Sorot matanya kian menyendu seiring dengan sautan yang ia dapat dari suara seberang. Ada gurat kecewa yang menghiasi netra legamnya. Senyum manis menenangkan telah pudar digantikan senyum miris penuh kepasrahan. Gadis itu menundukkan kepalanya, menatap meja makan kosong didepannya.
"Jadi Papa nggak pulang?" tanyanya kepada Given yang berada diseberang telepon.
"Tidak, tapi ingat. Tetap belajar karena Papa akan mengawasimu dari jauh. Papa tidak mentoleri kesalahan barang sedikitpun" jawab Given.
"Mama udah ninggalin Kayyara, sekarang Papa juga mau ngejauh? Sekarang buat apa Kayyara pertahanin prestasi kalau nggak ada yang lihat?"
"Berhenti mengeluh Kayyara. Papa pusing mendengarnya, cukup lakukan dengan benar apa keinginan Papa"
"Keinginan aku? Keinginan Kayyara nggak mau Papa kabulin?"
"Maka waktu itu berarti Papa puas dengan pencapaian kamu"
"Yang Kayyara lihat. Papa nggak pernah puas"
"Sudah? Tidak ada yang penting? Kalau begitu Papa tutup teleponnya"
Belum sempat Kayyara mengucapkan salam penutup. Given sudah lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Seketika, Kayyara menghela nafasnya. Ia lelah, sampai kapan hubungan keluarganya seperti ini?.
Ponselnya ia taruh diatas meja. Bersamaan dengan tubuhnya yang mulai meluruh pada kursi didepannya. Kedua telapak tangannya menopang wajah ayu yang terlihat lesu. Hingga sesaat kemudian wajah ayu itu diusap kasar disertai geraman frustasi.
"Kalau dipikir. Rumah segede ini percuma cuma gue doang isinya" monognya sembari menatap sekeliling ruangan yang ia tempati kini.
Kayyara tidak takut sendirian. Bahkan ketika malam seperti sekarang. Ia telah terbiasa ditinggal dan dibiarkan sendirian. Semuanya cukup membuat Kayyara kebal.
Jujur. Kayyara membenci kehidupannya, segalanya tentang dirinya Kayyara benci. Semua seakan tidak pernah berpihak padanya. Ia pikir tidak ada yang menginginkannya didunia. Bahkan orangtuanya sekalipun. Entah apa yang diperbuat dirinya dikehidupan sebelumnya hingga membuat dirinya sekarang begitu bernasib malang.
Tiba tiba pikiran Kayyara tertuju kearah satu hal. Mengatahui isi pikirannya membuat Kayyara terkekeh sendiri.
"Bunuh diri? Gue nggak sebodoh itu. Masih banyak hal yang pengin gue lakuin. Kebahagiaan yang gue cari belum sepenuhnya kembali, mungkin nanti" gumamnya pada diri sendiri disertai senyum miris diwajahnya.
Dinginnya lantai dapur seakan bukan hal yang baru untuk Kayyara. Tanpa ragu, gadis itu melangkah diatas dinginnya lantai tanpa alas kaki. Ia ingin menghalau pikirannya yang terkadang ngawur.
Penampilannya yang hanya menggunakan kaos dan celana selutut tidak ia permasalahkan. Entah dingin atau tidaknya nanti, Kayyara tidak peduli.
Sesampainya diteras rumah. Kayyara terdiam menatap langit yang kini dihiasi petasan.
"Pasti kalian lagi seneng seneng" gumamnya masih memandang ledakan petasan dilangit yang gelap.
Ia tahu. Petasan tersebut berasal dari tempat pameran "Andai gue nggak pulang duluan. Pasti gue lagi main petasan bareng yang lain" lanjutnya bergumam.
Taburan bintang ditambah percikan cahaya petasan menambah kesan indah dilangit malam hari ini. Benar benar membuat Kayyara terkagum. Dirinya tidak pernah lagi melihat hal mengagumkan seperti ini sejak saat Kakaknya meninggal.
Diluar dugaan. Langit seperti nya mengerti isi hati salah satu penggemarnya. Perlahan, rintik gerimis mulai turun. Hanya gerimis tidak sampai hujan. Posisi Kayyara yang berada diteras membuat sebagian tubuh gadis itu basah terkena gerimis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABSTRAK
Teen Fiction⚠️FOLLOW AKUN⚠️ TINGGALKAN VOTE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA!! NO PLAGIAT!⚠️ Semua menjadi satu dalam cerita antara Kayyara, Elbryan dan Geng Aodra. "Satu goresan terakhir, aku wakilkan buat kamu Kay. Tepat dihari keseratues, seperti yang kamu inginkan...