar di luar dugaannya. Lantas, tangan-tangan halus dari punggung tangan itu menunjukkan harga dirinya yang sejati.

"Cukup Allen!" pinta sebuah suara yang melengking ditutup bunyi tajam yang menyakitkan telinga. Entah berapa lama alat itu tidak digunakan pemiliknya.

Laki-laki itu lantas berdiri tanpa membawa laptopnya yang menyala. Sambil membenarkan jas hitamnya yang sedikit berlebihan serta suaranya yang sangat familier. Hanz memperhatikan bagian belakang, tepatnya bokong laki-laki itu tanpa berkedip dalam belasan detik. Memastikan sesuatu yang dilihatnya benar-benar terjadi.

Grace yang memilih untuk membuang wajah merelakan kejadian barusan untuk mengontrol emosi yang tidak bisa lagi dipertahankan. Memangnya hanya laki-laki saja yang bisa mengontrol pupil mata dan bertindak terlalu berlebihan karena panik menghadapi situasi yang belum pernah terjadi. Meski, keadaan ini sangat berbeda dengan keadaan sebenarnya. Ia, ini rencana Grace agar dirinya dapat terbang ke Korea. Bahkan, menjadi aktris figuran yang bisa pergi ke mana-mana ditemani seseorang.

Satu hal lagi, menemukan dan menjadikan Hanz sebagai teman yang dapat diandalkan dalam segala hal. Menjadikan pemilik, bukan, penerus bukan sebenarnya yang menjadikan Agency menjadi perusahaan laknat pembunuh manusia. Membunuh manusia dengan tangan manusia yang lain. Membuka jasa 'penuntasan' untuk orang-orang yang mampu memberi angka fantastis, entah orang yang 'dituntaskan' termasuk pantas atau tidak.

Kenapa aku harus berlelah-lelah memikirkan itu semua saat, ia, ketika laki-laki kedua yang muncul di ambang pintu ruangan bersama dengan perempuan yang mengenakan pakaian bahu terbuka tersenyum penuh kemenangan seolah-olah berhasil mempermainkan Grace. Tentu saja itu hanya pemikiran Grace sendiri.

Laki-laki yang Grace kenal sebagai Ad yang membantunya menemukan Hanz dan segala beluknya hingga menjalani pelatihan di dalam gedung kampus tanpa melihat dunia luar. Ternyata laki-laki itu, Grace tidak ingin meneruskan pemikirannya.

"Sorry, Hanz. Lama menunggu?" tanya laki-laki itu seraya melukiskan senyum meledek.

Grace hampir terjungkal dan jari-jarinya terluka karena tersayat oleh sisi-sisi meja ketika Ad menyerang Hans dengan mencekik leher laki-laki itu sampai ke tembok. Kekuatan lemas yang Hanz miliki tidak lagi sekuat biasanya. Hanya tersisa hentakan tangan dan punggung agar si penyerang mau dengan Sudi melepaskan cengkeraman dari lehernya yang sedang sakit.

Agar dapat menyelamatkan laki-laki itu Grace buru-buru menghadang tangan kekar dan besar milik Ad yang sama sekali tidak terlihat saat memakai seragam kebanggaan Xherl yang serba hitam. Akan tetapi, pakaian yang terbuat dari bahan kaus yang cukup tebal, semuanya terlihat bulat-bulat dan sangat ketat. Grace mendorong tubuh itu, tetapi badan lawan tetap berdiri seimbang. Dia menarik kuat dan meminta agar melepaskan Hanz, tetapi tubub Grace yang malah terhuyung. Lalu, akhirnya ... kenyataan yang sudah bisa ditebak bahkan ketika seseorang belum mulai mencoba, perempuan itu terpental ke arah kanan.

Hanz mencoba memberikan isyarat agar tidak menghadang siapa pun yang sedang bergelut dengannya. Tidak untuk Xherl. Tentu saja karena betapa ganasnya kemampuan mengambil nyawa walau kelas Z-Class sekali pun. Hanz sekali lagi menggeleng, memberitahu Grace agar tidak perlu bangkit untuk menolongnya kembali.

Napas Hanz sudah sangat sesak. Seluruh persediaan oksigen di perusahaan Xherl seperti menghilang, pandangan mata yang kabur membuat laki-laki itu tidak bisa mendengar suara-suara lain. Perempuan yang amat dilindunginya pun tidak lagi terlihat.

Tubuh tinggi besar itu ambruk. Darah keluar dari mulutnya sampai membuatnya hilang kesadaran. Ad mendekati Grace yang rasanya begitu patuh pada Hanz. Margareth yang duduk-duduk tenang menyaksikan itu pun menatap tajam pada Gracia yang tidak tahu harus berbuat apa.

"Kau mengenalku, Manis?" tanya Ad saat tersenyum lebih lebar dengan sudut yang meninggi. Mengerikan.

Jika laki-laki itu bisa tersenyum lebih tinggi, dia pasti sudah mengalahkan tokoh creepypasta yang menampilkan sosok menyeramkan dengan mulut dijahit tetapi masih bisa tersenyum lebar. Fokus, Grace. Hah? Apa? Grace mengerjapkan mata karena baru bisa mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Ad.

Apa dia tidak mengenalku? Batin Grace memastikan wajah itu sekali lagi. Betul. Dia Adalward Petersons yang dikenalnya meski dalam ekspresi yang baru diketahui.

"Ah, pertanyaanku salah!" Laki-laki itu duduk dengan bertumpu pada kedua kakinya, berjongkok menatap Grace lekat. "Kau mengenal wajah tampan ini, Nona?"

Margareth tertawa kecil sambil menutup mulut, suara tinggi wanita itu tidak berubah. Sama-sama menakutkan dan sama sekali tidak lucu. "Tidak mungkin dia kenal denganmu Adalward!"

"Tentu bukan aku," jawab laki-laki itu, "tetapi pemilik wajah ini sebelumnya!"

Kata 'sebelumnya' membuat buku-buku tangan Grace meremang. Siapa yang tidak bisa menerka takdir seseorang yang dapat kita rencanakan sebelumnya. Ad, apakah benar?

"Kalau ia, seharusnya kau tahu bahwa wajah tampan ini diambil setelah laki-laki itu mati!" terang Ad yang berdiri di hadapannya. Tinggi menjulang.

"Kau pun akan ikut mati!"

Bukan Ad. Grace mengeluarkan kalimat itu seraya menurunkan alat besi setipis padi dari dalam lengan panjang dan menancapkan benda tersebut tepat pada pori-pori tangan laki-laki itu. Lebih praktis, menggunakannya untuk menjajal semua pori-pori yang dapat menembus arteri.

Their AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang