4. Evanescent

168 48 19
                                    

      Malamnya. Kayyara sudah berada dirumah. Seharusnya ia tenang. Namun kini Kayyara justru merasa bersalah dan takut.

"Lumayan bagus untuk permulaan" gumam Given sembari menatap hasil Ulangan Putrinya. Disampingnya ada sang istri yang juga ikut menatap hasil ulangan.

Kayyara masih menunduk, menutupi kepalanya dengan tudung hodie. Ia ingin menatap reaksi kedua orangtuanya. Namun ia takut perban dikepalanya akan terlihat.

"Mama sama Papa punya permintaan lain?" tanya Kayyara.

Gadis itu duduk tak jauh daru sofa yang diduduki kedua orangtuanya.

Given memberikan hasil ulangannya kepada Ellen kemudian menatap Putrinya.

"Kenapa kamu menunduk?" tanya Given heran.

"Memangnya kenapa?" tanya balik Kayyara.

"Apa peduli Papa? Mau nunduk atau angkat kepala itu urusan aku Pa" lanjutnya.

Given dan Ellen memicingkan matanya.

"Perhatikan ucapanmu" ujar Ellen.

"Perhatikan juga anakmu" balas Kayyara masih dengan kepala menunduk.

Given berdiri dari duduknya. Ia menghampiri Kayyara yang sama sekali tidak menatapnya.

"Kenapa? Kalian ngerasa dicuekin? Diacuhkan? Bahkan Kayyara sering ngerasain itu. Hanya karena aku nunduk. Harusnya itu bukan masalah untuk kalian" ucap Kayyara ketika mendengar langkah kaki berat Given mendekat kearahnya.

"Tadinya Papa tidak mau mengasari kamu! Mama kamu sudah memperingatkan tentang ucapanmu. Tapi kamu tidak mendengarkan!" ujar Given dengan tajam.

Pria itu menarik tudung hodie Putrinya. Ia juga menarik rambut panjang Kayyara supaya bisa melihat apa yang anak itu sembunyikan.

"Sekarang Papa mikir mikir kalau mau kasar sama aku? Lupa ya? Hampir setiap hari Papa nyiksa aku entah itu fisik maupun batin" ucap Kayyara sambil mendongak. Gadis itu terkekeh miris.

Given menatap tajam Kayyara. Pandangannya terfokuskan kearah perban dikepala Putrinya. Namun bukan berarti itu membuatnya iba.

PLAKK

Wajah Kayyara tertoleh kesamping. Pipinya terasa panas. Hatinya berdenyut nyeri atas sikap kasar Papa nya. Yang lebih membutuat hati Kayyara nyeri adalah sang Mama. Kenapa ia hanya diam tanpa mau menolong Putrinya? Kayyara benar benar tersayat.

"Kamu mau Papa berbuat kelewat batas?" tanya Given dengan nada tajam.

Kayyara memejamkan matanya. Sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk menatap Papa nya.

"Lakuin Pa! Lakuin apapun yang Papa suka! Bahkan kalau itu harus nyakitin Kayyara! Lakuin aja, asalkan setelah itu Kayyara bisa pergi dari belenggu ini" sentak Kayyara dengan matanya yang bergetar. Ia tidak memangis. Kayyara tidak boleh terlihat lemah.

"Asal kamu tahu! Papa dan Mama menyekolahkan kamu supaya jadi anak yang berpendidikan! Yang bisa membanggakan! Bukan anak pembangkang seperti ini!" sinis Given.

Kayyara tersenyum tipis. Gadis itu  berdiri dari duduknya. Memandang Mama nya sebentar kemudian kembali memandang Papa nya.

"Ralat! Kalian nyekolahin aku supaya bisa jadi robot kalian! Sama seperti Kakak. Iya kan?" tanya Kayyara.

Mendengar Putra sulungnya dibawa. Ellen langsung berdiri. Ia menatap tajam Kayyara.

Melihat Mama nya berdiri. Kayyara yakin ia tidak akan baik baik saja setelah ini.

ABSTRAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang